Scott Pilgrim Takes Off
Melampaui Batas yang Tak Pernah Eksis
Baik mengacu pada komik maupun filmnya, Scott Pilgrim merupakan kisah coming-of-age yang ikonik, kalau bukan monumental, pada zamannya.
Sebagai IP, ia menempuh rute yang kurang lazim. Suatu komik barat yang terinspirasi dari manga (terutama kategori shōnen) yang akhirnya kembali ke anime. Bermula dari seri novel grafis karya Bryan Lee O'Malley yang pertama dipublikasikan pada 2004, ia diadaptasi jadi salah satu film live-action percontohan dalam Scott Pilgrim vs. the World enam tahun berselang, sempat menjajal ranah video game, sebelum akhirnya diangkat menjadi serial animasi yang ditayangkan Netflix pada 2023 ini.
O'Malley sendiri, bersama BenDavid Grabinski, bertugas sebagai showrunner sekaligus penulis untuk serial yang dijuduli Scott Pilgrim Takes Off. Studio asal Jepang, Science SARU (The Tatami Galaxy, Devilman Crybaby) menangani urusan animasinya. Sementara Edgar Wright, sutradara filmnya terdahulu, menjabat sebagai executive director sekalian mengumpulkan seluruh aktor pada film Scott Pilgrim vs. the World untuk kembali sebagai pengisi suara karakter-karakter mereka versi anime.
Pendekatan yang tricky, memang. Seberapa mampu menggantikan para voice actor betulan, yang memang sudah tersisih? Di atas semuanya, seperti apa wajah baru Scott Pilgrim, dan seberapa berhasil ia dalam wujud terkininya?
Melampaui Batas yang Memang Tak Eksis
Dari segi visual, jelas tak diragukan.
Penampilannya lebih lentur, plus lebih semarak akan warna. Tak banyak perubahan drastis pada karakternya, terutama bagi mereka yang familier dengan komiknya (yang pasti Julie Powers akan selalu mudah dikenali). Dan kendati bukan tugas mahasulit untuk mentranslasikan komik dengan art style yang sudah didasarkan pada manga dan anime, tapi apa yang dicapai Studio SARU rasa-rasanya tetap pantas diapresiasi. Kisah yang memang sudah liar ini jadi terasa kian luwes berkat tampilan keseluruhan, maupun berbagai gambaran kelucuan dan gerak-gerik konyol para karakternya, selagi mempertahankan gaya komikal yang meriah lengkap dengan berbagai pop-up; membawa energi bombastis dan imajinatif yang setara.
Sekilas ia masih berada pada latar yang sama, Toronto, Kanada awal 2000an di mana kaos No Fear tampaknya masih ngetren, dengan konsol gim yang kini bisa dibilang jadul.
Di tengah-tengah masihlah karakter Scott Pilgrim yang sama, pemuda usia 23 yang tergolong 'slacker', juga bassist untuk band Sex Bob-omb yang sedang berupaya pulih atas kisah cinta traumatis, yang tentunya masih saja mengencani anak sekolahan. Sedangkan Ramona Flowers jelas tetap prototipe perempuan muda keren (kalau bukan justru 'cegil') yang gonta-ganti warna rambut nyaris setiap episode, dan kini bekerja sebagai pengantar DVD untuk Netflix–pengubahan yang lucu, mengingat dalam komiknya ia justru bekerja di Amazon, yang juga punya layanan layanan streaming sekaligus rival di mana serial ini ditayangkan.
Ramona juga masih sama berharganya, tetap bikin seluruh mantannya obsesif untuk satu dan lain hal. Demi dapat memacari sang gadis rambut bondol berwarna-warni, Scott mesti mengalahkan League of Evil Exes (semacam jawatan mantan) yang berisikan seluruh mantan pacar Ramona.
Delapan episode lantas disebar dengan satu pakem: minimal ada satu pertempuran per episode–selain episode 7, yang sebetulnya tetap menyertakan pertempuran batin. Yang membedakan, ini adalah poros cerita yang sama dengan komiknya (juga lebih banyak berbagi kesamaan dengan filmnya) yang ditulis dengan plot dan arah-arah baru, dengan konklusi-konklusi baru.
Dari sana, Scott Pilgrim Takes Off berangkat menuju kombat-kombat yang gemerlapan, pastinya tetap dengan referensi video game (terutama Street Fighters), yang jelas digambarkan berlebihan bahkan kini lebih meriah lagi. Sebabnya, bukan hanya secara satu-persatu menghadapi ketujuh mantan sang gadis yang ditaksir, Scott sendiri bahkan menghilang dari layar sejak episode 1 sampai sebagian episode 6. Kita pun disuguhi sederet pertempuran anyar antara Matthew Patel melawan Gideon Graves, Lucas Lee kontra ninja paparazzi, bahkan Envy Adams vs Wallace Wells.
Seluruh kombatnya disajikan dengan gaya berbeda, dalam latar yang beragam, dengan referensi heboh dari samurai hingga film Amerika dekade 1950-an, seluruhnya dalam jenis kekonyolan berbeda. Tentu jangan lupakan pula pertempuran finale antara Scott melawan dirinya sendiri versi jauh lebih tua yang ditampilkan dengan layak berkat animasi gemilang, berujung dengan happy ending untuk seluruh karakternya.
Hadirnya Scott versi lebih tua sendiri sudah merupakan pendekatan dan ujung berbeda dari seluruh versi Scott Pilgrim dalam medium lainnya berkat kehadiran time travel. Sebagaimana banyak aspek lainnya yang tak begitu mengindahkan soal teknis (ingat subspace?–semesta tak terjelaskan itu juga masih ada di sini), kita tentu tak mesti memikirkan paradoks apa pun yang bisa tercipta dengan perjalanan waktu yang dilakukan Scott. Dan kegilaan tentu tak berhenti sampai di sana.
Ada film dalam serial ini. Film itu soal Scott Pilgrim sendiri. Naskahnya ditulis oleh Ramona dari masa depan. Seakan tak cukup jadi 'meta' dengannya, disertakan pula dokumenter soal film tersebut di sini, yang digunakan untuk menyampaikan backstory antara Ramona dan keseluruh mantannya. Yang menarik, penyampaiannya tak pernah benar-benar membingungkan untuk plot yang sedemikian membelit dan sibuk sendiri.
Envy Adams jadi Ramona. Ramona sendiri jadi stunt double untuk Ramona-nya Envy Adams. Mengapa bisa demikian? Karena begitulah adanya. Oh, ada pula Scott Pilgrim versi musikal di dalamnya. Robot Vegan. Force field yang menghalangi Scott dan Ramona berciuman. Cameo Edgar Wright sebagai Edgar Wrong, tapi tak diperankan sendiri oleh sang filmmaker.
Untuk aspek-aspek demikian, Scott Pilgrim Takes Off pun bisa dikatakan sukses untuk satu hal: mengembangkan sesuatu yang memang sudah soal ketidakterbatasan.
Selalu 'Sudah dari Sananya'
Menyebut film animasi ini 'berantakan' tak sepenuhnya keliru, begitupun mencapnya 'unhinged'–sepenuhnya juga terbantukan edannya kinerja animasi dari para storyboard artist maupun sutradara/animator seperti Tomohisa Shimoyama dan Abel Góngora. Namun yang lebih tepat barangkali menyebutnya 'bertebaran', selalu menyoal ketidakterbatasan karena Scott Pilgrim selalu seperti itu, berkat kekayaan karakter yang menyebar, yang saling terkait satu sama lain dan menyembulkan ragam belokan tak terduga pada alurnya.
Kebebasan diterjemahkan jadi keliaran, barang tentu absurd, yang bahkan untuk seorang pembaca komik sekaligus penonton filmnya dulu tetap bikin saya rada sulit mencerna pada awal serial. Setidaknya sampai saya ingat bahwa ini memang kisah yang kerap disambung sekenanya, seringkali ditutup selubung tipis penyepelean 'sudah seperti itu' atau sudah-dari-sananya.
Naratifnya secara keseluruhan memang bukan elemen terkuat, hanyalah satu kepingan dari entitas yang membentuk Scott Pilgrim. Kita bisa dengan mudah mengabaikan bahwa pro skater andal seperti Lucas Lee mendorong skateboard-nya dengan mongo (mendorong dengan kaki depan), tapi seringkali ada problem yang lebih krusial untuk keberlanjutan kisah.
Semisal episode pembukanya yang diisi adegan upacara pemakaman Scott tanpa mayat Scott dalam peti mati (karena ia memang tidak mati). Kadang tentu terasa jadi 'lubang', karena Ramona tak langsung memburu Todd Ingram meskipun dia tahu sang mantan mampu teleport dengan menciptakan portal–malahan memburu mantan-mantan lainnya dulu hanya demi urutan penomoran para mantan dalam naratif. Belum lagi alasan perpisahan Ramona dan Scott di masa depan yang, sejauh saya ingat, tak pernah benar-benar dipaparkan–yang kita tahu hanya penyelesaian yang simplistis: asalkan keduanya berintensi rujuk, masalah pun usai.
Lantas untuk apa pula Ramona harus bertarung dengan Roxie Richter? Ya, karena sudah seperti itu, sebagaimana penceritaan Scott Pilgrim dalam medium-medium sebelumnya.
Dalam komiknya, bahkan tanpa penjelasan sama sekali, kita tahu Scott Pilgrim adalah petarung terbaik seprovinsi. Bagaimanapun, ini kisah yang sama di mana deus ex machina bisa dipanggil seenaknya ke dalam cerita. Terima saja.
Membandingkan serial ini dengan seri komiknya bisa jadi satu artikel tersendiri. Satu yang paling kentara: baik film dan serial ini berdenyut dan melaju lebih cepat dengan langsung merangkai poin-poin plot yang substansial. Kau tetap bisa merasakan pengalaman berbeda dalam komiknya, berkat Ramona yang lebih ekspresif maupun kehadiran Lisa Miller. Lebih banyak lagi 'filler' berkat relasi antarpersonal karakter yang bejibun, semakin kompleks juga mendalam lagi menyoal depresi akibat hubungan yang tak berjalan lancar pula menyakitkan untuk semua pihak.
Di antara banyaknya pengubahan dan pemotongan, toh ia tetap menjelma Scott Pilgrim yang kental akan humor. Entah lelucon penuh kecanggungan, animasi konyol saat adegan french kiss, atau adegan supernorak lainnya. Masih mengolok-olok vegan, hanya saja kali ini lebih singkat dan jitu (lebih ke soal vegan yang selalu memproklamirkan diri sebagai seorang vegan). Jelas masih 'meta' dan menggunakan breaking the 4th wall apalagi saat menyindir diri sendiri. Ambil contoh saat Wallace Wells, karakter gay itu protes karena dirinya diperankan seorang aktor heteroseksual, yang jadi berlapis lucunya lantaran Kieran Culkin sendiri (pemeran Wallace sejak 2010 lalu) juga seorang laki-laki heteroseksual.
Tentu terdapat beberapa lelucon yang lebih mengena dalam medium-medium lainnya. Selebihnya, mendarat atau tidaknya lelucon di sini, setidaknya masih datang dari domain yang sama–meskipun tak ada yang sekonyol dalam filmnya, saat Scott melompat dari jendela apartemennya. Tetap dengan dialog-dialog jenaka, yang kadang nggak nyambung, terputus begitu saja demi plot maupun, lagi-lagi, karena sifat penulisan yang 'sudah seperti itu'.
Pendewasaan selagi Tetap Remaja
Kecenderungan O'Malley untuk memberikan banyak panggung untuk karakter sampingan pada akhirnya tetap bekerja dengan cukup baik. Seluruh karakter mendapatkan porsi terbilang seimbang, dengan arc yang terselesaikan. Knives Chau, sejatinya satu-satunya karakter yang cocok mengemban tema coming-of-age, pun pada akhirnya tetap jadi yang mengalami paling banyak perkembangan, di samping Scott dan Ramona.
Kehadiran time travel juga pada akhirnya bukan sekadar alasan menggila, tapi difungsikan menyoroti kesalahan, penyesalan, dan penerimaan manusia pada usia berapa pun. Kita dikabarkan bahwa Scott bakal tumbuh dewasa dan sama saja ngawurnya dengan usia 20-an. Satu-satunya hal terbaik yang bisa dan mesti ia lakukan adalah belajar. Lagi-lagi tepat guna lantaran Scott Pilgrim bukanlah karakter terbaik sepanjang masa untuk dijadikan role model, untuk urusan apa pun.
Bertahannya kisah dalam lingkup pertemanan Scott yang sarat akan karakter bercela, yang luka dan melukai, bahkan menyeleweng satu sama lain, kini pun terasa disertai lebih banyak pesan. Masih tetap soal pencarian diri yang sebetulnya sebuah proses, alih-alih gol. Tetap menyoal untuk jadi lebih baik dari kemarin, lebih baik untuk satu sama lain. Terkini, ia pun juga bisa jadi perkara untuk tak menjadi tua dengan getir. Ada baiknya memperjuangkan apa yang ada ketimbang menangisi yang sudah lewat–bagian yang jelas lebih beresonansi lagi hari-hari ini untuk para audiens lamanya yang kini telah menua belasan tahun.
Itu semua pun sebetulnya hanya sebagian dari pesan-pesan moral dalam naratifnya, yang memang seringkali tak disampaikan dengan preachy berkat penempatannya di belakang gemerlapnya animasi dan hebohnya pertempuran, dalam kekonyolan suasana dan gaya leburan barat dan timur (tampak juga ada referensi Super Saiyan atau kacamata bersinar laiknya karakter anime di sana, bahkan satu episodenya dibuka dengan anime-dalam-anime)
Satu aspek yang kurang ditonjolkan ialah bebunyian semacam erangan, lenguhan atau gumaman yang jadi wajib pada karakter anime–satu faktor sepele yang bikin banyak voice acting dalam anime terasa anime.
Kieran Culkin jadi salah satu penyuara terbaik. Demikian juga Satya Bhabha (pemeran Matthew Patel), Ellen Wong (Knives Chau), dan Mae Whitman (Roxie Richter), sebagai karakter-karakter yang sangat ekspresif maupun Aubrey Plaza (Julie Powers) dan Alison Pill (Kim Pine) yang segera hadir secara alami sebagai karakter-karakter yang jutek.
Yang justru terasa tak mendarat dengan sempurna justru Jason Schwartzman yang terasa sulit terasa sebagai Gordon Goose, kendati sang aktor bukannya baru kali ini menjajal voice acting. Yang sayangnya, terasa pula pada dua karakter utama, Scott dan Ramona sendiri yang diperankan Michael Cera dan Mary Elizabeth Winstead. Keduanya terasa hit and miss, kadang bahkan tak sesuai ekspresi karakternya, sebelum mulai membaik (atau saya mulai terbiasa saja) jelang episode-episode akhir. Barangkali karena terbiasa melihat keduanya tampil dalam satu paket, fisik dan gestur sebagai aktor, terlebih yang satu sebagai stereotip cowok culun dan yang terakhir selaku wajah untuk prototipe cewek keren pada dekade 2000-an.
Membicarakan Scott Pilgrim di layar kaca juga pastinya soal bebunyiannya. Sound design kembali berhasil jadi highlight, entah sekadar berpindah sesuai sumber suara (bunyi bercumbunya Todd dan Envy itu lucu sekali), maupun naik-turun bergantian sesuai momentum. Lebih-lebih soal musik, ia jelas spesial. Pop, chiptune, apa pun itu dari Anamanaguchi dan komposer Joseph Trapanese berkerlip di banyak waktu, diikuti tembang-tembang singkat dan intensnya Sex Bob-Omb, dengan alokasi screentime yang cukup banyak untuk band-band-an. Secara umum masih mempertahankan semangat remaja pemberontak, kalau bukan punk. Favorit pribadi tak lain “United States of Whatever” oleh Liam Lynch, sebuah 'lagu tema' yang konyol untuk Lucas Lee (menariknya, dibuntuti “Police Truck”-nya Dead Kennedys, yang juga muncul dalam gim Tony Hawk Pro Skater). Masih sama isengnya, meski kelak mungkin tak jadi seikonik musik-musik garapan Beck dalam filmnya.
Scott Pilgrim Takes Off akhirnya menjelaskan bahwa judul ini selalu sigap untuk setiap dekade, untuk terus jadi relevan. Masih dengan identitas serupa yang mungkin juga bisa dinikmati generasi baru--sekalipun ia jelas ditujukan untuk kita semua yang pernah muda dan mengalami kisah ini belasan tahun silam.
Untungnya pula, dengan kerumitan dan keliarannya, ia mengesankan bakal cukup 'mudah' dan layak ditonton ulang untuk melihat detail-detail yang terlewat, sekadar kembali merasakan dunia yang, kendati seringnya menyepelekan banyak aspek, tapi tak pernah jadi benar-benar banal. Jelas tetap Scott Pilgrim yang merupakan amalgamasi banyak referensi, yang sukses mempertahankan spirit keremajaan yang liar kendati sebagian besar karakternya sudah tergolong dewasa muda (secara usia). Bukan penulisan terbaik, tapi tetap jadi kisah baru yang cukup segar, berani bereksplorasi alih-alih hanya mereplikasi keberhasilan Scott Pilgrim yang sudah-sudah atau sekadar merogoh ceruk profit dari judul beken.