Rumput Tetangga Lebih Hijau Karena Dicat

Baru-baru ini Wall Street Journal (WSJ) menerbitkan laporan yang membuat alis naik: orang-orang di Amerika Serikat (AS) sekarang mengecat rumput pekarangan mereka supaya terlihat hijau. Penyebabnya? Kekeringan yang telah melanda beberapa negara bagian AS selama 19 tahun terakhir semakin memburuk. Berhubung banyak warga yang tak mau melepaskan pekarangan hijau mereka, dipilihlah cat rumput sebagai alternatif terbaik.

Pencarian di Google menunjukkan fenomena ini sebetulnya sudah ada sejak 2012. Semua artikel dengan topik ini punya poin-poin yang sama. Dari bagaimana semakin banyak rumah dan usaha yang menggunakan layanan ini, faktor penyebabnya (kekeringan), sampai ke meyakinkan pembaca bahwa cat rumput ini aman bagi lingkungan dan hewan peliharaan. Dua artikel—The Atlantic di California dan WSJ di Arizona—menyinggung lebih dalam soal alasan orang melakukan ini: gengsi sekaligus gunjingan tajam tetangga.

Jujur, saya terkekeh saat membaca artikel-artikel itu. Obsesi dengan pekarangan dan gatal ingin merecoki tetangga, benar-benar Indonesia sekali. Namun kalau di Indonesia disebutnya sebagai ‘tetangga rese’, di AS justru mereka bagian dari NIMBY—Not In My Backyards.  

Jauh-jauh Dari Pekarangan Saya

Istilah ini mungkin terdengar asing bagi pembaca Indonesia, tapi sebetulnya ia sudah dipopulerkan sejak 1980an di Inggris dan AS. Filosofi gerakan ini simpel, mereka menolak segala jenis pembangunan di dekat perumahan mereka dan mendukung regulasi penggunaan tanah yang ketat. Mereka adalah tetangga-tetangga rumah yang paling depan menolak pembangunan kantor, restoran, panti asuhan, komplek rumah subsidi, halte, atau pembangkit listrik tenaga alternatif. 

Ucapan klasiknya: “Ya boleh membangun infrastruktur ini, ya benar infrastruktur ini nantinya akan menguntungkan banyak orang, tapi tolong, jangan di belakang rumah saya!” Alasan mereka tak jauh-jauh dari ketakutan soal kemungkinan macet, angka kejahatan meningkat, polusi suara dan lingkungan, atau takut harga propertinya akan menurun. 

Dalam konteks AS, keinginan untuk menjaga ‘kemurnian’ area tempat tinggal bukanlah hal yang mengagetkan. Politik segregasi yang kencang membuat pemukim kulit putih merasa lebih berhak atas tanah dan infrastruktur yang baik. Jawabannya? Dengan memaksa pekerja kulit hitam dan etnis minoritas bekerja, tapi setelahnya melarang mereka untuk menggunakan infrastruktur yang sama. 

Aturan yang paling menggambarkan relasi timpang ini tertuang di aturan perumahan federal yang disahkan di tahun 1934. Peraturan ini mendorong pembangunan banyak perumahan untuk komunitas kulit putih. Seolah kurang cukup, perusahaan asuransi menolak mengasuransikan rumah mereka apabila posisinya dekat dengan rumah orang kulit hitam. Bank juga enggan Perusahaan-perusahaan ini akan menandai daerah perumahan masyarakat kulit hitam dengan garis merah, melahirkan istilah ‘redlining’ untuk menunjukkan kebijakan rasis.

Memang aturan ini akhirnya dicabut di tahun 1968. Tapi efeknya terlanjur serius. Kelompok minoritas dan kulit hitam tidak bisa membeli rumah di pusat kota karena harganya sudah kelewat mahal. Akibatnya, mereka kesulitan naik tangga sosial karena sekolah bagus dan pekerjaan yang menguntungkan terpusat di distrik-distrik kulit putih. Meninggalkan mereka dengan sekolah yang apa adanya, pekerjaan kerah biru yang bergaji kecil, rumah berkualitas buruk, dan lingkungan dengan tingkat kejahatan tinggi. 

Pun pencabutannya tidak sepenuhnya menghilangkan rasisme dan segregasi. Penduduk kulit putih yang terbiasa dengan komplek mereka berusaha untuk mempertahankan ‘cita rasa’ dengan membuat aturan yang ribet. Mereka memperkenalkan aturan zonasi yang hanya memperbolehkan rumah tapak. Hal ini secara otomatis mempersulit pembangunan apartemen yang bisa menampung lebih banyak keluarga. Lalu ada aturan-aturan lain dan proses birokrasi yang kelewat rumit supaya semakin sedikit yang bisa mengakses rumah di situ. 

Di sinilah asal dari NIMBY; berawal dari peraturan rasis, berlanjut sebagai gerakan untuk membuat perumahan seeksklusif mungkin dan menjaga supaya akses-akses penting seperti sekolah dan pekerjaan bagus hanya bisa dinikmati oleh mereka. Mayoritas dari mereka yang memegang filosofi NIMBY percaya bahwa semua bentuk pembangunan adalah serangan untuk membuat harga rumah mereka turun dan membuat lingkungan mereka terlihat ‘jelek’.  

Berhubung para NIMBY ini punya banyak keluhan, para urbanis memecah mereka lagi menjadi beberapa aliran. Pertama adalah NIMN alias Not In My Neighborhood yang menolak pembangunan yang bisa mengundang orang-orang dari etnis lain dan minoritas untuk pindah ke komplek mereka. Istilah ini punya kaitan yang erat dengan redlining—tapi apabila redlining dilakukan oleh pemerintah atau bank, maka NIMN merupakan inisiatif penduduknya sendiri. Histeria orang-orang ini akan pembangunan begitu luar biasa, sampai-sampai mereka menyamakan perencanaan apartemen baru dengan genosida penduduk asli AS. 

NIMBYs to Developer: Your Proposed Building Blocks Too Much Sun, Reminds Us of Native American Genocide (reason.com)

Nah, berhubung infrastruktur kota seperti jalan tol, tempat pembuangan sampah, tower BTS, dan tetek-bengeknya harus tetap dibangun, para pendukung NIMBY meminta pemangku kebijakan untuk membangun itu di daerah-daerah miskin saja. Mereka ini secara spesifik disebut PIBBY alias Place in Blacks’ Back Yard. Mereka tahu orang-orang ini tidak akan bisa melawan karena tak punya uang untuk meminta banding ke pengadilan. Atau lebih buruknya lagi, bisa mendapat serangan langsung dari pemerintah, penegak hukum, atau ormas.

Seiring berjalannya dengan waktu, para pendukung NIMBY tak hanya galak ke orang-orang luar yang dianggap akan mengubah tatanan hidup mereka. Tapi mereka juga galak ke tetangga mereka sendiri. Biang keroknya adalah Asosiasi Pemilik Rumah (HOA) yang punya aturan ketat soal apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan oleh pemilik rumah. Peraturan ini sengaja diberlakukan supaya penampilan rumah sesuai dengan standar sehingga harga rumah di sekitar tetap tinggi.

Aturan ketat inilah yang membuat para pemilik rumah tak ragu-ragu komplain, terutama kalau halaman rumah tetangga mereka ‘tidak sesuai standar’. Seorang pemilik rumah di Florida sampai dilaporkan ke pemerintah kota karena dituduh melanggar aturan soal tanah di pekarangan. Alasannya? Tetangganya tak suka ia menanam sayur di pekarangan. Menghias pekarangan rumah dengan bunga dan rumput hijau yang boros air, banyak menggunakan pestisida, dan menghancurkan ekosistem lokal? Boleh banget. Tapi berkebun? Stop atau saya lapor polisi. 

Melihat betapa rese-nya orang-orang dalam menjaga harga rumah mereka, tak mengherankan kenapa bisnis cat rumput bisa meledak di sana. Secara estetik mengecat rumput jauh lebih murah dan hemat air dibanding merawatnya dengan sungguh-sungguh. Sudah terlihat cantik, bonus tidak dilaporkan tetangga rese karena mereka takut nilai properti mereka akan turun juga.