Ruang Digital

Ruang Digital Seharusnya Jadi Tempat Aman

Tulisan ini tercipta ketika derasnya perbincangan di timeline media sosial X mengenai doxing, menyusul kesalahan transfer uang oleh sebuah akun anonim yang malah menggandeng avatar orang lain. Sebenarnya, gelombang kekerasan daring ini tak hanya sebatas kasus transfer keliru. Anda dapat menemukan berbagai bentuk kekerasan digital yang umumnya melibatkan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan, mulai dari pelecehan seksual, penyalahgunaan wewenang, hingga isu Hak Asasi Manusia. Atau, dalam kasus yang lebih melibatkan sejarah, korban-korban yang dirugikan oleh tindakan masa lalu.

Kenyataan ini membuat saya berpikir bahwa internet selain kehadirannya sebagai niscaya dan membawa hal-hal baik seperti dapat mengakses bacaan yang beragam, mendapat barang yang kita inginkan dan berkenalan dengan teman baru, sekaligus jadi tempat yang begitu mengerikan dan pada titik tertentu bisa 'saling tikam dan mengancam, serta memungkinkan tipu-tipu dan pemerasan'.

Tak jarang, akun media sosial seseorang seolah-olah menguap dengan cepat—di dunia nyata, mungkin mereka terancam—ketika mereka mengungkapkan 'kebenaran' mereka atau, dalam istilah zaman ini, dengan 'spill the tea' untuk menginformasikan orang-orang mengenai hal yang ingin disebarluaskan.

Sementara studi dari Pew Research Center memperlihatkan bahwa sosial media tempat bersarangnya laku kekerasan online. Lebih parahnya lagi, seringkali perempuan menjadi target dari pelecehan online dan yang paling menjengkelkan dari alasan ini terjadi bukan karena alasan logis, melainkan hanya karena mereka perempuan. 

Hal ini menegaskan bahwa kehadiran perempuan secara khusus di ruang digital ini tak semata-mata lebih palsu atau jangan terlalu dianggap serius dari kenyataan. Karena ruang digital adalah sebagaimana gambaran dari keseharian di dunia offline–dimana subjek perempuan sering dirugikan dengan 'tatapan, tindakan, dan suara' dari masyarakat yang menuntut dan harus sesuai dengan isi kepalanya. Sebab di ruang digital, perempuan terpaksa mengemban beban berlipat ganda dengan tambahan menjangkau audiens lebih luas dan dapat dilihat oleh lebih banyak pengguna sosial media. 

Mungkinkah Ada Keamanan untuk Perempuan?

Emily Chang, seorang jurnalis teknologi, dalam artikel “What Women Know About the Internet” menceritakan pengalaman yang tak mengenakkan, yakni ketika ia mendapatkan kekerasan online dan dari sini lebih mirisnya lagi adalah tak tanggung-tanggung nyawanya juga terancam. 

Mungkin kita akan dengan mudahnya bilang, “yaudah langsung aja block dan report”. Tapi, tentu saja pikiran seperti itu adalah cupet dan tak menyelesaikan persoalan. Di sini Emily melakukan jalannya sendiri dengan memperkuat pengaturan keamanan X, Facebook dan Instagram.

Kejadian yang dialami oleh Emily ini adalah salah satu bentuk ancaman yang sering dialami oleh perempuan-perempuan lain dan mengindikasikan bahwa perempuan lebih peduli. Hal ini diperkuat oleh beberapa studi bahwa perempuan lebih melek terkait keamanan digital, menyembunyikan profilnya dan menghapus kontak yang tak dikenal jika dibandingkan dengan laki-laki.

Emily melanjutkan bahwa kenyataan di internet ini yang dialami oleh perempuan berbeda dibandingkan yang dialami oleh laki-laki. Misalnya perempuan seringkali mengalami kekerasan seksual online dan ini diperkuat oleh temuan dari studi Pew Research Center yang menyatakan bahwa perempuan cenderung mengalami kekerasan seksual online. Sementara laporan dari Department of Justice memperkirakan sekitar 75% korban stalking dan cyberstalking merupakan perempuan.

Dengan kata lain, baik itu disadari atau tidak, internet tidak pernah diperuntukkan untuk menjadi tempat yang aman bagi perempuan, meski menurut Emily pengguna dari aplikasi sosial media dan platform yang terkenal mayoritas perempuan.

Ruang Digital Sebagai Perpanjangan Pelecehan 

Dalam sejarah kemunculan teknologi, eksistensi perempuan selalu terpinggirkan oleh laki-laki. Di samping itu, ada gap yang lebar ketika kita berbicara penggunaan internet. Laporan dari Asian Development Bank menyatakan pada tahun 2020, hanya 1 dari 5 perempuan yang menggunakan internet di negara berkembang. 

Sementara di sektor pekerjaan, jumlah perempuan 1/3 dari 20 perusahaan teknologi di dunia dan hanya menempati satu dari empat posisi kepemimpinan yang dominan diisi oleh laki-laki. Kemudian terkait melek literasi-teknologi yang ada di bidang seperti science, technology, engineering, dan mathematics secara global hanya 15 persen dan ini artinya masih rendah. Dari data ini kita bisa sepakat bahwa sosiokultural dan nilai-nilai norma gender memperluas ketidaksetaraan di dunia digital.

Meski teknologi makin berkembang, laporan bahwa perempuan dan grup terpinggirkan merasa tidak aman meningkat seperti pelecehan seksual, sikap misoginis dan bentuk ucapan tak mengenakkan lainnya yang cenderung mengarah pada bentuk kekerasan seksual ini berdampak secara fisik dan emosional terhadap perempuan. Tak cukup sampai di sini, ketika perempuan mengalami kekerasan seperti di atas, mereka akan dipaksa untuk tak bersuara atau memilih tidak menghiraukan daripada posisi mereka terancam.

Selain itu, Pew Research Center menemukan, meski laporannya tentang warga Amerika yang telah menggunakan internet sejak satu dekade dengan jumlah yang sama dengan laki-laki sejak tahun 2000, tapi kita bisa menemukan satu kesamaan bahwa begitu sedikit ruang aman bagi perempuan di manapun mereka berada. Kemudian sejak tahun 2000 - 2012, berdasarkan laporan organisasi Working to Halt Online Abuse, sekitar 3,787 orang yang melaporkan mengalami pelecehan dan 72.5 persen merupakan perempuan.

Gender memainkan peranan penting dan nilai-nilai normal sosial mengonstruksi apa yang seharusnya sesuai dengan isi kepala beserta ekspektasinya atas peranan perempuan dengan atribut yang dilekatkan padanya. Tak jarang juga melalui konstruksi peranan gender dalam berinteraksi satu sama lain, seringkali berguna untuk menunjukkan kuasa laki-laki lebih dominan dari perempuan. 

Sebut misalnya ketika seorang perempuan ingin menjadi konten kreator dengan mengekspresikan dirinya, atau apapun di sosial media, pelecehan seksual dan bullying online selalu menyelinap di antara followers atau mereka yang tak sengaja melihat kontennya. Kenyataan ini hampir sama dengan apa yang dialami perempuan ketika mereka berjalan, olahraga, pergi makan sendirian maupun ketika jam-jam sibuk, selalu ada kemungkinan menjadi korban tatapan, sapaan hingga tindakan nekat lainnya yang seharusnya tak mereka alami. 

Dalam laporan Pew Research Center, banyak pelecehan online dimulai dan diakhiri dengan sebutan-kasar atau usaha untuk mempermalukan. Hal ini sering terjadi karena kaitannya dengan karakteristik personal seperti gender, ras/etnis, pandangan politik, tampilan fisik yang menjadi sasaran empuk untuk melakukan tindakan pelecehan atau kekerasan online. Tak jarang ketika merespon kejadian ini, korban akan menghapus foto profil, mengganti username, hapus akun dan paling jauh menghubungi bantuan hukum.

Selain itu, temuan lainnya dari pengguna internet adalah memungkinkan untuk memilih sebagai anonim atau identitasnya tak diketahui. Ada sekitar 85 persen orang percaya bahwa internet memfasilitasi orang-orang untuk anonim. Hal ini juga meningkat 62 persen dari survey yang Pew Research Center lakukan. Implikasi dari orang-orang memilih anonim adalah erat kaitannya dengan tindakan pelecehan atau kekerasan online dan mereka seolah bebas untuk mengutuk, melecehkan atau merendahkan orang lain, karena anonim tidak menggunakan identitas asli dan tak dikenali.