Salah Kaprah “Londo Ireng”
Bukalah Twitter dan Instagram, lalu coba ketik di ceruk isian pencarian frase “londo ireng” atau “londoireng” selaku versi penulisan alternatifnya. Hasilnya akan menunjukkan banyak unggahan dengan varian format mulai dari sekadar teks, teks disertai foto atau foto berkepsyen, meme hingga infografik sederhana, juga video pendek.
Nah, kandungan pesan dalam unggahan-unggahan itu rupanya mengidentikkan londo ireng baik secara eksplisit maupun implisit sebagai “para Bumiputera yang bekerja menjadi orang gajian pihak kolonial, khususnya sebagai serdadu KNIL (Koninklijk Nederlandsche Indische Leger) atau petugas kepolisian”, juga sebagai “para raja serta bangsawan lokal yang bekerja sama dengan pihak kolonial atau bahkan tunduk menjadi vasal kolonial”.
Pemaknaan istilah londo ireng ala keriuhan media sosial tadi bahkan acap dibarengi stigma purbasangka semacam “pengkhianat”, “tidak patriotik”, hingga “antek penjajah”. Banyak dari unggahan itu sekaligus merupakan bentuk ujaran kebencian atau setidaknya dengung pengerasan sekat identitas terhadap kelompok liyan, entah yang berbeda dari sisi etnisitas maupun agama. Beberapa unggahan semacam ini tak jarang mengutip data soal jumlah berikut persentase dari etnis-etnis Bumiputera yang mengisi tenaga di dalam KNIL, kepolisian kolonial, juga kantor-kantor pemerintah. Sedihnya penyertaan data statistik tadi tak jarang pula dibarengi narasi bernuansa rasis hingga sektarian, yang tentu saja terarah kepada etnis Jawa, Manado dan orang-orang Minahasa lainnya, juga Ambon dan orang-orang Maluku Selatan lainnya. Tiga klaster etnis ini selama eksisnya KNIL memang merupakan tiga besar kelompok orang-orang Bumiputera Nusantara penyumbang personel. Merujuk informasi di dalam buku karya Petrik Matanasi berjudul KNIL: Bom Waktu Tinggalan Belanda (2007), tepatnya perihal data statistik etnisitas dari KNIL yang pada 1936 berpersonel total sekitar 33.000 orang, kisaran persentase jumlah orang Jawa, Manado, dan Ambon, masing-masing adalah 39 persen, 15 persen, dan 12 persen.
Tiga Foto
Manakala diamati lebih saksama, dari sekian banyak foto yang kerap dipakai sebagai ilustrasi unggahan bertopik londo ireng, ada tiga foto di antaranya yang menurut saya paling perlu digarisbawahi. Jika memakai hitungan umur foto, dua foto sama-sama dihasilkan 125 tahun silam atau tepatnya pada 1897, satu lagi terakhir dihasilkan pada 1927.
Foto pertama dari 1897 adalah yang paling dramatis, atau bahkan sebenarnya lebih layak disebut horor. Foto jepretan fotografer Christiaan Benjamin Nieuwenhuis tersebut mengabadikan para Marsose Belanda tengah merayakan kemenangan mereka merebut Benteng Kotta Soekoen, di Sigli, Aceh, pada tanggal 6 Agustus. Dramatis sekaligus horor karena serdadu-serdadu serta opsir itu berpose seraya menghunus kelewang-kelewang mereka, juga memamerkan bedil-bedil dan revolver—yang beberapa waktu sebelumnya tentulah baru saja memuntahkan pelor-pelor pencabut nyawa. Terlebih lagi, mereka itu berdiri atau berjongkok di atas gelimpangan kunarpa para pejuang Aceh yang telah gugur. Di dalam salah satu dokumentasi Perang Aceh ini, tampak jelas bahwa mayoritas personel Marsose yang turut berfoto memang beresam kulit serta berperawakan Bumiputera Nusantara. Foto semacam ini acap dipakai untuk menunjukkan betapa kejam sekaligus teganya para prajurit Bumiputera KNIL kepada sesama orang Nusantara.
Foto kedua dari 1897 adalah foto Susuhunan Pakubuwana X, raja Kasunanan Surakarta yang lahir pada 29 November 1866 serta bertakhta 1893-1939. Di foto itu ia bersama Willem de Vogel, Residen Belanda untuk Surakarta 1897-1905. Pose Sunan dan Residen Vogel yang bergandengan tangan sering jadi bahan olok-olok dan bahkan sasaran umpat serapah dari warganet. Foto bergandengan tangan itu acap disimpulkan banal sebagai sikap tunduk sekaligus takut dan menjilat kepada pihak Penjajah. Bahkan kesimpulan semacam itu tak sekadar ditujukan untuk menyerang karakter Pakubuwana X seorang, tapi dipakai juga untuk menyimpulkan bahwa semua raja Jawa memang lembek dan tak berani melawan Belanda.
Foto ketiga adalah foto 11 personel senior KNIL asal Jawa yang menghadiri upacara pemakaman J.B. van Heutsz di Amsterdam, Belanda, 9 Juni 1927. J.B. van Heutsz adalah jenderal legendaris KNIL sekaligus mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Di foto itu, para personel Bumiputera KNIL itu difoto di studio dalam balutan seragam upacara lengkap dengan lencana-lencana penghargaan tertempel di dada kiri. Harus diakui bahwa foto ini menunjukkan kebanggaan 11 personel Bumiputera KNIL terhadap karier panjang mereka, yang tentunya dilewati dengan sejumlah penugasan operasi. Lagi-lagi foto ini dipandang mewakili orang-orang yang tega ikut menindas sesama orang Nusantara demi bisa menikmati gaji rutin dari pemerintah kolonial Belanda.
Kadung Menyebar dan Mengakar
Berkaitan dengan kecenderungan pembayangan dan pemahaman orang-orang tentang istilah londo ireng, saya membuat jajak pendapat sederhana selama 24 jam di akun Twitter pribadi saya, @sefkelik, pada 24-25 November 2022 lalu. Dari 237 pengurun pendapat, jawaban nomor 1 berupa “Pribumi jadi KNIL, Opas (petugas polisi)” memang merupakan pilihan terbanyak, yakni 52 persen votes.
Jawaban nomor 4 menjadi pilihan terbanyak kedua dengan mengumpulkan 22 persen votes. Opsi jawaban ini tepatnya berupa “KNIL asal Afrika”. Ini sejatinya jawaban yang lebih tepat tentang istilah londo ireng. Istilah yang memiliki padanan dalam bahasa Belanda berupa Zwarte Hollanders ini memang aslinya merujuk kepada personel-personel KNIL hasil program rekrutmen dari Afrika Barat, antara lain dari wilayah yang kini termasuk negara Ghana. Program rekrutmen yang dimungkinkan dengan bekerja sama dengan Raja Kerajaan Ashanti itu berlangsung 1831-1872. Anak-cucu para serdadu hasil rekruitmen medio abad ke-19 ini bahkan lanjut mengabdi di KNIL sampai institusi militer kolonial ini dibubarkan pada 1950.
Tentang program rekruitmen personel KNIL dengan mendatangkan orang-orang asal Afrika Barat tadi dikisahkan apik oleh sejarawan Belanda, Ineke van Kessel, via buku hasil risetnya yang terbit perdana di Belanda pada 2005, Zwarte Hollanders, Afrikaanse Soldaten in Nederlands-Indie 1831-1945. Edisi bahasa Indonesia diterbitkan Komunitas Bambu pada Mei 2011 dalam judul Serdadu Afrika di Hindia Belanda 1831-1945.
Itu artinya buku karya Ineke van Kessel sudah 11 tahun lebih 6 bulan beredar di pasaran perbukuan maupun khazanah bacaan di Indonesia. Dengan memilih berprasangka baik kepada minat baca orang Indonesia, dalam tempo hampir 1,5 windu terakhir mestinya ada sekian ribu orang Indonesia tadi sudah membaca edisi bahasa Indonesia buku tersebut, entah dengan membeli sendiri, meminjam di perpustakaan, atau meminjam milik kawan atau orang dekat lainnya—pacar, gebetan, dan seterusnya.
Penyebaran informasi lebih akurat perihal londo ireng yang dibawa oleh buku Ineke van Kessel bukannya tidak memiliki pengaruh dalam memPerkaya pengetahuan sejarah orang Indonesia. Pembahasan entri “Belanda Hitam”—tentu saja merupakan padanan kata bagi londo ireng maupun Zwarte Hollanders—di Wikipedia Indonesia setidaknya sudah mengikuti narasi hasil riset Ineke van Kessel. Di Quora juga telah ada yang memaparkan ulang riset Ineke van Kessel. Sejumlah portal berita nasional maupun lokal juka merujuk isi buku Ineke van Kessel ketika membahas tentang londo ireng serta meliput tentang kantong domisili mereka di Purworejo.
Namun, semua itu rupanya belum sepenuhnya bisa membendung salah kaprah yang kadung menyebar luas soal makna istilah londo ireng. Ya, buktinya di jajak pendapat sederhana yang saya buka di Twitter, jawaban “KNIL asal Afrika” cuma menempati urutan dua. Itu pun terpaut poin sampai 21 persen dengan “Pribumi jadi KNIL, Opas” yang menempati urutan pertama.
Selain dua jawaban ini, jajak pendapat saya masih menyediakan dua opsi jawaban lain, yaitu “Pribumi pegawai Kolonial” yang mengumpulkan 20 persen votes serta “Bangsawan lokal vasal NED (Nederlands/Belanda” yang mengumpulkan 5 persen votes. Karena masih terkait dengan orang-orang bumiputera nusantara yang bekerja maupun berkolaborasi dengan pihak kolonial, jumlah yang memilih opsi “Pribumi jadi KNIL, Opas”, “Pribumi pegawai Kolonial”, “Bangsawan lokal vasal Belanda” menghasilkan total votes hingga 77 persen manakala dikumpulkan jadi satu. Ini jauh mengungguli sampai tiga kali lipat angka persentase yang dimiliki opsi jawaban yang sebenarnya paling akurat, yaitu “KNIL asal Afrika”. Ini sekaligus menunjukkan bahwa londo ireng sebagai dalam pemahaman melenceng ala orang Indonesia sebagai “orang-orang dan pemimpin Bumiputera yang bekerja dan berkolaborasi dengan pihak kolonial selama periode Penjajahan” memang kadung jadi sesuatu yang menyebar luas sekaligus mengakar dipercayai di khalayak ramai Indonesia .
Sisi Lain
Sebagai sekuen akhir dari tulisan ini, saya akan mengajak untuk mencermati sisi lain dari mereka yang karena bekerja ataupun berkolaborasi dengan pihak kolonial lantas langsung divonis sebagai “pengkhianat”, “antek penjajah, hingga “tidak patriotik”.
Menurut saya tidak semua dari orang-orang yang bekerja atau berkolaborasi dengan pihak kolonial serta merta layak divonis sebagai “pengkhianat” atau “antek penjajah” menurut perspektif nasionalisme Indonesia kiwari. Bentuk awal yang relatif jelas secara visi dari nasionalisme Indonesia yang eksis hingga saat ini adalah hasil proses pematangan 1913 hingga 1928. Yang menjadi hakekatnya ya tiga serangkai poin Putusan Kongres Pemuda II alias Sumpah Pemuda: bertanah air satu, berbangsa satu, juga menjunjung bahasa persatuan. Karena itu, berbagai kejadian maupun pilihan politik yang terjadi tahapan munculnya kesadaran memiliki kesamaan tanah air dan bangsa tadi tidak sebaiknya ditakar dan divonis menurut hitungan nasionalis atau tidak nasionalis, atau patriotik dan tidak patriotik.
Pun, terhadap orang-orang yang menempuh pilihan kolaborasi alias bekerja sama dengan pihak kolonial, kita perlu meluangkan perhatian untuk mencermati lebih rinci pilihan politik dan kiprahnya. Kolaborasi atau kerja sama tak jarang merupakan pula strategi non-frontal dari pihak lokal tak berkekuatan militer. Tujuannya adalah mencegah Belanda menghapuskan kerajaan dan memerintah langsung bekas wilayah tersebut.
Pilihan tidak melawan secara frontal seperti yang ditempuh Susuhunan Pakubuwana X dari Kasunanan Surakarta, atau juga ditempuh ayah-anak kerabatnya dari Kasultanan Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwana VII dan Sultan Hamengkubuwana IX, nyatanya bukannya tak memiliki manfaat bagi perjuangan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Pilihan politik demikian ternyata memungkinkan adanya ruang dan kurun hidup yang memersiapkan para pelaku perlawanan terhadap kolonial pada era setelah mereka. Mari kita tengok beberapa contohnya.
Di tengah masa pemerintahannya yang berlangsung 46 tahun dan berjalan tanpa perlawanan frontal kepada kolonial Belanda, Susuhunan Pakubuwana X merekrut seorang dokter Jawa asal Mlati, Sleman, sebagai dokter pribadi sekaligus juru khitan para putranya. Ia pun biayai pendidikan lebih lanjut sang dokter sampai ke Eropa untuk 2 kali pendidikan spesialis.
Dokter tersebut lantas dipercayai mengepalai Rumah Sakit milik Kasunanan Surakarta, Panti Rogo di Kadipolo, Solo. Di tangan sang dokter, rumah sakit yang awalnya cuma melayani kerabat Kraton dan sentana (pejabat dan pegawai Kraton) lantas melayani pula penduduk kota. Sang dokter berandil pula dalam penanganan wabah pes sekitar dekade 1910-an. Dokter ini pada akhirnya menyandang gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Radjiman Wedyodiningrat. Pada 1945, ia memimpin para pemimpin bangsa Indonesia lainnya menyiapkan calon konstitusi negara sebagai Ketua Dokuritsu Junbi Cosakai alias Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).
Dua dari 63 anak Susuhunan Pakubuwana X pun nyatanya tercatat ikut menyabung nyawa dalam Perang Revolusi Kemerdekaan Indonesia 1945-1949. Kakak-beradik itu ialah Gusti Pangeran Haryo (GPH) Djatikoesoemo serta GPH Haryo Mataram. Yang lebih tua pada Perang Revolusi Kemerdekaan berpangkat Kolonel dan menjabat Komandan Divisi Ranggalawe, lalu Kepala Staf Angkatan Darat merangkap Direktur Akademi Militer Yogyakarta. Yang lebih muda pada periode yang sama berpangkat Letnan. Dalam perjalanan karier aktif selanjutnya, sang kakak sampai kepada pangkat Letnan Jenderal, sedangkan sang adik mencapai pangkat Brigadir Jenderal.
Dari Kasultanan Yogyakarta, penerus Sultan Hamengkubuwana VII dan Sultan Hamengkubuwana VIII adalah Sultan Hamengkubuwana IX. Sosok ini dicatat dalam sejarah Indonesia menjadi aktor penting dalam periode Perang Revolusi Kemerdekaan, khususnya dalam hal kesediaannya menampung pemerintah Indonesia beribukota di Yogyakarta pada 1946-1949. Termasuk pula menggunakan kekayaan Kraton yang dikumpulkan kakek dan ayahnya untuk banyak menalangi operasional pemerintahan Indonesia pada tahun-tahun sulit itu.
Kita juga mesti ingat bahwa negara Indonesia saat bisa tetap berdiri tentu tak lepas dari keberhasilannya menjinakkan aksi-aksi pemberontakan di berbagai penjuru kepulauan pada 1950-an. Nah itu semua sebenarnya tak lepas juga dari andil kerja puluhan ribu eks-personel militer Belanda dari KNIL, ML (Angkatan Udara Belanda), dan KM (Angkatan Laut Belanda) yang dialihkan masuk ke militer Indonesia, sebagai bagian pelaksanaan perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949. Tanpa keterlibatan para eks-personel militer Belanda itu, tentu pihak Indonesia bakal repot atau kurang orang dalam memanfaatkan aneka persenjataan modern yang dihibahkan pasca-KMB. Kapal perang, tank, brencarrier, panser, meriam howitzer, pesawat pemburu, pesawat angkut, hingga bomber teknologi 1940-an jelas butuh operator manusia terlatih kan?