Review Film How To Make Million Before Grandma Dies

Gambaran Keluarga Ekonomi Menengah ke Bawah di Asia dalam Film How To Make Millions Before Grandma Dies

Seluruh bioskop menangis sesenggukkan saat lampu menyala. Rupanya, isi ceritanya berbanding terbalik dengan judulnya yang seringkali diplesetkan netizen. Entah “How To Train Your Grandma” lah atau yang paling kurang ajar adalah “How To Make Your Grandma Dies”. Walaupun di awal tampak jenaka, pada akhirnya, film ini berhasil membuat penontonnya menyeka air mata berulang kali di akhir cerita. Ditambah, isu-isu utama yang diangkat dalam film juga nampaknya relevan dengan sebagian masyarakat Indonesia.


Sinopsis Film How To Make Millions Before Grandma Dies

Film menceritakan seorang tokoh utama, M, pemuda pengangguran yang bercita-cita jadi pemandu game. Tapi hari-harinya justru tampak tak berguna. Nenek M, biasa disebut Amah, akhirnya jatuh sakit akibat kanker usus stadium empat. Seluruh keluarga hanya punya waktu satu tahun bersama Amah.

Namun, ada udang di balik batu. M memutuskan untuk merawat Amah dengan tujuan mendapatkan warisan paling banyak. Hari-hari M dilalui bersama Amah, dari berjualan congee (bubur nasi khas Cina) dari pukul empat pagi, menemani Amah menyetor uang ke bank, berobat, dan beribadah.

Dalam memperebutkan warisan, M bersaing dengan kedua pamannya, Paman Kiang yang cukup mapan dan Paman Soei yang begundal. Sayangnya, rumah warisan justru jatuh ke tangan Paman Soei. Sebab Amah begitu iba melihat Paman Soei yang terlilit hutang. Rumah pun akhirnya dijual.

M yang kecewa memilih meninggalkan Amah di rumah sakit, sedangkan Paman Kiang tak sudi menerima Amah tinggal bersamanya karena tak dapat warisan. Amah berakhir di panti jompo seorang diri. Namun, M memutuskan membawa Amah pulang dan merawatnya.

Mungkin pada awalnya, film ini memiliki skenario yang sudah lazim. Cerita tentang keturunan yang kurang ajar dan hanya peduli warisan. Namun, tetap saja film ini berakhir dengan plot twist yang mengundang banjir air mata.  

Isu Ekonomi Kelas Menengah ke Bawah di Asia
Thailand—sebagai latar dari film di atas—masuk ke golongan negara negara berkembang. Kehidupan masyarakat Thailand cukup beragam dengan berbagai macam etnis, termasuk Cina. Negara berkembang identik dengan kecenderungan ekonomi yang lebih miskin, memiliki tingkat ketimpangan pendapatan yang lebih tinggi dan harapan hidup yang lebih rendah serta kondisi kehidupan yang lebih sulit dibandingkan negara maju—negara-negara Eropa.

Salah satu permasalahan dunia ketiga adalah seputar ekonomi dan sandwich generation. Contohnya, ibu dari M yang bernama Chew, yakni anak kedua dari Amah yang harus membiayai M sekaligus merawat Amah. Sedari kecil, Chew terpaksa putus sekolah dan membantu Amah berjualan congee agar Paman Kiang dan Paman Soei bisa hidup nyaman. Salah satu praktik yang dilumrahkan di negara Asia dari keluarga kurang mampu. Anak perempuan dikorbankan dan dibebani pekerjaan domestik sekaligus mencari nafkah, karena pada akhirnya mereka dianggap sebagai calon ibu rumah tangga. Sedangkan anak laki-laki dibayai untuk bersekolah tinggi agar kedepannya dapat mengentaskan keluarganya dari kemiskinan.

Kasus yang menimpa Chew sebenarnya juga dialami oleh Amah sendiri. Dahulu, Amah berasal dari keluarga yang cukup berada. Ia dijodohkan oleh orang tuanya, sayang, suami Amah ternyata orang yang dinilai ‘gagal’. Sebagai anak perempuan, Amah bertugas mengurus kedua orang tuanya saat tua. Sementara, kakak laki-laki Amah diberi seluruh warisan untuk dikelola. Amah tak kebagian sepeser pun. Bisa dibilang, permasalahan ketimpangan gender dalam pembagian warisan sudah dialami dari generasi ke generasi.

Kembali ke persoalan M yang bertarung demi warisan dengan cara merawat Amah. Dalam perspektif orang Asia Timur, mengirim orang tua ke panti jompo adalah durhaka! Tak jarang anak-anak merasa terpaksa untuk merawat orang tua mereka, apalagi jika kondisi ekonomi mereka pas-pasan. Kalau sudah begini, muncullah sikap pamrih. Paling tidak dengan merawat orang tua, mereka mengharapkan porsi paling besar dari pembagian warisan. Jadi tak jarang, orang yang mendadak jadi OKB setelah dapat warisan.

Merawat orang tua sebagai bentuk bakti anak juga diamini oleh pemerintah di banyak negara Asia. Pemerintah mempromosikan gagasan bahwa keluarga harus menjadi pihak yang paling bertanggung jawab dalam merawat anggota keluarga yang lanjut usia. Di Indonesia sendiri, Menteri Sosial, Tri Rismaharini menyebut kalau mengirim orang tua ke panti jompo sama saja dengan membuang mereka.

Berbeda dengan budaya Eropa yang serba individual dan modern. Untuk merawat orang tua, panti jompo dipandang sebagai solusi praktis. Lagi pula, dilengkapi dengan fasilitas medis yang canggih dan staf yang terlatih. Jadi, daripada sok tahu, alangkah lebih baik urusan lansia diberikan pada ahlinya kan? Kira-kira begitulah cara berpikirnya.

Di Amerika Utara dan Eropa, merawat orang tua dilihat sebagai beban. Mereka mengeluhkan kehilangan pekerjaan karena harus fokus terhadap orang tua. Sekaligus keuangan pribadi mereka terpakai hingga 26% untuk merawat orang tua. Dan 50% juga mengatakan bahwa merawat orang tua adalah hal yang melelahkan. Beda cerita dengan di Asia, yang mana merawat orang tua dilihat sebagai wujud bakti seorang anak.

Urusan merawat orang tua sebenarnya kembali lagi pada kesepakatan anak dengan orang tua. Sekarang sudah banyak fasilitas mumpuni di panti jompo untuk merawat orang tua. Jika orang tuamu tak masalah di panti jompo, tak ada salahnya memanfaatkan fasilitas itu. Tapi kalau kamu mau menghabiskan waktu lebih banyak dengan orang tua, alangkah lebih baik merawat mereka tanpa perlu diiming-imingi warisan.