Ramai-ramai Memburu Sang Penyihir
Bagaimana Media Sosial Mengulang Pengadilan Penyihir Salem di Abad ke-21
Mengamati cuitan-cuitan warganet soal AG (15), pacar Mario Dandy (20), pelaku penganiayaan yang sedang ramai terasa seperti sesi penyiksaan, berbagai diskursus feminisme dan literasi digital yang berlangsung di media sosial sejak bertahun-tahun lalu terasa sia-sia. Banyak informasi yang belum jelas keabsahannya tersebar bak bola panas. Orang-orang dewasa–banyak yang berpengaruh!–merundung A yang merupakan korban child grooming, yang kemudian melebar ke klaim misoginis bahwa perempuan adalah racun dunia.
Komentar-komentar jahat ini tak hanya menggeser tanggung jawab dan kesalahan pelaku ke pihak lain. Doxing, pelecehan, dan pencorengan karakter merupakan manifestasi dari witch hunt modern.
Dihilangkan pada 1951, Terus Hidup Sampai Sekarang
Sebagai fenomena sejarah, witch hunt alias perburuan penyihir pertama kali tercatat di Eropa abad ke-13 hingga 16. Fenomena ini membunuh 40.000-60.000 orang. Hal yang sama juga terulang di sebuah desa di Massachusetts, Amerika Serikat. Lebih dari 200 orang dituduh melakukan praktik dukun dan 20 orang dieksekusi untuk memuaskan paranoia orang-orang. Penting untuk dicatat bahwa mayoritas korban adalah perempuan.
Sejarah kelam ini meninggalkan pengaruh yang sangat besar dan lama. Pasal tentang sihir ini bahkan digunakan pada 1944 untuk menghukum Helen Duncan yang dianggap membocorkan rahasia militer Inggris pada masa perang Dunia II. Winston Churchill menganggap kasus ini bodoh, tapi pihak otoritas bersikeras menghukum Duncan. Bahkan 80 tahun setelah kematiannya, negara masih tak mau membersihkan namanya dari tuntutan tak masuk akal itu.
Aturan persihiran ini akhirnya dicabut pada 1951, tapi semangat persekusinya masih hidup sampai sekarang. Pola tuduhan, proses penghukuman, dan korbannya juga masih sama. Korbannya tentu saja perempuan—mayoritas datang dari kelompok rentan seperti bagian dari minoritas atau sudah tua. Para penyihir ini dituduh memperdaya laki-laki malang, membawa bencana, dan menebar teror ke masyarakat.
Terbakar amarah, para anggota masyarakat yang jengah menggali-gali kehidupan sang perempuan. Semua hal tentang dirinya diobral untuk bisa dikaji dan dicari kesalahannya. Kesalahannya mungkin kecil, tapi dibesar-besarkan sedemikian rupa supaya memperkuat tuduhan dan membuatnya semakin tak pantas untuk dibela. Lebih parahnya lagi, sang ‘penyihir’ tidak diberi waktu dan tempat untuk membela diri.
Apa yang membedakan witch hunt masa lalu dengan masa sekarang adalah keparahan hukuman dan durasi proses pengadilan. Kalau dulu prosesnya bisa memakan mingguan hingga bulanan, dengan keputusannya berakhir ke kematian mereka. Sekarang, prosesnya hanya memakan waktu beberapa hari saja. Hukumannya—yaitu hukum sosial—memang terasa ringan dibanding apa yang dialami oleh penyihir-penyihir sebelumnya. Tapi hukumannya akan terus menghantui si pesakitan seumur hidupnya. Belum lagi penyebaran informasi yang begitu cepat dan melampaui batas geografis. Nama dan perbuatannya tak akan bisa sepenuhnya bersih; ingatan mungkin hilang, tapi arsip digital akan terus hidup.
Ini terlihat dari kecepatan warganet dalam menggali dan menghimpun informasi. Hanya dalam waktu beberapa jam setelah kasus Mario naik, warganet yang haus konflik langsung berburu motif. Cuitan-cuitan awal yang menyinggung AGH memang tak menyebut nama atau menunjukkan wajahnya, tapi jari-jari mereka telah menuding dirinya.
Dengan kekuatan secepat kilat, warganet langsung menggulirkan informasi lengkap soal keluarga sang pelaku dan AG. Nama, foto, akun media sosial, postingan lama yang menunjukkan kehidupan pribadi mereka, sampai informasi sensitif seperti nomor HP diobral di linimasa.
Keinginan untuk mendapatkan internet poin, ditambah dengan keingintahuan yang tak sepatutnya adalah penyebab aksi doxing massal ini. Ya, memang ada hal yang positif yang muncul dari sini, yaitu benah-benah di badan Kemenkeu karena temuan kekayaan orangtua Mario Dandy yang tak masuk akal.
Tapi efek negatifnya juga tak bisa dianggap angin lalu. Pihak-pihak yang tak terlibat langsung terseret. Muncul pelecehan dan perundungan orang dewasa terhadap anak, pembocoran informasi pribadi, dan penyebaran informasi-informasi palsu yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Beberapa contoh diantaranya adalah postingan-postingan yang mengklaim berasal dari orang-orang yang kenal AGH dan akun-akun palsu yang mengatasnamakan dirinya.
Terus bergulirnya informasi membuat fokus kejahatan bergeser dari Mario dan Shane ke dirinya sendiri. Warganet menggambarkan AGH sebagai penyihir yang membutakan mata Mario. Oleh karenanya, ia patut dihukum dengan komentar sinis. Foto-foto pacarannya dikritik dan disindir habis-habisan, klaimnya soal pelecehan seksual yang dilakukan korban diragukan. Ada pula yang menerornya dengan menamai kontak AGH dengan makian misoginis. Bahkan ada warganet yang mengirim karangan bunga yang isinya menuntut AGH agar ikut ditangkap.
Komentar-komentar ini tak hanya kejam, tapi juga membuat AGH mengalami viktimisasi ganda. Lebih buruknya lagi? Para perempuan—dewasa!—juga ikut dalam witch hunt ini. Mereka melontarkan dan mengamini kalimat bernada misoginis terhadap AGH. Dan ini permisa, adalah bentuk nyata dari misogini yang sudah sedemikian terinternalisasi.
Pada akhirnya, warganet tetap bersikeras AGH adalah dalang dari ini semua. Bagi mereka, AGH adalah penyihir yang wajib dihukum seberat-beratnya.