Rokok Elektrik: Cuan Besar, Penanganan Limbah Nol

Rokok Elektrik: Cuan Besar, Penanganan Limbah Nol

 

Gisela Swaragita

 

Seminggu lalu saya mulai beralih ke rokok elektrik jenis pod setelah melihat beberapa teman terlihat seenaknya klempas-klempus di ruangan tertutup tanpa mengotori udara dengan bau asap tembakau yang menyesakkan.

 

Walau perokok, saya tidak suka bau asap rokok. Apalagi rokok bikin rambut, baju, dan jemari saya bau abang-abang.

 

Saya mulai merokok di usia 24 tahun, kurang dari 10 tahun yang lalu. Selama itu, saya hanyalah seorang social smoker alias kencang merokok hanya ketika sedang nongkrong bersama teman-teman. Jika sedang sendirian, saya hanya merokok satu dua batang per hari, sehingga sebungkus rokok bisa diisap dalam seminggu. Cukup hemat dibandingkan teman-teman saya yang merokok tak putus-putus seperti sepur. 

 

Nah, saya berharap beralih ke rokok elektrik bisa bikin saya lebih hemat lagi.

 

Setelah sedikit riset tentang berbagai produk pod yang tersedia, saya memutuskan untuk membeli “paket siap ngebul” dari MOVI, sebuah produsen rokok elektrik yang cukup populer. Hari itu saya mendapat harga promosi dan mengeluarkan Rp120.000 untuk sebuah device bermerk Aflo, satu cartridge, dan sebotol liquid jenis freebase rasa “kretek ice”. Untuk mendukung pemakaian, saya mengeluarkan Rp60.000 lagi untuk satu pak cartridge yang berisi dua unit dan Rp45.000 untuk seuntai pod lanyard gemes dari pengrajin macrame di Instagram yang saya sukai. Dengan pengeluaran itu, diperkirakan saya tidak akan keluar duit buat asupan nikotin lagi sampai sebulan ke depan. 

 

Sesampainya di kos, saya menikmati klempas-klempus mengisap pod sambil santai di meja kerja, sesuatu yang hampir tidak pernah saya lakukan sebelumnya saking bencinya saya melihat abu rokok masuk ke sela-sela keyboard laptop. Memang, tidak ada abu bertebaran dan puntung rokok tidak memenuhi asbak. Tapi, apakah rokok elektrik membuat saya jadi lebih “bersih”? 

 

Limbah Rokok Elektrik

 

Sebuah pod seperti yang sedang saya isap saat mengetik artikel ini terdiri dari beberapa bagian yang umur pemakaiannya beragam. 

 

Yang disebut device adalah badan utama rokok elektrik yang terdiri dari baterai dan pemanas. Laman penjelasan Aflo di Website resmi MOVI tidak menyebutkan berapa lama masa pakai sebuah device. Namun, berbagai review menjelaskan device semacam ini bisa berumur kurang lebih setahun jika tidak digunakan terus-terusan untuk chainsmoking. 

 

Cartridge adalah bagian kepala pod. Bagian ini terdiri dari tangki wadah liquid, cerobong mouthpiece tempat kita mengisap uap, kapas filter, serta pemanas yang terhubung dengan device oleh sistem magnet. Ketika kita mengisap cerobong cartridge, pod akan menyala dan memanaskan liquid yang ada di dalam wadah. Uap akan naik ke cerobong dan bisa kita isap dan hembuskan seperti merokok sigaret. Petugas penjualan di gerai MOVI mengatakan bahwa umur cartridge 7-14 hari, setelah itu harus saya ganti dengan yang baru. 

 

Liquid seperti yang saya gunakan terbuat dari propylene glycol, glycerine, perasa, dan nikotin cair. Laman Aflo di MOVI menyebutkan rata-rata pengguna menghabiskan dua botol liquid 30 ml dalam sebulan.

 

Maka, dalam setahun saya paling tidak akan menghasilkan 1 sampah device, 24 sampah cartridge, dan 24 sampah botol liquid. Terdengar sedikit? Itu baru saya saja. 

 

Berbagai penelitian mencatat jumlah pengguna rokok elektrik mengalami peningkatan tajam dan mencakup berbagai kalangan—alias bukan hanya abang-abang penggemar Deddy Corbuzier.

 

Pada 2020 ada 2,2 juta orang beralih menjadi perokok elektrik di Indonesia. The Global State of Tobacco Harm Reduction (GSTHR) memperkirakan ada 82 juta orang menikmati berbagai jenis rokok elektrik di seluruh dunia pada 2021. Kedua data tersebut belum menghitung saya dan banyak teman-teman di sekitar saya yang baru membeli device pertamanya di paruh pertama 2022. Kami semua dengan signifikan menyumbang sampah piranti rokok elektrik yang terbuat dari bahan plastik keras dan logam yang tidak akan bisa dicerna alam secara natural. 

 

Jika tidak diolah dengan baik, bahan-bahan logam dalam rokok elektrik, termasuk logam berat merkuri dan timbal di sirkuit pemanas serta asam baterai bisa hanyut ke saluran air dan mencemari tanah sehingga membahayakan manusia. Bagian-bagian rokok elektrik yang dibuang sembarangan dan sampai ke laut juga bisa menimbulkan bahaya tersedak pada hewan-hewan laut seperti ikan besar, mamalia, reptil, dan burung laut.

 

Riset berskala global dari Truth Initiative menyebutkan bahwa 51% pengguna akan membuang sampah rokok elektrik mereka ke tempat sampah, 17% ke tempat sampah daur ulang (yang tidak dirancang untuk mendaur ulang sampah nikotin), dan 10% membuangnya sembarangan.

 

Indonesia sendiri masih ketinggalan jauh dalam hal pengolahan sampah. Daur ulang skala rumah tangga masih menjadi minoritas, dan pengolahan sampah rokok elektrik masih asing buat kita. Kita juga masih bergantung pada pemulung untuk memilah sampah secara umum dan TPA Bantar Gebang bisa jadi kjokkenmoddinger yang sangat kaya buat alien yang datang untuk meneliti bumi jutaan tahun lagi. 

 

Dosen Teknik Industri Universitas Pancasila, Dino Rimantho, kepada IDN Times mengatakan bahwa di Asia satu orang bisa menyumbang 4,2 kg limbah elektronik setiap tahunnya—dan penggunaan rokok elektrik adalah bagian besar dari limbah tersebut. 

 

Pemerintah sudah menuangkan pengelolaan limbah spesifik termasuk limbah barang elektronik di PP No. 27 tahun 2020. Namun, peraturan itu tidak memuat klausa yang secara khusus menaungi pengelolaan sampah rokok elektrik.

 

Bicara limbah elektronik, orang-orang akan teringat HP Nokia jadul atau mp3 player 128 MB yang mungkin Anda pakai untuk mendengarkan mp3 album Bon Iver For Emma, Forever Ago—sambil bercucuran air mata di atas motor sepanjang Ring Road tahun 2007—alih-alih pod yang sedang saya hisap saat ini.

 

Keringkihan Terencana

 

Dunia modern terbebani gunungan sampah elektronik karena peranti elektronik dibuat dengan logam dan plastik yang tidak bisa dicerna alam dalam ratusan tahun, tapi masa pakainya hanya bertahan beberapa tahun. Coba hitung, dalam rentang 10 tahun terakhir, sudah berapa kali kita ganti handphone karena lemot, tidak bisa di-upgrade, atau kameranya sudah tidak bisa memenuhi tuntutan estetika kontemporer?

 

Barang-barang ini diproduksi dengan skema planned obsolence: produk sengaja dibuat ringkih dan dirancang supaya tidak bisa dipakai lagi setelah durasi yang ditentukan. Hal ini dilanggengkan untuk mendongkrak penjualan dan membuat kita membeli barang dengan fungsi yang sama lagi dan lagi. 

 

Tidak bisa dibuktikan apakah pod dan rokok elektrik lainnya dirancang dengan skema ini. Mungkin juga, teknologi belum cukup mumpuni untuk menghasilkan produk yang durabilitasnya lama.

 

Namun yang jelas tahun depan ketika device saya sudah ngadat saya akan beli baru dan membuang yang lama, atau menyimpannya di laci bersama handphone Nokia 3700 saya yang sudah mati 10 tahun lalu tapi tetap saya simpan karena sentimental values.  

 

Sejauh ini, belum ada langkah nyata dari produsen dan distributor rokok elektrik dalam mengatasi limbah produknya, dan tidak ada edukasi ke pengguna baru tentang bagaimana cara membuah sampah vape ketika terjadi transaksi.

 

Sekretaris Jenderal Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Garindra Kartasasmita dalam webinar tentang potensi limbah rokok elektrik, mengatakan bahwa pihaknya “...berkomitmen kuat untuk mengatasi limbah-limbah yang berhubungan dengan rokok elektrik dan kami masih membutuhkan regulasi yang komprehensif untuk hal tersebut.” Namun, produsen dan distributor nggak boleh dong cuma bersandar pada regulasi yang belum ada ketika mereka sudah meraup untung besar dari jualan rokok elektrik. 

 

Cuan yang diraup oleh ekosistem ekonomi rokok elektrik dilaporkan terus meroket. Bisnis rokok elektrik di Amerika Serikat, pasar terbesar rokok elektrik, mencapai nilai US$ 15,05 milyar di tahun 2020 dan diperkirakan akan terus melonjak pada 2021 dan 2028. Menurut laporan Liputan 6, pasar rokok elektrik di Indonesia mencapai US$ 410,6 juta pada 2018. 

 

Pada saat bersamaan, negara meraup cukai Hasil Tembakau Lainnya (HPTL), jenis cukai yang dikenakan pada liquid rokok elektrik, yakni sebesar Rp421,7 miliar pada 2019. Nah, jika cuannya sebesar itu, apa tidak bisa bikin produk yang tahan lama supaya tidak terlalu banyak sampah sembari ikut merancang sistem pengolahan limbah rokok elektrik yang benar?