Kolom Mesin Waktu: Saya Tidak Ingin Jadi Superman

Kolom: Mesin Waktu 
SAYA TIDAK INGIN JADI SUPERMAN

Oleh: Hikmat Darmawan (peneliti budaya popular, produser film)


“Dalam dunia setelah Gaza, Superman dan para adi-pahlawan itu, jika kita simulasikan/khayalkan sungguh ada, akan jadi wahana fasisme belaka, musuh bagi para musuh Amerika dan sekutunya.” [DIBUAT ILUSTRASI MONOLOG SEPERTI DI BAWAH]

Tiba-tiba kesambet pingin makan di Lokiin, Jalan Melawai. Tepatnya, menempek di gedung Melawai Plaza. Sesudah makan, jalan kaki bareng kawan ke belakang, lewat area parkir motor menembus ke area Blok M. Lewat pintu lobi Melawai Plaza, saya ingat dulu ada toko buku Rubino di situ. Toko buku dan majalah berbahasa Inggris impor. Yang paling saya kenang, ada komik-komik Spider-Man di situ. 

Mungkin ada komik Hulk atau The Avengers juga. Pada 1980-an, mungkin semasa saya SMP atau SMU (jauh juga rentangnya, antara 1980 hingga 1989), saya hanya terpaku pada komik Spider-Man di etalase dan lupa tokoh komik Marvel lain. Rasanya ajaib betul ada komik impor Spider-Man di Jakarta. Pada masa SD sekitar kelas 4 atau 5, saya banyak membeli komik superhero Amerika terbitan DC Comics yang diterjemah dan diterbitkan oleh penerbit Cypress. 

Saya sangat memuja Batman, terpesona oleh latar gelap dan fakta bahwa ia hanya “manusia biasa” dibanding superhero, ah, adi-pahlawan, lain. Tapi, saya toh mengumpulkan juga komik Superman dan lain-lain. Sebelumnya, semasa tinggal di Bandung sebelum pindah ke Jakarta pada awal 1978, saya gemar komik-komik superhero DC Comics juga yang diterbitkan terjemahan mereka oleh Penerbit Maranatha, Jl. Ciateul no. 148, Bandung. Hitam putih. 

Terbitan Cypress banyak berwarna, dan dalam format asli seperti terbitan Amerika, dan selama beberapa tahun terbit bulanan nyaris setiap serinya. Seri Superman, Action Comics, Comics Present, Batman, Detective Comics, World’s Finest, The New Teen Titans (seri favorit saya sepanjang masa). Persoalan saya dengan Superman, dia terlalu sempurna, terlalu adidaya, terlalu sakti, dan terlalu Amerika. Motto-nya waktu itu, sisa dari era Perang Dingin dan eksepsionalisme Amerika sejak menang Perang Dunia ke-2, adalah: berjuang untuk Truth, Justice, and The American Way. 

Saya lebih suka Batman. Ia adalah anak kegelapan, lahir dari sebuah trauma. Pada 1990-an, teman kos dan kuliah saya menemukan juga sebuah dalih untuk tak menyukai Batman: biar trauma, tapi kan dia anak orang kaya, Mat. Sewaktu 1990-an, sebelum ketemu toko-toko khusus komik impor Amerika seperti P & J di Mal Cinere dan mal Kelapa Gading atau toko DH di Pondok Indah, saya sudah merasa perlu menjaga jarak dengan dunia komik dan tak merasa punya argumen untuk menyanggah teman saya itu. 

Dan cukup banyak juga komik non-Batman yang saya beli pada 1980-an sejak SD hingga SMP, dan masih saya simpan hingga awal 1990-an, terutama karena wewarnanya dan cerita mereka yang naif dan ganjil. 

Warna-warna itulah yang membuat komik superhero Amerika amat memesona, sebelum saya tak sengaja berkenalan dengan komik Tintin (persisnya, Tintin: Negeri Emas Hitam) terbitan Indira di Gudang Uwak saya. Di toko Rubino saya takjub melihat wewarna itu dalam bentuk asli, barang impor langsung dari Amerika. Waktu itu era Spiderman beralih kostum jadi berwarna hitam. 

Pada 1990-an, saya ada lebih banyak toko komik impor dari AS di Jakarta dan masuk juga majalah-majalah khusus komik Amerika seperti Wizard, saya jadi paham bahwa itu era Spider-Man lini cerita The Saga of Alien Costume yang mencakup periode 1984-1985, tapi kostum hitam ini terus dipakai oleh Spider-Man alias Peter Parker selama empat tahun sejak penampilan pertamanya dalam Amazing Spider-Man no. 282 (Mei 1984). Pada edisi nomor 258 (November 1984), jebule kostum hitam itu simbiota alien. Organisme hidup yang kemudian kita kenal sebagai Venom. 

Berarti saya melihat Rubino pada sekitar tahun 1984 itu. Wewarna komik-komik di Rubino tampak mendebarkan, karena jenis kertas (seperti kertas koran, tapi lebih bagus dari kertas koran yang digunakan di media cetak Indonesia) berwarna nyaris krem atau broken white. Teknik pewarnaan waktu itu untuk komik-komik Amerika bergenre adi-pahlawan adalah peralihan dari Ben Day dot dan half tone screen ke teknik pewarnaan lebih modern, tapi pra-digital. 

Hingga era 1980-an, standar pewarnaan Marvel Comics masih seperti era Ben Day yang banyak digunakan pada 1950-an hingga 1960-an, dengan palet warna sebatas 64 warna. Sebab hanya sejumlah itulah variasi yang dimungkinkan dari tiga warna dasar merah, biru, dan kuning. Dalam keterbatasan itu, variasi pewarnaan dalam komik jadi terasa seperti kartun, tak punya beban mimikri (meniru alam) sebesar lukisan realis. 

Saya waktu itu masih tak bisa mengakses beberapa eksperimen pewarnaan dalam industri komik Amerika di era itu yang memungkinkan adanya wewarna lukisan cat, misalnya, dalam majalah Heavy Metal yang mengimpor komik-komik Eropa Barat macam karya Moebius atau Milo Manara. Tentu, lewat majalah Hai dan majalah Eppo pada 1978 hingga saat saya mengumpulkan komik Cypress, saya tahu teknik pewarnaan komik Eropa yang kaya. Misalnya, komik Trigan dan Storm yang dilukis Don Lawrence. 

Pada 1984, saya hanya menatap etalase atau sesekali memberanikan diri melihat halaman dalam komik yang dipajang, dengan hati-hati seperti membuka Kitab Suci. Sejak SD saya memang sering jalan sendiri dari rumah saya di Cilandak, naik Kopaja atau Metro Mini (dua jenis angkutan umum yang sering ugal-ugalan di jalan), ke Blok M atau mana pun yang ada toko buku. Saya berulang kali dalam sebulan ke toko Rubino, di samping pergi ke toko Gramedia Blok M. Di komik-komik Spider-Man impor itu, ada wangi kertas dan mungkin tinta yang menambah aroma khayali. Tapi waktu itu saya tak mampu membeli komik impor. 

Mungkin itu salah satu sebab saya, dan banyak kolektor komik, mau menghabiskan begitu banyak uang untuk membeli komik-komik Amerika edisi lawas itu. Atau membeli edisi TPB dan “novel grafis” cerita-cerita lama. Daya beli saat ini dan hobi mengoleksi terbitan lawas adalah kompensasi ketakmampuan ekonomi di masa kecil. Tapi, masa silam juga bisa memberi semacam jangkar dalam arus gelombang kebaharuan demi kebaharuan yang membikin gamang. 

Tapi, saya kini semakin tak ingin jadi Superman. Jangan salah, saya mengikuti evolusi tokoh Superman dan betapa dalam versi John Byrne ia menjadi karakter yang lebih kontemporer, dalam versi Grant Morrison ia jadi lebih mitis, kosmik, dan canggih, dan dalam versi Brian Michael Bendis, ia jadi lebih berwatak street smart serta punya kejiwaan yang lebih manusiawi. Bendis mengembalikan celana-dalam-dipakai-di-luar Superman (Abdel, pelawak itu, mengingatkan bahwa sebetulnya Superman “memakai celana luar di dalam”). 

Versi Bendis dicaci antara lain karena mengembalikan kostum era Golden Age hingga Silver Age Superman, di samping karena cara bertuturnya yang “banyak omong” dianggap merusak kecanggihan Superman versi Morrison. Saya termasuk yang sedikit itu, menyukai versi Bendis. Sejak pertengahan 1990-an, saya sudah kepincut oleh penulisan Bendis di seri indie comics-nya, Jinx dan Torso. Semakin tergila ketika membaca seri Powers sejak pertama terbit di tahun 2000, dua tahun setelah Reformasi 1998 dan dollar US menuju stabilisasi oleh Habibi tapi tak mungkin mencapai taraf seperti pra-1997. Komik Amerika tiba-tiba menjadi hobi yang mahal sekali. 

Komik-komik Amerika sekarang dicetak di kertas yang lebih mewah, dengan teknik pewarnaan yang jauh lebih kaya dari era 1980-an. Cerita-ceritanya semakin canggih. Harganya semakin mahal. Toh yang kini menetap di benak saya adalah betapa Amerika-nya mitologi adi-pahlawan itu. Setelah Gaza, Setelah genosida orang Palestina didukung penuh oleh pemerintahan Biden, sampai-sampai sebagian orang menggelarinya “Genocide Joe”, mitologi superhero jadi wagu dan kadang menjijikkan (khususnya versi para fanboi dan kreator di Amerika penganut incel dan ultra-kanan). 

Alan Moore, pengarang Watchmen dan seri The League of Extraordinary Gentlemen, pernah mengucap kritiknya. Komik (Amerika) pada 1980-an dianggap membuat komik menjadi lebih dewasa dan cocok untuk pembaca dewasa, tapi yang terjadi sesungguhnya adalah bahwa komik era itu memberi dalih bagi banyak orang dewasa untuk tetap berpikir bagai remaja pra-dewasa. Moore ada benarnya. Khususnya, untuk komik superhero Amerika. 

Kadang, tak ada salahnya masih memiliki segi remaja dan infantil dalam dunia dewasa. Tapi, ada saatnya infantilisme demikian menghalangi kita untuk berpikir kritis terhadap berbagai status quo di dunia ini. Tidak, saat ini saya tak ingin jadi Superman, Batman, atau Spider-Man. Dalam dunia setelah Gaza, Superman dan para adi-pahlawan itu, jika kita simulasikan/khayalkan sungguh ada, akan jadi wahana fasisme belaka, musuh bagi para musuh Amerika dan sekutunya. Persis seperti gambaran Alan Moore dalam Watchmen.   

Saat saya melewati ruang yang pernah jadi toko Rubino itu, saya mengenang Spider-Man sebagai sebuah artefak peradaban yang telah silam di benak saya. Tak ada lagi keajaiban yang sama, tuah sebuah produk budaya yang menakjubkan dalam sebuah kenaifan ideologis. Yang tersisa, adalah sebuah kunjungan turistik ke masa silam, sejenak, sebelum kembali ke masa kini yang setiap hari masih dipenuhi oleh represi imperium Amerika pada mayoritas negara-negara di Selatan-Global.***