RateYour(World)Music: Dari Bule, Oleh Bule, Untuk Bule
Muhamad Kusuma Gotansyah
Aku tertawa, hampir bersuara, sambil agak kebingungan, saat menonton sebuah video YouTube berjudul The Best Album Of Every Country (And By State For USA) Music Around The World dari channel bernama RYM Charts.
Aku sudah tersenyum geli duluan saat iseng membuka YouTube di ponsel lalu melihat video itu lewat di Home dan menekannya, tentu dengan tujuan menemukan Indonesia. Aku mulai terkekeh dalam hati, saat membuka kolom deskripsinya dan membaca tulisan “source: rateyourmusic.com”. Aku pun tertawa, sambil kebingungan, saat akhirnya melihat Indonesia di video tadi, dan mendapati bahwa album terbaik di Indonesia menurut situs rateyourmusic.com (RYM) adalah… RRI Gamelan – Klenengan Session of Solonese Gamelan I (1994). [Catatan buat desainer: kasih gambar]
Hampir semua orang di Indonesia, aku rasa, pasti familiar dengan ‘gamelan’ dan ‘klenengan’. Walau begitu, rasanya kecil kemungkinan akan ada om-om Indonesia pencinta musik berkata, “musik zaman sekarang apaan sih, nggak jelas. Ini dong. Nah… Klenengan Session of Solonese Gamelan I… ini adalah album terbaik di Indonesia…”. Bahkan, di daftar 150 Album Indonesia Terbaik menurut (alm.) Rolling Stone Indonesia yang terbit tahun 2007, pun, tidak ditemukan judul album tersebut. Apakah mungkin Denny Sakrie, dkk. melewatkan hidden gem ini saat menyusun kanonisasi khazanah musik Indonesia tersebut?
Ketika mengklik video yang tadi aku sebutkan, aku tidak menonton satu-satu album terbaik setiap negara sebelum sampai ke Indonesia. Di kolom deskripsi, ada timestamp untuk setiap negara, dan aku langsung menekan Indonesia yang ada di menit 6:20. Melihat nama album yang jujur kurang familiar untukku, aku mencoba mengulang video dan menonton album-album terbaik dari negara lain yang termasuk dalam video itu.
Setiap album di video itu—selain judul, cover art, artis, dan negara asalnya—dilengkapi dengan tahun rilis, ratingnya di RYM, genre dan subgenrenya, serta backsound cuplikan beberapa detik salah satu track dari album yang bersangkutan.
Saat menonton kembali itu, aku menemukan album-album yang ‘serupa’ dengan Klenengan Session of Solonese Gamelan I. Berikut adalah sedikit contohnya:
Homayun Sakhi – Music of Central Asia Vol. 3: The Art of the Afghan Rubab (2006, Afghanistan)
Jigme Drukpa – Endless Songs From Bhutan (1998, Bhutan)
Zubin Mehta, dkk. – Turandot (1973, India)
Dr. Phong Nguyen – Instrumental Music of Vietnam: Dan Tranh (1983, Vietnam)
Dumisani Maraire – The African Mbira: Music of the Shona People of Rhodesia (1971, Zimbabwe)
Jika diperhatikan, album-album di atas datang dari negara-negara dunia ketiga di Asia dan Afrika. Dari judul-judulnya bisa dilihat kesamaan; semuanya merupakan musik-musik tradisional dari negara-negara bersangkutan. Khusus untuk Turandot, walaupun dalam video dipresentasikan sebagai “album India”, ia sebetulnya adalah cerita rakyat Cina yang beririsan dengan legenda India dan Persia, yang lalu dipelintir dan diobrak-abrik lewat proses panjang orientalisme Barat, salah satunya melalui opera Giacomo Puccini (1858-1924) pada 1920, yang kelak dimainkan ulang dan diabadikan dalam bentuk rekaman studio oleh komposer India Zubin Mehta dan London Philharmonic Orchestra.
Selain sedikit yang di atas, juga ada beberapa album yang tidak berjudul eksplisit menyatakan ia adalah musik tradisional, namun memiliki keterangan tambahan yang serupa untuk bagian genre dan subgenre. Istilah-istilah seperti “African Folk Music”, “Hindustan Classical Music”, “Northeastern African Music”, “Arabic Music”, dan sejenisnya banyak tercantum pada album-album yang berasal dari negara-negara Afrika dan Asia (dan Timur Tengah).
Apakah negara-negara di Afrika dan Asia minim musik pop, sehingga yang dianggap musik terbaik harus musik tradisionalnya? Pertanyaan yang mungkin menyusul, apakah mayoritas orang-orang dari negara-negara bersangkutan mendengarkan dan menggemari album-album yang disebut “terbaik” di video tersebut?
Untuk Indonesia, secara subjektif, aku bisa menjawab kedua pertanyaan di atas dengan tidak yang cukup tegas. Tidak, Indonesia tidak minim musik populer yang berkualitas sehingga harus memilih musik tradisional (dari Jawa pula!) untuk disebut musik terbaik dari Indonesia. Tidak, kebanyakan orang Indonesia, aku rasa, tidak mendengarkan klenengan dan gamelan sebagai asupan sehari-hari. Untuk tidak yang terakhir, lumayan bisa didukung, salah satunya, dengan 150 Album Terbaik Indonesia tadi. Maksudnya, bahkan di dalam sebuah daftar kanonisasi yang sudah lumayan kuno dan kedaluwarsa saja, tidak ada, tuh, Klenengan Session of Solonese Gamelan I.
Aku tidak akan membahas isi daftar kanon tersebut. Aku hanya ingin menanyakan satu hal; jika bukan Denny Sakrie atau David Tarigan yang mendengarkan dan menahbiskan Klenengan Session of Solonese Gamelan I sebagai album terbaik Indonesia, lalu siapa? Jawabannya ternyata mudah: bule. Lebih tepat lagi, bule-bule kulit putih yang tinggal di sekitar Amerika Serikat (AS), serta chronically online dan punya akun RYM. Ada perbedaan yang menarik antara usaha kanonisasi musik yang dilakukan ‘pengamat’ lokal negara dunia ketiga (baca: Indonesia) dan yang dilakukan bule terhadap negara yang sama. Ada cuplikan dari sebuah ulasan pengguna RYM atas album terbaik di Indonesia ini yang menurutku menarik:
“… Aku mencoba mendengarkan (album) ini dengan harapan akan terkagum-kagum, dan aku berusaha menyukainya, karena, sedihnya, aku berusaha punya selera yang secara etnis dan geografis beragam.”
Curhatan singkat pengguna tersebut terasa seperti ia memaksa dirinya sendiri untuk memiliki selera yang beragam. Sikap ini, aku lihat sebagai fetisisme bule terhadap budaya lokal negara-negara non-Barat yang sudah terjadi sejak dahulu kala. Fetisisme itu, terasa semakin pelik dengan munculnya internet.
Internet punya peran yang sangat besar dalam proses penemuan musik-musik baru oleh anak-anak penyuka musik yang lahir di paruh akhir 1990an dan seterusnya. Situs seperti RYM, forum-forum khusus seperti /mu/ di 4chan, media musik daring seperti Pitchfork, menjadi beberapa sumber referensi musik yang paling digandrungi generasi internet hingga saat ini. Semuanya, jelas, adalah produk bule. Maklum, karena perkembangan internet paling pesat memang di negara-negara bule saat itu. Akibatnya, secara tidak langsung, selera yang dibentuk internet adalah selera bule. Dan ketika anak-anak dari, contohnya, Indonesia, menjelajahi internet untuk mencari-cari musik keren, sudah barang pasti akan terpapar pertama kali dengan musik bule.
Tetapi, kan, sebenarnya tidak ada salahnya, dan memang selalu seperti itu? Aku sendiri juga sadar, bahwa banyak album yang aku gemari adalah album bule dan aku ketahui dari internet. Masalahnya, harus ada kesadaran bahwa internet, khususnya situs seperti RYM, menciptakan selera bule yang berorientasi pada suatu hal yang agak membingungkan: obskuritas. Musik bagus adalah musik yang obskur. Lebih dari itu, selain obskur, suatu musik yang bagus juga harus eksotis. Selera inilah yang agaknya membuat Klenengan Session of Solonese Gamelan I didaku para pengguna RYM sebagai album terbaik di Indonesia. Ia sungguh obskur, eksotis, asing, di telinga bule. Aku melihat parameter musik seperti ini sebagai hal yang berbau kolonial; ia melihat musik di luar produk-produk bule sebagai hal eksotis yang bisa diambil, dipatenkan, dan dijual ke bule-bule lainnya dengan memasangkan label ajaib world music. Musik dunia? Memangnya RnB, hip hop, hardcore punk, tidak berasal dari ‘dunia’? Oh, mungkin maksudnya dunia ketiga. Obskur, eksotis; bagus!
Jadi, apakah mencari-cari (dan menyukai) musik obskur itu salah? Apakah tidak boleh memaparkan diri kepada musik-musik yang dikurasi bule? Yang jelas, aku bukan siapa-siapa untuk melarang apa-apa. Tambah lagi, aku juga punya selera yang dibentuk sebagian besar oleh internet. Walau begitu, sepertinya, aku tidak merasa Klenengan Session of Solonese Gamelan I sebagai album Indonesia terbaik.
Oke, berarti tidak boleh, ya, mendengarkan dan betulan suka dengan klenengan, gamelan, atau musik tradisional Indonesia lainnya? Menurutku, untuk hal itu, sebagai orang Indonesia, ada hal yang lebih urgen ketimbang suka dan tidak suka, dapat rating berapa di RYM, atau apakah masuk daftar 50 album terbaik tahunan Anthony Fantano. Rasanya, lebih penting untuk membicarakan usaha pelestariannya sebagai khazanah kebudayaan Indonesia, dan upaya-upaya untuk menyelamatkannya dari tangan-tangan bule yang haus eksotisme dunia ketiga di internet.