Rumitnya Untuk Bebas Dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Subjudul: Minimnya otonomi diri hingga ancaman kekerasan

Trigger warning: Cerita ini mengandung berbagai depiksi kekerasan rumah tangga.

Baru-baru ini netizen Indonesia dikejutkan oleh berita tentang Lesty Kejora yang mengadukan suaminya Rizky Billar atas tuduhan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Banyak yang mendukung Lesly, tapi banyak pula yang melemparkan komentar yang menyalahkan dan menyudutkannya. 

Namun hal ini tak mengagetkan, mengingat kasus KDRT kerap kali menjadi topik panas negeri ini. Menurut Catatan Akhir Tahun (CATAHU) Komnas Perempuan, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 80 persen pada tahun 2021. Artinya, ada 6.480 kasus KDRT dan kekerasan terhadap istri (KTI). 

Bagi korban KDRT, membuat keputusan untuk meninggalkan pasangan tidak semudah membalik telapak tangan. Khususnya bagi mereka yang tidak bekerja dan memiliki buah hati dari pernikahannya. Stigma negatif terhadap status janda juga membuat para perempuan enggan untuk meninggalkan hubungan abusifnya. Kendala-kendala seperti ini kerap saya temui ketika mendampingi korban-korban KDRT.

Hal ini diperburuk dengan rendahnya akses informasi bagi para korban KDRT. Apalagi tidak semua orang berani dan mampu menempuh jalur hukum karena takut dan tidak sanggup menghadapi proses hukum yang terkadang rumit.

Salah satu penyintas KDRT yang saya kenal, Karlina, seorang ibu rumah tangga dengan empat orang anak mengaku tidak memiliki banyak pilihan semenjak kecil. Ia menjadi korban pernikahan anak pada saat usianya baru menginjak 16 tahun.

Sebetulnya pada saat itu ia sudah memiliki seorang kekasih. Tapi ia terpaksa menerima pinangan orang lain yang sudah terlanjur melamarnya. Alasan lainnya adalah karena ia tak ingin mempermalukan keluarganya karena telah menolak lamaran tersebut. Lebih menyedihkannya lagi, pernikahan tersebut justru menjadi neraka yang menyekapnya selama 28 tahun.

Suami Karlina, Asep mulai berselingkuh ketika ia mengandung anak kedua. Saat itu Asep berdalih bahwa perselingkuhan tersebut bukan hubungan serius. Karlina pun mencoba memaafkan. Namun perlakuan Asep tidak berubah–ketika ia hamil anak keempat, Asep menikahi perempuan lain tanpa persetujuannya. Berbekal nekat, ia mendatangi istri kedua Asep. Naas, ia berujung dipukuli oleh Asep.

Siksaan Asep tak berhenti di situ. KDRT yang dialami Karlina terus meningkat menjadi KDRT non-verbal. Asep juga tidak memberi nafkah dengan layak. Karlina dilarang bekerja tapi tidak diberi uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Akibatnya, ia dan anaknya yang masih balita sering menahan rasa lapar.

Kemiskinan juga menjadi faktor mengapa Karlina berusaha menahan rasa sakit hatinya dan bertahan dalam rumah tangga yang tidak sehat. Selama pernikahannya, Asep tidak banyak terlibat dalam mengurus anak dan enggan berbagi pekerjaan rumah tangga. Karlina bahkan mengingat dengan detail bahwa selama membina rumah tangga hanya tiga kali Asep mau mengepel lantai rumah mereka. 

Mereka tinggal di rumah petak bersama satu orang cucu dan dua orang anaknya. Tak mengherankan, mengingat pekerjaan Asep adalah tukang nasi goreng keliling. Menurut penuturan Karlina, karena rumah yang sempit, anak-anak sering menyaksikan ayah mereka melakukan kekerasan, sampai-sampai anak bungsunya tidak ingin tinggal bersama ayahnya. 

Karlina berulang kali mencoba untuk pulang ke rumah ibunya, tapi selalu dilarang karena takut ia tak kembali ke rumah. Tidak mudah bagi Karlina untuk meminta cerai, karena ia tidak memiliki pekerjaan dan takut suaminya berbuat nekat. Selain itu, stigma janda menghantuinya. Ia juga tidak pernah mengetahui bahwa di luar sana terdapat rumah aman untuk perempuan korban kekerasan. Saat ini harapan satu-satunya bagi Karlina untuk terlepas dari jeratan kekerasan adalah dengan menjadi buruh migran.

Berbeda dengan Karlina yang bergantung secara ekonomi pada suaminya, Dewi, justru adalah perempuan yang mandiri secara ekonomi. Saat menikah dengan Heru, mantan suaminya, Heru hanya bekerja serabutan. Dewi mengalami kekerasan psikologis hingga kekerasan fisik yang cukup parah hingga membuatnya takut terbunuh di tangan suaminya sendiri. Menurut penuturan Dewi, kekerasan psikologis yang menimpanya menyebabkan ia merasa rendah diri dan tidak berharga sehingga tidak mampu mengambil keputusan.

Layaknya Asep, Heru juga enggan mengerjakan pekerjaan domestik. Mereka berdua beranggapan bahwa pekerjaan domestik adalah mutlak tanggung jawab sebagai istri. Heru juga tumbuh di lingkungan yang penuh kekerasan. Heru menyaksikan ayahnya melakukan kekerasan fisik terhadap ibunya sejak kecil. Entah karena kekerasan dalam rumah tangga sudah begitu ternormalisasi, keluarga Heru kerap kali membujuk Dewi untuk tidak bercerai atau tidak melapor ke pihak berwajib setelah Dewi mendapatkan kekerasan dari Heru. 

Pada akhirnya, Dewi berhasil kabur dari suaminya dengan pertimbangan yang cukup panjang. Ia kembali pulang ke kampung halaman. 

Baik Karlina atau Dewi sama-sama memiliki pilihan mereka masing-masing untuk melepaskan diri dari kekerasan menahun. Dua-duanya melalui pergumulan batin yang cukup panjang sehingga menumbuhkan resiliensi dalam diri untuk kembali melawan. Sayangnya, tidak semua korban kekerasan mampu seperti mereka. 

Naila Rizqi Zakiah, manajer advokasi Jakarta Feminist, menceritakan kisahnya mendampingi korban KDRT. Naila juga bercerita bahwa aparat penegak hukum seringkali bersikap tidak ramah terhadap korban. Kebanyakan korban terpaksa bertahan demi anak-anak mereka dan KDRT masih dianggap sebagai aib yang harus ditutup rapat. Jika anak-anak mendukung keputusan untuk melaporkan maka biasanya korban akan jauh lebih kuat dan berani melawan. 

Naila juga berpendapat bahwa akses ke layanan yang komprehensif, baik pelayanan psikologis, shelter, hingga mencakup bantuan ekonomi bagi para korban agar mereka dapat terfasilitasi dengan baik jika memutuskan untuk meninggalkan pelaku kekerasanmereka.

Menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga sungguh tidak mudah. Kita semua punya tugas agar kekerasan tidak dinormalisasi sedemikian rupa agar korban tidak malu meminta bantuan. Penting bagi kita untuk mencari solusi supaya korban tidak terus terjebak dalam kemelut kekerasan. Beberapa diantaranya mempromosikan kampanye anti KDRT, membuat hotline KDRT, serta membuat rumah aman bagi para korban.

Namun lebih dari itu, menjadi pendengar yang baik, tidak menilai korban dengan kacamata negatif, dan mendukung korban juga bisa menjadi langkah yang paling efektif untuk membantu korban.