Representasi LGBTQ+ di Media dan Pengaruhnya Terhadap Identitas LGBTQ+ di Indonesia

Yudhis dan Yudith adalah kakak dan adik. Yang satu adalah Millennial yang lahir di zaman walkman, MTV Asia, dan Westlife, sementara satunya lagi adalah Gen Z yang lahir di zaman iPod, iTunes, dan EXO. Yudith lahir tahun 1998 yang membuatnya menjadi korban stunting, sementara Yudhis yang lahir satu dekade sebelumnya tidak mengalaminya.

Selain itu, ada perbedaan lain yang lebih ketara, yaitu bagaimana mereka menerima identitas masing-masing. Teman-teman sebaya Yudhis–yang notabene berusia 30an–sudah menikah dan punya anak. Ia sendiri tak bisa melakukannya karena orientasinya sebagai pria gay. Hanya teman-teman tertentu yang tahu karena ia tak mengekspresikannya secara eksplisit. Toh ia juga baru sadar dirinya gay di bangku kuliah, setelah bertahun-tahun menyangkalnya. Sementara Yudith yang baru berumur 20an, sudah mengerti ia biseksual di bangku sekolah. Orang-orang di sekitarnya tahu dan mendukungnya. 

Suatu ketika, kakak dan adik berbicara terus terang soal identitas mereka. Perasaan lega muncul setelah mereka akhirnya bisa saling terbuka, lega bahwa mereka bisa saling melela (coming out). 

Perbedaan antargenerasi ini bukan hal yang unik. Survei Gallup (2022) menunjukkan bahwa generasi yang lebih muda lebih mungkin untuk melela dibanding dengan yang lebih tua. 20.8% Gen Z mengidentifikasi dirinya sebagai LGBTQ+, hampir dua kali lipat dari tahun 2017, yaitu 10.5%. Walaupun konteksnya di AS, kita bisa melihat bahwa secara umum, generasi yang lebih muda lebih mungkin mengidentifikasi sebagai LGBTQ+.

“Kok bisa kamu udah tau dari jaman kamu sekolah?” tanya Yudhis.

“Kayaknya gara gara Glee deh.” jawab Yudith. Lalu mereka tertawa.

Media dan Representasi Nilai Masyarakat

Media menjadi salah satu faktor pembeda antargenerasi, bisa sebagai penanda perbedaan atau sebagai penyebab perbedaan. Melalui media, kita melihat simulasi kehidupan nyata dan bagaimana kita sebagai sebuah masyarakat seharusnya bersikap. Media mengenai anak anak muda dalam umur sekolah selalu populer dari dulu sebagai cerminan dari cara masyarakat hidup pada masa itu. Cermin ini bersifat dua arah: di satu sisi, ia mencerminkan masyarakat, di sisi lain, masyarakat bercermin melalui media tersebut.

Media sebagai cermin bisa kita lihat di dua film klasik Indonesia: Catatan si Boy (1987) dan Dilan 1990 (2018). Film Catatan si Boy (1987) merupakan cerminan langsung kehidupan pada tahun 1980an, sementara film Dilan 1990 (2018) adalah upaya masyarakat sekarang yang bercermin terhadap kehidupan pada tahun 1990an.

 

Film juga memberikan kita representasi yang penting akan gender, umur, ras, etnis, agama, dan identitas lainnya. Meskipun penting, topik representasi jarang dibahas di Indonesia. Padahal, banyak dari generasi muda melihat media sebagai inspirasi untuk menjalani hidup mereka. 

Hal ini pula yang dirasakan oleh Yudith. Pada awal tahun 2010an, serial musikal Glee adalah satu dari segelintir media arus utama yang merepresentasikan karakter dari beragam etnis, disabilitas, gender, dan seksualitas. Glee juga memberi gambaran soal representasi isu isu tersebut di media mainstream. Masing-masing karakter melalui proses yang berbeda dalam mengeksplorasi identitas gender dan seksualitas mereka. Mereka tidak dipresentasikan sebagai karakter dengan satu dimensi atau sebagai bahan candaan yang kerap dilakukan media arus utama.

Contoh representasi yang buruk adalah ayah biologis Chandler di serial Friends adalah seorang waria penghibur (drag queen). Dialog di episode tersebut banyak melibatkan candaan mengenainya. Di Glee, walaupun dialognya dibalut dengan humor, eksplorasi identitas karakter karakternya mencerminkan kehidupan nyata yang multidimensional—bahwa proses pembentukan diri setiap orang berbeda dan sangat tergantung dengan konteks kehidupan mereka masing masing.

Tontonan Glee memberikan Yudith cara untuk menyikapi dirinya serta memberikan alternatif untuk tumbuh berkembangnya. Sedangkan Yudhis tak punya representasi media yang positif seperti itu. Representasi yang ada seringkali bernada negatif atau hanya lucu-lucuan, sehingga ia kesulitan dalam memahami dan menerima dirinya sendiri.

Di Indonesia, representasi LGBTQ+ yang positif sangat terbatas. Antropolog Tom Boellstorff (2003) menemukan bahwa banyak dari LGBTQ+ di Indonesia mulai memahami arti dari label ‘gay’ dan ‘lesbi’ melalui interaksi dengan media massa mainstream yang terfragmentasi. Artinya, representasi yang mereka konsumsi adalah rekonstruksi dari representasi yang seutuhnya melalui bacaan seperti zine GAYa Nusantara yang didistribusikan di komunitas LGBTQ+ sejak tahun 1980an, omongan dari teman, atau acara TV yang mereka tonton.

Di zaman yang belum berorientasi ke internet, wajar bila representasi harus dikonstruksi secara aktif oleh komunitas LGBTQ+ karena belum ada representasi yang ‘utuh’. Misal, karakter Ade Juwita di film Lenong Rumpi (1992) yang dipresentasikan sebagai pria feminin secara gamblang diceritakan mempunyai pacar laki laki. Tapi karakternya tetap diperlakukan sebagai sumber humor dengan penokohan yang masih stereotipikal. Meski begitu, harus diakui sulit untuk merepresentasikan identitas LGBTQ+ dengan positif karena tabu dan tidak ada pondasi untuk sebuah representasi yang konstruktif. 

Konstruksi Identitas LGBTQ+ dan Internalisasi Nilai Masyarakat

Sejak media massa berubah ke internet dan media sosial, fragmentasi media massa yang menjadi representasi komunitas LGBTQ+ Indonesia semakin mengecil. Akhirnya orang-orang terpapar dengan informasi dan representasi yang lebih bervariasi. Glee sendiri merupakan titik ‘aha’ yang kecil ketika dibandingkan dengan generasi-generasi yang lebih muda lagi. Representasi mengenai LGBTQ+ tidak hanya muncul di TikTok atau di tayangan-tayangan streaming, karena di kehidupan nyata, seringkali representasi tersebut sudah ada dengan lebih konkrit dengan lebih banyak orang yang berani melela. 

Pada akhirnya, Identitas mereka tidak lagi merupakan bagian lucu dari suatu adegan humor, bukan lagi stereotipe di masyarakat, dan bukan juga fragmentasi dari citra mereka yang sesungguhnya. Identitas mereka sekarang sama nyatanya dengan identitas-identitas lain, seperti etnis atau disabilitas. Melalui perspektif ini, kita bisa melihat bahwa media memainkan peran penting dalam konstruksi identitas berbagai generasi komunitas LGBTQ+ dari berbagai generasi. 

Di antara Yudhis dan Yudith, akan ada banyak sekali perbedaan yang akan selalu mereka miliki sampai akhir hayat mereka. Konstruksi identitas mereka dibentuk dari konteks dan kondisi yang berbeda, sehingga perjalanan hidup mereka pun juga akan berbeda. Namun pemahaman yang berbeda ini bisa menuntun kita untuk lebih kritis terhadap label label yang kita sematkan ke satu sama lain, ke nilai nilai dan kepercayaan yang kita pegang, dan bagaimana kita memperlakukan satu sama lain.

Yudith dapat memahami kenapa kakaknya kesulitan menerima diri sendiri selama bertahun-tahun dan bagaimana dampaknya terhadap hidupnya, dan Yudhis dapat memahami sebaliknya mengapa adiknya lebih mudah melakukan hal tersebut. 

Konstruksi identitas mereka adalah cerminan dari generasi mereka. Bagi Yudhis, identitasnya adalah aib, dan sebagian kecil dari dirinya tak bisa melepaskan pandangan tersebut karena ia telah lama menginternalisasi hal tersebut. Dan itu bukan salah Yudhis, melainkan konsekuensi dari masyarakat yang belum bisa menerima dirinya apa adanya.

Apakah itu adil? Tidak. Kita tidak bisa memilih kondisi dimana kita lahir. Kita juga tak bisa memilih nilai-nilai apa yang akan kita dapatkan ketika kita tumbuh. Namun dengan majunya zaman, pilihan-pilihan baru akan terus bermunculan. Bisa lewat perubahan nilai dalam masyarakat, atau lewat media massa. 

Seiring dengan perkembangan zaman, tantangan yang akan dijalani oleh anak-anak LGBTQ+ lainnya pastinya akan sangat berbeda dengan apa yang Yudhis dan Yudith alami. Namun setidaknya untuk saat ini, Yudhis dan Yudith sekarang punya pilihan dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan kebahagiaan mereka sendiri.