Subtitel: Kenyataannya laki-laki Korsel banyak yang anti-perempuan!
Zaman sekarang siapa sih yang tak pernah mendengar lagu Kpop? Nonton drama atau film Korea di waktu senggang? Belanja produk skincare dan makeup Korea? Makan-makanan Korea? Menggunakan gawai seperti Samsung, Hyundai, LG, dan KIA? Sepertinya sudah jarang banget ya karena produknya banyak sekali dan begitu digandrungi di Indonesia. Saking ada dimana-mananya, kemungkinan besar produk-produk Korsel bakal menggerus produk dari negara-negara Barat.
Kesuksesan Korsel dalam bidang soft power memang tidak bisa dilepaskan dari produk pop mereka. Tentu pengaruh ini tidak bisa dilepaskan dari drama "What Is Love?" yang ditayangkan di saluran CCTV pada tahun 1997 dan drama “Winter Sonata” di tahun 2003 yang merintis kepopuleran drama Korsel. Virus hallyu wave kemudian semakin menyebar ke bagian Asia lain; pertama dengan k-drama, lalu diikuti dengan hits k-pop dan k-food.
Salah satu k-drama yang sukses di Indonesia adalah Business Proposal, drama komedi-romantis yang diangkat dari webtoon dengan judul yang sama. Drama yang dibintangi oleh Kim Se-jeong dan Ahn Hyo-seop menjadi salah satu k-drama tersukses tahun 2022. Sebetulnya drama ini bisa sukses karena menggunakan formula kisah cinta klise yang melibatkan CEO muda Kang Tae-moo yang tampan, kaya-raya, dan pintar. Tapi ia jatuh cinta pada bawahannya, Shin Ha-ri, yang digambarkan sebagai pekerja keras, sederhana, pantang menyerah, dan sportif. Walau klise, “dosa” ini bisa terampuni karena menghadirkan adegan romantis yang bisa membuat penonton tersipu.
Formula sosok pria yang memiliki sikap yang meluluhkan hati lewat perlakuan mereka terhadap wanita yang manis dan romantis. Mereka bersikap ramah, penyabar, setia, dan rela berkorban demi kekasihnya. Kesempurnaan karakter laki-laki dalam drama Korsel mungkin pernah membuat penonton bertanya-tanya jika karakter semacam itu apakah benar-benar ada dikehidupan nyata? Atau mungkin berpikir ingin memiliki pasangan pria Korsel?
Sayang, laki-laki Korsel di dunia nyata tidak semanis laki-laki di dramanya. Negara itu masih sangat kental dengan budaya patriarki dan semangat anti feminisme yang kuat. Pria muda Korsel Selatan mengidentifikasi diri mereka sebagai ‘korban’ kekuatan wanita atau minoritas sosial. Sentimen ini terutama paling terlihat di laki-laki muda usia 20-30 tahun. Mereka berpendapat bahwa laki-laki telah didiskriminasi dan diperlakukan dengan buruk oleh anggota gerakan feminis. Ini diperburuk dengan posisi Presiden Yoon Suk-yeol yang ingin membubarkan Kementerian Kesetaraan Gender.
Posisi Presiden Yoon semakin memberikan angin ke bara api sentimen anti-feminisme dan perempuan laki-laki muda. Mereka semakin agresif ke sikap, pernyataan, bahkan simbolisme yang dianggap feminis. Mereka merasa mereka adalah korban kekerasan dari feminis. Contohnya, seorang laki-laki menyerang kasir minimarket karena ia mengira kasir tersebut adalah seorang feminis. Tuduhan feminis ini datang karena sang kasir memiliki rambut pendek. Ancaman kekerasan ini membuat banyak feminis harus bergerilya dan menutup rapat identitas mereka di publik maupun di internet.
Survei yang dilakukan outlet berita lokal menunjukan pria berusia dua puluh tahun memiliki peringkat persetujuan yang sangat rendah untuk pemerintah liberal. Studi menunjukkan bahwa hampir 60% pria Korsel berusia 20 tahun setuju bahwa feminisme adalah supremasi wanita. Banyak pria muda berpendapat bahwa masyarakat modern tidak menguntungkan pria dalam banyak hal, seperti kencan dan pernikahan, pekerjaan dan promosi, dan penegakan hukum, terutama yang berkaitan dengan pelanggaran seksual.
Didasarkan pada temuan ini, mereka berpendapat bahwa sekitar seperempat pria berusia 20 tahun adalah "pejuang anti-feminisme”. Mereka mengatakan bahwa laki-laki muda Korsel dimotivasi untuk berpikir dan bertindak karena mereka merasa dianiaya oleh masyarakat yang tidak menguntungkan laki-laki. Akibatnya, mereka telah mendefinisikan fenomena ini sebagai munculnya identitas laki-laki minoritas. Sebagai korban yang tidak bersalah yang dikambing hitamkan oleh kekuatan feminis, para pemuda ini sangat percaya bahwa masyarakat Korsel saat ini mendiskriminasi laki-laki, jauh dari apa yang disebut sebagai ‘hak istimewa laki-laki’, mengingat identitas utama mereka adalah korban dan ideologi anti feminisme.
Menjadi sebuah ironi bahwa sosok laki-laki yang ada di k-drama justru 180 derajat berbeda dari laki-laki di dunia nyata. Kalau laki-laki di k-drama adalah “cowo green flag”, laki-laki dunia nyata justru red flag. Boro-boro diperlakukan seperti putri, perempuan di usia tertentu dianggap “kadaluarsa”. Belum lagi membicarakan kesenjangan pendapatan antara laki-laki dan perempuan sebesar 31,3%.
Seolah kurang berat, perempuan setelah menikah sering kali dibebankan banyak tugas—mulai dari hamil, melakukan pekerjaan rumah tangga, serta mengurus suami, anak, sampai mertua. Selain itu, tingkat kekerasan dalam sebuah hubungan sebesar 41,5%, jauh lebih besar dari rata-rata global sebesar 30%. Besarnya beban ini yang membuat perempuan-perempuan Korsel ogah menikah dan lebih memilih melajang.
Hal tersebut berdampak pada penurunan angka kelahiran. Berdasarkan data yang dirilis statistik tahun 2022, angka kelahiran mengalami penurunan sebanyak 4,4% dari tahun sebelumnya. Rendahnya angka kelahiran ini menempatkan Korsel di negara dengan angka kelahiran terendah di dunia. Namun, lagi-lagi perempuan yang disalahkan padahal penyebabnya bukan hanya pada perempuan
Akibat sulitnya feminisme di Korsel Selatan lahir gerakan feminisme radikal 4B, dimana perempuan tidak mau mengasosiasikan diri dengan laki-laki sedikit pun, yakni tidak kencan, tidak berhubungan seks, tidak menikah, dan menolak merawat anak. Dengan presiden yang anti feminisme dan kebijakannya akan membuat hak-hak perempuan di negara itu terampas. Padahal perempuan dengan gerakan feminisme hanya bentuk mereka mempertahan diri dalam masyarakat karena perempuan masih didiskriminasi, dituntut banyak hal, adanya ancaman kekerasan, dan dianggap warga kelas dua.
Gimana, kamu masih tertarik memiliki pasangan oppa-oppa korea?