Satu Atap, Banyak Keluarga

Subjudul: Dari The Sims for Rent sampai kebutuhan rumah multigenerasi

Bangunlah gamers, karena The Sims 4 baru saja merilis expansion baru yaitu For Rent. Seperti namanya, game ini membuat pemain bisa mewujudkan mimpi basah anak muda untuk menjadi juragan kos-kosan 20 pintu. Selain itu, ada peta baru (Tomarang), acara sosial baru (potluck dan pool party), permainan engklek dan gundu, alat pemanggang sate, printilan dapur seperti rice cooker, tampah, dan rantang, serta yang paling penting: toilet jongkok. Tidak mengagetkan mengingat Tomarang terinspirasi dari Asia Tenggara.

Namun tak semua pemain senang dengan expansion ini. Beberapa mengeluhkan tanah Tomarang yang sempit dan menyerupai kampung, padahal tema hunian sewaan sebetulnya lebih cocok diaplikasikan ke daerah urban. Belum lagi maksimal lantai bangunan yang bisa dibuat adalah empat lantai yang mana semakin jauh dari ideal yang diinginkan para pemain yang punya mindset urbanis.

Namun kritikan-kritikan ini langsung ditangkis oleh pemain-pemain Asia Tenggara. Mereka menyatakan latar kampung Asia Tenggara masih cocok dengan tema For Rent karena game ini memperbolehkan banyak keluarga tinggal dalam satu kompleks rumah. Awalnya ada rumah induk, lalu seiring dengan bertumbuhnya keluarga, kamar-kamar anyar akan muncul sebagai rumah baru untuk keluarga tersebut.

Dibawah Naungan Satu Atap

Alasan kenapa rumah dengan banyak keluarga—atau bahasa urbanisnya multigenerational housing—terdengar asing di pemain kulit putih Barat bisa jadi karena pengaturan rumah seperti ini lebih banyak ditemui di Asia, Amerika Latin, dan Afrika. Setiap daerah memiliki nama khusus untuk tempat tinggal mereka—suku Akan dari Ghana menyebutnya “finhankra” yang menyimbolkan rumah sebagai tempat aman. Istilah ini memang tepat menggambarkan model rumah ini karena ia memberikan keamanan dan dukungan sosial serta ekonomi. 

Ada banyaknya anggota keluarga memastikan anak-anak dan orangtua mendapat perawatan yang memadai. Sedang dalam segi ekonomi, pengeluaran rumah tangga bisa ditanggung bersama. Aspek ini terutama sangat penting, terutama dalam konteks keluarga muda yang pengalaman dalam perawatan keluarga dan karir masih hijau. 

Namun urbanisasi dan industrialisasi besar-besaran yang terjadi pada satu abad terakhir membuat model rumah seperti ini mulai ditinggalkan. Banyaknya kesempatan pekerjaan layak dan pendidikan tinggi di kota membuat orang-orang, terutama anak mudanya, memilih untuk merantau. Biaya sewa atau beli rumah yang mahal di kota juga membuat membawa opsi orangtua dan/atau saudara ke rumah tidak mungkin. Konsekuensinya, orang-orang memilih tinggal sendiri atau bersama pasangan dan anak mereka alias keluarga nuklir. 

Pertumbuhan rumah tangga satu orang (single-person household) yang pesat semakin terlihat di Asia. Hal ini juga terlihat di Indonesia—walau tak seekstrim negara-negara Asia yang lain. Penelitian yang dilakukan oleh Ariane Utomo, dkk (2022) menunjukkan di tahun 2020 8,03% penduduk Indonesia tinggal sendiri. Kemungkinan hal ini bisa terjadi berkat pertumbuhan pendidikan dan terus meningkatnya perempuan pekerja di pasar kerja. Persentase perempuan Indonesia yang menamatkan pendidikan tinggi lebih tinggi 0,78% dibanding laki-laki. Perbedaan tingkat pendidikan, kepemilikan pekerjaan, serta ekspektasi akan laki-laki yang punya pekerjaan dan pendidikan yang lebih tinggi membuat lebih banyak perempuan memilih untuk menunda pernikahan.   

Lalu bagaimana dengan rumah tangga keluarga nuklir? Rumah tangga pasangan tanpa anak terus tumbuh. Tahun 1993 hanya ada 7,43%, tapi kemudian naik menjadi 9,4% di tahun 2020. Menariknya, rumah tangga pasangan dengan anak merupakan konfigurasi keluarga mayoritas bahkan sejak 1993. Tapi jumlahnya menurun seiring dengan waktu. Kemungkinan penurunan ini bisa dikaitkan dengan semakin mahalnya biaya hidup dan sewa rumah atau kebutuhan untuk merawat orangtua yang sudah sepuh.

Perubahan konfigurasi rumah tangga yang berpusat ke satu orang atau keluarga nuklir tentunya mengubah preferensi tempat tinggal. Namun ada perbedaan antara rumah tangga menengah ke bawah dengan rumah tangga menengah hingga menengah atas. 

Mereka yang berada di strata ekonomi menengah-bawah biasanya memilih hunian kontrak di kantong kampung kota karena harganya yang murah dan fleksibilitas untuk pindah tinggi. Sebagai strategi penekanan biaya hidup, banyak rumah kontrak di kampung kota yang seharusnya ditinggali oleh dua orang dipaksa untuk ditinggali empat orang. Ada pula yang lebih ekstrim, yaitu bergantian menggunakan kamar untuk istirahat. Keinginan untuk memiliki rumah tentu ada dan tinggi, tapi terpaksa kandas karena harga tidak mungkin dicapai dan kondisi pekerjaan yang jauh dari kata stabil.

Sementara mereka yang berada di strata ekonomi menengah, terutama pekerja kerah putih muda, jelas punya kesempatan untuk memiliki rumah yang lebih tinggi dibanding kelompok bawah. Namun mimpi ini terantuk oleh harga rumah yang semakin tidak masuk akal. Akhirnya, menyewa hunian—terutama yang terletak di lingkungan yang aman serta dekat dengan pusat kota—menjadi norma baru. Ada pertumbuhan fenomena, terutama dalam konteks Jakarta dan sekitarnya, dimana pasangan muda dibawah 35 tahun mengontrak rumah, sementara mereka yang belum menikah tinggal di kos-kosan. 

Walau begitu, keinginan untuk memiliki rumah tetap tinggi. Hanya saja, banyak dari mereka mengambil langkah yang pragmatis, yaitu menunggu membeli rumah sampai kondisi perekonomian dan karir lebih mapan. Alias menunggu sampai usia tengah-akhir 30 tahun.  

Meski dihadapi oleh harga rumah yang terus naik dan lokasi rumah yang bisa dijangkau semakin jauh dari tempat kerja, keinginan orang-orang untuk punya rumah tapak tidak tergoyahkan. Data dari Katadata menunjukkan 93% anak muda Jakarta ingin punya rumah tapak dan hanya 7% yang ingin punya apartemen. Keinginan untuk memiliki apartemen/rumah susun di daerah Jawa-Bali jauh lebih kecil lagi, hanya 0,6%. 

Preferensi ini lagi-lagi tidak bisa dijauhkan dari anggapan rumah sebagai bentuk konkrit dan paling utama dari akumulasi kekayaan keluarga. Berbeda dengan apartemen yang punya masa berlaku sepanjang 30 tahun, tidak dapat tanah, dan punya regulasi seabrek, rumah jelas lebih menguntungkan. Sudah dapat tanah, bisa dimodifikasi pula asal tanahnya cukup. Tak hanya itu, rumah juga bisa mensinyalkan status sosial yang mapan.  

Sikap keras kepala keluarga nuklir muda untuk punya rumah tapak, sayangnya, semakin tidak mungkin diraih. Jumlah tanah semakin berkurang, sementara permintaan untuk rumah tapak terus tumbuh tiap tahunnya. Jakarta sendiri punya housing backlog yang serius; anak muda Jakarta diestimasikan tidak akan bisa punya rumah sampai 2045. 

[INFOGRAFIS: 95% tanah Jakarta sudah dibangun. Dari 95% tanah tersebut, 48,41%-nya dialokasikan untuk perumahan. Rumah tapak mendominasi sebanyak 91%, sementara sisanya dialokasikan untuk rusun. Sumber: JPI, dikutip dari Kompas https://www.kompas.id/baca/english/2023/07/04/en-berbagi-rumah-dengan-keluarga-diyakini-bakal-jadi-tren)]

Dihadapi kenyataan ini, akhirnya beberapa anak muda memilih ‘mengalah’ dan kembali ke rumah orangtua. Strategi ini kerap kali tidak hanya didasari oleh masalah ekonomi, tapi juga didorong oleh perasaan kewajiban mengurus orangtua dan tangan ekstra untuk mengurus anak. Permasalahan lansia seperti kesepian juga bisa ditanggulangi. 

Menariknya, tren rumah multigenerasi tak hanya populer di Asia, tapi di seluruh dunia. Namun konteks multigenerasi di sini bukan hanya soal keluarga sedarah tinggal dalam satu rumah. Ambil contoh Kampung Admiralty di Singapura. Proyek ini dibangun oleh HDB Singapura dan didesain oleh WOHA. Sesuai dengan namanya, Admiralty menggabungkan konsep kampung dengan perumahan vertikal yang disertai dengan fasilitas kesehatan, pendidikan, pertokoan, peribadatan, dan perawatan anak. Walau Kampung Admiralty ditujukan untuk lansia, komplek ini juga menawarkan unit untuk keluarga muda yang ingin tinggal bersama orangtuanya. Satu hal lain yang membuat unit apartemen ini cocok dengan keluarga multigenerasi adalah karena unitnya bersifat fleksibel; temboknya bersifat sementara sehingga bisa diubah sesuai dengan kebutuhan pemilik.

Sayangnya, pembangunan perumahan multigenerasi yang sistematis dan diurus oleh negara hanya terjadi di Singapura. Pembangunan rumah multigenerasi di negara-negara lain masih dibangun oleh pribadi atau pihak swasta. Pembangunan rumah multigenerasi oleh individu kerap ditemui di Indonesia dan cenderung berbentuk rumah tapak. Ini juga ditemui di Inggris, Amerika Serikat, Belanda, dan Belgia. 

Bermunculannya rumah-rumah multigenerasi swadaya yang beriringan dengan semakin menuanya populasi seharusnya mendapat perhatian serius. Pasalnya, perubahan demografi dan menurunnya daya beli rumah generasi muda akan punya implikasi yang buruk apabila tidak segera ditangani. Untuk itu, fokus pembangunan rumah sekarang tak hanya untuk mengejar ketertinggalan pasokan, tapi juga membuat desain rumah yang bisa mengakomodasi keluarga besar.

Indonesia bisa menengok cara Singapura membangun perumahan yang tak hanya ramah anak dan lansia, tapi memaksimalisasi tanah yang semakin hari semakin menipis. Tentu, ini juga harus diseimbangi dengan harga rumah yang terjangkau supaya bisa dinikmati oleh banyak pihak.