Tak Cuma Perempuan yang Terkubur dan Dihidupkan Oleh Narasi Misoginis, Laki-Laki Juga
Oktober lekat dengan segala hal yang horor. Saya tidak akan membicarakan horornya kapitalisme, tapi horornya film horor Indonesia. Bukan cuma karena kebanyakan film horor Indonesia ratingnya B, tapi juga banyak melibatkan dosa serta tabu seputar seks.
Memang ada apa gerangan?
“Diperkosa Setan”: Film Horor Indonesia yang Bikin Merinding Bukan Karena Setannya
Kalian pasti sudah tak asing dengan dengan template film horor dalam dan luar negeri: perempuan jadi setan karena mati diperkosa. Sumbernya adalah ketidakadilan yang dirasakan perempuan dalam kehidupan nyatanya. Mereka digambarkan baru memiliki kekuatan kala jadi makhluk dari dunia lain, lantas membunuh para pemerkosanya. Dendam pun terbayarkan.
Namun, laki-laki juga terjebak dalam stereotipe film horor. Tapi alih-alih menjadi korban pemerkosaan, mereka malah menjadi setan karena semasa hidupnya menjadi penjahat seksual. Ambil contoh film horor Indonesia yang berjudul “Diperkosa Setan” yang dirilis tahun 2010. Filmnya menceritakan hal yang tadi saya sebut, laki-laki yang jadi setan karena gemar memperkosa semasa hidupnya.
Jujur, dari judulnya saja sudah menjijikkan. Film ini menceritakan seorang setan yang semasa hidupnya adalah laki-laki playboy dan hypersex. Ketika tak ada lagi perempuan yang mau dengannya, tiba-tiba saja ada kuntilanak yang menyamar sebagai manusia perempuan dan mendekatinya. Singkat cerita, playboy itu dibunuh oleh si kuntilanak. Alhasil, jadilah ia setan yang kerjanya memperkosa perempuan.
Perempuan memang sering jadi ‘objek’ dan tentunya dirugikan dalam film-film horor lewat karakter setan perempuan, sebab mereka dianggap monster. Namun dalam film dimana setannya adalah laki-laki, perempuan pun tak luput dari itu. Sepanjang film menyuguhkan adegan yang menyorot dan menonjolkan berbagai bagian tubuh perempuan secara tak senonoh. Dan lagi, selain sang setan, perempuan yang diperkosa oleh setan tadi masih harus menerima bentuk-bentuk pelecehan dan objektifikasi dari laki-laki yang masih hidup, bahkan nyaris diperkosa pula. Tapi tiba-tiba saja, sang laki-laki itu dibunuh oleh kuntilanak perempuan yang saya ceritakan di awal tadi.
Yang bikin lebih geleng-geleng kepala, cerita memproduksi sebuah plot dimana sang perempuan harus mengandung bayi setan. Bayangkan saja, siapa, sih, yang mau diperkosa? Bahkan siapa yang mau bunting bayi setan?
Kekerasan Seksual dan Cerita Horor yang Mirip Lingkaran Setan
Dari film yang saya ambil tadi, satu hal yang terlintas di benak saya adalah benar bahwa kekerasan seksual dan cerita horor layaknya lingkaran setan. Bak ayam atau telur, mana yang mulai duluan, mana yang harus disudahi.
Pasalnya, selain nafas misoginis yang disuguhkan lewat film-film horor, sebenarnya ada pula aroma misandri. Kalau perempuan terus direproduksi jadi hantu karena dianggap tak berdaya kala hidup, lain halnya dengan laki-laki, mereka direproduksi sebagai hantu karena dianggap berkelakuan bejat saat hidup. Bukankah produk semacam ini—entah disadari atau tidak—justru semakin menegaskan karikatur laki-laki sebagai sosok hidung belang yang selalu menyakiti perempuan. Sudah mati saja, para perempuan dibuat untuk ketakutan terhadap pelecehan dari hantu laki-laki. Diperburuk dengan dibuat selalu menjadi korban pula.
Narasi semacam itu sebenarnya memiliki pola yang berakar dari sistem patriarki, yakni mengeksploitasi perempuan dengan cara menempatkannya sebagai objek hasrat laki-laki, sedangkan laki-laki digambarkan tak bisa membendung hasratnya, terutama kalau melihat bagian-bagian ‘tertentu’ dari perempuan.
Ya, saya melihatnya itu sama saja dengan menegaskan ungkapan, “ibarat kucing kalau dikasih ikan, pasti akan dimakan” untuk menggambarkan perempuan sebagai penyebab laki-laki jadi predator seksual. Padahal, laki-laki pada faktanya memiliki kontrol atas nafsunya sendiri. Ketika wara-wara semacam itu terus diproduksi dan menjadi sarana hiburan, secara tak sadar, itu juga akan terus menajamkan stigma yang kita bahas di atas.
Dan ketika hal itu terus diterima begitu saja oleh masyarakat, hiburan semacam itu akan terus diproduksi. Lihat saja bagaimana boomingnya film-film yang mengobjektifikasi perempuan. Toh, cuma dianggap jadi sarana hiburan belaka bukan? Padahal kalau ditelusuri lebih dalam, ada narasi miris di dalamnya. Tapi kembali lagi, narasi miris itulah yang lantas dianggap menarik jadi cerita horor yang dikemas dalam bentuk ‘hiburan’.
Jadi merinding saya, bukan karena setannya, tapi dengan narasi patriakalnya~