Raffi Ahmad Jadi Capres Bukan Cuma Guyonan Politik

Muda, populer, dan kaya raya.  

Di atas kertas, kandidat dengan profil semacam itulah yang berpeluang besar menang di Pemilu 2024. Ia bisa mewakili mayoritas pemilih di pemilu mendatang yang mayoritas berusia di bawah 40 tahun. Popularitas memudahkannya meraup suara terbanyak, sebagai syarat mutlak kemenangan di era pemilu langsung. Kekayaan membuatnya mampu membayar biaya politik yang besar.  

Nampaknya pemikiran serupa yang ada di kepala Ketua DPP PKS Zulkieflimansyah, ketika menyebut Raffi Ahmad lebih pas jadi capres dari partainya ketimbang Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo.

Raffi jelas masih muda. Usianya 36 tahun. Ia juga sudah pasti terkenal. Kini, ia punya 68 juta pengikut di Instagram dan 24,9 juta subscriber di Youtube. Bandingkan dengan Anies yang punya 5,9 juta pengikut di Instagram dan 241 ribu subscriber Youtube. Juga Ganjar yang punya 5,5 juta pengikut di Instagram dan 1,57 juta subscriber di Youtube. 

Kalau kata pepatah Arab, popularitas Raffi dibandingkan Anies dan Ganjar itu baina sama’ wa sumur. Antara langit dan sumur. 

Kekayaan? Mengutip CNBC, si Sultan Andara mampu menghasilkan sekitar Rp132,02 miliar per tahun hanya dari Youtube saja. Dari menjadi host di acara tv, Raffi menghasilkan sekitar Rp150 juta per episode. Artinya, empat kali saja dalam seminggu nongol jadi host acara tv, dia sudah dapat Rp 600 juta. 

Pada Januari 2023 lalu, Raffi mengungkap valuasi RANS Entertainment–perusahaan yang dibangunnya sejak 2015–mencapai Rp 3 triliun. Sementara, harta Anies dan Ganjar berdasarkan laporan LHKPN tahun 2021 masing-masing Rp 18,56 miliar dan Rp 11,77 miliar. 

Setidaknya, kalau Raffi beneran jadi capres tak perlu utang sana-sini dan menanti “cukong” buat biaya kampanye.  

Bila koneksi politik dianggap sebagai prasyarat lain kandidat capres, Raffi memilikinya. Raffi dekat dengan Kaesang Pangarep, putra Presiden Jokowi, yang tercatat sebagai salah satu pemegang saham RANS Entertainment. Ia tercatat pula berkongsi bisnis di platform streaming Noice dengan Menteri BUMN Erick Thohir yang juga digadang melaju di Pilpres 2024. 

Jauh hari sebelumnya, Raffi pernah masuk PAN. Pada Pemilu 2014 lalu, ia hampir saja menjadi caleg dari partai tersebut seandainya tak tersangkut kasus narkoba. 

Tak cuma itu, Raffi bahkan bisa dibilang teruji berkampanye politik. Pada Pilkada 2017 lalu, ia menjadi juru kampanye pasangan Anies-Sandiaga Uno. Hasilnya, pasangan tersebut mampu menang melawan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai petahana. Jika Jakarta kerap disebut barometer politik nasional, maka berkampanye di Pilpres tentu bukan hal sulit bagi Raffi.  

Alih-alih guyonan politik belaka seperti dikatakan Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid, saya cenderung menganggap pernyataan Zulkieflimansyah sebagai hal yang logis secara politik. Lagi pula, artis selama ini sudah terbukti mampu menggaet suara pemilih. Apalagi bila dia Raffi Ahmad. 

Rekam Jejak Artis di Arena Politik Praktis 

Kemampuan artis menggaet suara mulai terlihat pada Pemilu 2004. Nyarwi Ahmad mencatat dalam Celebrification of Politics: Understanding Migration of Celebrities into Politics Celebrification of Celebrity Politicians in the Emerging Democracy of Indonesia (2020), saat itu ada 23 artis yang menjadi caleg DPR RI. Dari seluruhnya, tujuh orang lolos ke Senayan. 

Demokrat paling banyak merasakan kenikmatan elektoral artis pada Pemilu 2004. Dari 5 artis yang dicalonkan, 3 berhasil lolos ke Senayan. Mereka adalah penyiar TVRI Max Sopacua, komedian Qomar, dan aktris Angelina Sondakh. Sebagai partai baru, Demokrat pun berhasil meraih total 57 kursi. 

Kesuksesan Demokrat, seperti dicatat Nyarwi, mendorong partai untuk lebih banyak mencalonkan artis di pemilu legislatif setelahnya. Berikut adalah jumlah caleg artis dari pemilu 2009-2019: 


Tahun Pemilu
Jumlah Caleg Artis
2009
51
2014
82
2019
91


(Sumber: Nyarwi Ahmad)

Selain Demokrat, PAN dan Nasdem paling banyak memanfaatkan artis untuk menggaet suara elektoral. Sebagaimana dicatat Nyarwi, PAN mencalonkan 17 artis pada Pemilu 2009 dan 18 artis pada Pemilu 2014. Ini membuat PAN dijuluki Partai Artis Nasional. Melansir Kumparan, Nasdem jadi lumbung caleg artis pada Pemilu 2019 dengan 37 orang. 

Jumlah artis yang lolos ke Senayan pun tercatat semakin banyak dalam Pemilu 2009-2019, seperti bisa dilihat berikut ini: 

Tahun Pemilu
Jumlah Caleg Artis Terpilih DPR RI
2009
18
2014
22
2019
36


(Sumber: Nyarwi Ahmad)

Beberapa artis yang terpilih bahkan tercatat dalam daftar peraih suara terbanyak nasional. Pada Pemilu 2009, presenter Tantowi Yahya (Golkar) berhasil bertengger di peringkat keenam nasional dengan 209.044 suara. Rieke Diah Pitaloka alias Oneng (PDIP) berada di peringkat keempat nasional pada Pemilu 2014 dengan 255.044 suara. Lalu, Rano Karno alias Si Doel (PDIP) di peringkat kelima nasional pada Pemilu 2019 dengan 274.294 suara. 

Para artis juga terbukti mampu menggaet suara pemilih di Pilkada dan berhasil menduduki jabatan eksekutif daerah. Dede Yusuf Macan Effendi adalah yang pertama. Berpasangan dengan Ahmad Heryawan, Dede berhasil memenangi Pilgub Jawa Barat pada 2008. 

Setelah satu periode menjabat wakil gubernur, Dede mencoba peruntungan sebagai calon gubernur Jawa Barat pada 2013. Namun, ia kalah dari Ahmad Heryawan yang saat itu berpasangan dengan aktor Deddy Mizwar. Hasil ini pun membuktikan bahwa artis masih menjadi peraup suara yang efektif. 

Nama-nama artis lain yang sukses menjadi kepala daerah adalah sebagai berikut ini: 

Rano Karno (Wakil Bupati Tangerang 2008-2011; Wakil Gubernur Banten 2012-2014); Gubernur Banten 2014-2017)
Dicky Chandra (Wakil Bupati Garut 2009-2011)
Zumi Zola (Bupati Tanjung Jabung Timur 2011-2015; Gubernur Jambi 2016-2018)
Sigit Purnomo a.k.a Pasha Ungu (Wakil Wali Kota Palu 2016-2021)
Emil Dardak (Wakil Gubernur Jawa Timur 2018-2023)
Hengky Kurniawan (Wakil Bupati Bandung Barat 2018-2023)
Sahrul Gunawan (Wakil Bupati Bandung 2020-sekarang)
Lucky Hakim (Wakil Bupati Indramayu 2020-2023)
Fadia A. Rafiq (Wakil Bupati Pekalongan 2011-2016; Bupati Pekalongan 2020-sekarang).

Kekuatan Artis di Arena Politik

Keberhasilan artis di arena politik praktis, menurut Alfred Archer, tak lepas dari kemampuan mereka mengonversi popularitas menjadi kekuatan untuk memengaruhi pemikiran, kepercayaan, dan pengetahuan orang lain. 

Setidaknya, menurut Archer, ada dua sumber kekuatan epistemik selebriti. Pertama, citra kredibel. Selama ini, selebriti dengan popularitasnya dianggap lebih kredibel daripada kebanyakan orang, setidaknya bagi kelompok tertentu seperti penggemarnya. Sementara semakin seseorang dianggap kredibel, semakin besar pula peluangnya memengaruhi orang lain. 

Kedua, perhatian. Menurut Archer, perhatian terhadap selebriti melampaui keahlian, peran, atau profesi khusus mereka. Dengan hal ini, mereka cenderung lebih didengar daripada kebanyakan orang atau memiliki “suara di atas orang lain.” Selain itu, hal ini juga mampu membuat mereka mudah mengalihkan perhatian orang lain. 

Kedua hal tersebut, menurut Archer, sangat efektif di arena politik. Alasannya, selebriti bisa menggunakannya untuk memusatkan diskusi publik pada isu-isu tertentu yang mereka anggap penting. Sehingga, mereka bisa membingkai pandangan publik atas segala hal sesuai keinginannya untuk kemudian dikonversi menjadi perolehan suara.

Maka, menurut Archer, masuk akal bila partai politik cenderung sangat terbuka kepada para selebriti. Baik untuk menjadi kandidat, maupun sebagai juru kampanye. Itu pula yang membuat banyak politikus tulen kemudian berakting atau berupaya menjadi selebriti. 

Meski demikian, Archer berpendapat kekuatan epistemik selebriti sebetulnya buruk bagi demokrasi, karena menciptakan ketimpangan pengaruh dalam musyawarah publik. Dampaknya, publik tak dapat mengawasi secara penuh kekuasaan yang berjalan dan menghambat pendidikan politik bagi kebanyakan orang. Inilah kondisi yang disebut Archer sebagai demokrasi elite. 

Di tengah demokrasi Indonesia saat ini yang cenderung berada di bawah kendali elite–dari kartelisasi partai politik yang dilakukan Jokowi sampai aturan ambang batas presiden yang mengesampingkan hak rakyat menentukan capresnya sendiri–kita memang semakin dekat punya presiden dari kalangan selebriti.  

Dengan segala profil yang dimilikinya hari ini dan kedekatannya dengan para oligark, Raffi Ahmad sangat mungkin menjadi sosok tersebut. Mungkin tidak di 2024, karena Raffi mengaku menjadi politikus belum jadi rencana hidupnya dalam lima tahun ke depan. Tapi, siapa tahu, kan, untuk 2029 nanti?