Seabad Ijtihad Politik NU

Seabad Ijtihad Politik NU
Subtitle: NU adalah magnet politik elektoral besar bagi capres-cawapres 2024

Selasa, 7 Februari, 2023 lalu Nahdlatul Ulama (NU) merayakan harlah ke-100 tahun, bila merujuk hari pendiriannya dalam penanggalan Islam. NU adalah organisasi keagamaan Islam terbesar di Indonesia. Ia telah menjadi ruang gerakan keagamaan dari lebih kurang 108 juta muslim negeri ini. Mereka, para orang NU itu, disebut nahdliyin.  

Meski demikian, kiprah NU dalam seabad ke belakang tak terbatas pada gerakan keagamaan. NU juga aktif berpolitik, bahkan sejak awal kelahirannya yang merupakan respons keagamaan sekaligus politik terhadap kebijakan Raja Saud sebagai rezim baru di tanah Hijaz (kini Arab Saudi). 

Saat itu, sejak rezim Raja Saud yang beraliran Wahabi bertakhta pada 1924, tersiar kabar ke seluruh dunia Islam bahwa terdapat larangan bermazhab di Hijaz. Muslim yang bermazhab dihukum. Lalu, tersebar pula kabar penghancuran situs-situs islam bersejarah serta pembatasan ibadah haji. 

Maka bertemulah lebih kurang 15 kiai yang dipimpin KH Hasyim Asy’ari pada 31 Januari 1926/16 Rajab 1344 H di Kertopaten, Surabaya. Mereka berembuk untuk memilih delegasi ke Muktamar Alam Islami di Mekkah dan menyampaikan pesan berisi respons atas kondisi di Hijaz kepada Raja Saud. 

Setidaknya ada lima poin dalam pesan tersebut, seperti dicatat Choirul Anam dalam Pertumbuhan & Perkembangan NU (1985), yakni memberikan kemerdekaan bermazhab bagi muslim di Hijaz; meminta tempat bersejarah tak dihancurkan, seperti tempat kelahiran Siti Fatimah dan makam Nabi Muhammad; meminta pemerintah Hijaz mengumumkan tarif ibadah haji setiap tahun sebelum datangnya musim haji; meminta semua hukum di Hijaz ditulis agar lebih jelas dan tidak terjadi pelanggaran; dan meminta pemerintah Hijaz membalas pesan yang dikirimkan. 

KH Raden Asnawi dari Kudus, Jawa Tengah, terpilih sebagai delegasi. Namun, satu masalah lain muncul. Delegasi ini mewakili siapa? 

“Nahdlatul Ulama”, begitulah nama organisasi yang diusulkan KH Mas Alwi dan disepakati para kiai lain. Saat itu juga ditandatangani nota pendirian NU.

Perjalanan ijtihad politik NU dari masa ke masa adalah sebagai berikut:


Milestone
Teks
Sumber


Masa Pendudukan Hindia Belanda


1937
NU bersama Muhammadiyah dan Sarekat Islam mendirikan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) sebagai dewan tertinggi Islam saat itu. Kegiatan lembaga ini membahas persoalan agama yang ketat dan mengandung implikasi politik terhadap masa pendudukan Hindia Belanda. Misalnya, menolak pelimpahan hukum waris dari pengadilan agama ke pengadilan negeri; menolak penetapan biaya potong hewan kurban; dan mendorong propaganda Islam di daerah kolonial.
Buku Martin Van Bruinessen


1938
Pada Muktamar ke-15 di Menes, Banten, muncul usulan agar NU menempatkan wakilnya di Volksraad–parlemen semu bentukan pemerintah Hindia Belanda sebagai bagian dari politik etis. Namun, usulan ini kemudian ditolak mayoritas nahdliyin yang hadir. 
Buku Martin Van Bruinessen


Masa Pendudukan Jepang


1942
Menolak melakukan seikerei–membungkuk kepada raja Jepang. Karena hal ini, KH Hasyim Asy’ari dan Kiai Mahfudz Siddiq ditangkap penjajah Jepang. 
Buku Martin Van Bruinessen


1943
MIAI bubar dan NU turut menjadi bagian Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang berdiri kemudian. Pendirian Masyumi adalah sebuah bentuk politik kolaborasi dengan Jepang. KH Hasyim Asy’ari menjadi presiden Masyumi.  
Buku Martin Van Bruinessen


1944
Laskar Hizbullah terbentuk sebagai langkah politik lain kolaborasi dengan Jepang. Barisan tentara muslim sukarela ini mendapat pelatihan militer dari Jepang dan nantinya berperan penting menjaga kemerdekaan dalam masa bersiap menghadapi Agresi Militer Belanda II. 
Buku Martin Van Bruinessen


1945
KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 sebagai seruan perang suci mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Hal ini diiringi dengan pembentukan milisi santri NU bernama Sabilillah yang berperan penting dalam palagan 10 November di Surabaya.
Buku Martin Van Bruinessen


Masa Indonesia Serikat dan Demokrasi Terpimpin


1947-1948
NU menentang perjanjian Linggarjati dan perjanjian Renville yang masing-masing terjadi pada masa pemerintahan kabinet Syahrir dan Amir Syarifuddin. NU menilai kedua perjanjian tersebut hanya menguntungkan Belanda. Akibat penentangan ini, Masyumi terbelah menjadi kelompok pro dan anti Linggarjati. Kelompok pro Linggarjati di dalam Masyumi dari faksi Islam modernis yang tokohnya antara lain M. Natsir, Muhammad Roem, dan Syafrudin Prawiranegara. 
Buku Martin Van Bruinessen


1952
NU keluar dari Masyumi. Langkah ini sebagai bentuk kekecewaan terhadap faksi Islam modernis yang cenderung berusaha menyingkirkan NU. Misalnya pada Muktamar Masyumi IV yang menurunkan peranan posisi Dewan Syuro yang dijabat KH Hasyim Asy’ari dari pemimpin tertinggi menjadi sekadar penasihat. Keputusan ini diambil di Muktamar Palembang yang sekaligus mengubah NU dari organisasi keagamaan menjadi partai politik. 
Buku Martin Van Bruinessen


1953
Dalam Munas Alim Ulama di Cipanas, NU memberi Soekarno gelar wali al-amr ad-dharuri bi syaukah yang berarti pemegang kekuasaan de facto. Lewat gelar ini, NU mengakui Soekarno sebagai presiden Indonesia sekaligus pemimpin umat Islam. Martin Van Bruinessen menilai keputusan ini sebagian dari upaya NU merebut simpati Soekarno yang memang menjadi idola banyak elite nahdliyin saat itu. 
Buku Martin Van Bruinessen


1955
NU untuk pertama kalinya mengikuti pemilu sebagai partai. Dalam pemilu yang banyak disebut sebagai paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia ini, perolehan suara NU secara mengejutkan berada di posisi tiga teratas dengan 18,4% suara nasional, di bawah PNI (22,3%) dan Masyumi (20,9%). 
Buku Martin Van Bruinessen


1960
Muncul dua faksi di NU. Mayoritas elite NU menerima DPR Gotong Royong (DPR-GR) buatan Soekarno. Tercatat Zainul Arifin dan Idham Cholid pernah menjadi Ketua DPR-GR. Di sisi lain, dua elite NU, Dahlan dan Imron Rosjadi, membentuk Liga Demokrasi bersama PSI dan Masyumi. Soal dua faksi ini, banyak elite NU menyebutnya sebagai strategi untuk menjaga keseimbangan politik antara yang pro dan anti Soekarno. Alasan ini pula yang membuat NU menerima konsep NASAKOM Soekarno pada tahun 1960. Alasan yang bagi para pengkritik disebut sebagai langkah oportunis NU.
Buku Martin Van Bruinessen


1964-1965
Hubungan NU dengan PKI semakin dingin meskipun sama-sama menerima NASAKOM. Pergolakan akhirnya terjadi ketika PKI memutuskan menjalankan reforma agraria yang menciptakan benturan di bawah antara BTI dan para kiai NU di kampung-kampung. Setelah G30S terjadi, GP Ansor sebagai organisasi pemuda NU langsung berada di barisan depan memberangus PKI. NU pun menuntut pembubaran PKI.
Buku Martin Van Bruinessen


Masa Orde Baru


1971
Pada pemilu pertama Orde Baru, NU langsung menempatkan diri sebagai oposisi rezim. Subchan ZE, tokoh muda NU yang sedang melejit saat itu, menggalang perlawanan terhadap intimidasi yang dilakukan ABRI-Golkar di bawah komando Ali Murtopo menjelang pemilu kepada para nahdliyin. Golkar memang pada akhirnya menang dengan 60% suara, tapi suara NU juga meningkat dibanding pemilu 1955. Hasil ini menempatkan NU sebagai golongan Islam paling mencolok yang melawan Orde Baru.
Buku Martin Van Bruinessen


1973
NU melebur ke PPP bersama partai Islam lain sebagai akibat kebijakan fusi partai yang diterapkan Ali Murtopo. Melalui PPP, NU tetap konsisten bertentangan dengan Orde Baru, khususnya pada politik yang bersinggungan dengan keagamaan. Salah satunya ketika pembahasan UU Perkawinan di DPR. KH Bisri Syansuri sebagai Ketua Dewan Syuro PPP sekaligus Rais Aam PBNU mengeluarkan fatwa menentang UU tersebut karena beberapa pasalnya bertentangan dengan hukum Islam. PPP meskipun minoritas di DPR pada akhirnya berhasil mempengaruhi perubahan pasal-pasal yang merugikan umat Islam tersebut. 
Buku Martin Van Bruinessen


1977
KH Bisri Syansuri mengeluarkan fatwa umat Islam wajib memilih PPP. Hal ini sebagai buntut represi rezim terhadap para pendukung PPP untuk mempengaruhi hasil pemilu. Hasilnya, suara PPP bertambah dan meraih kemenangan besar atas Golkar di Jakarta dan Aceh. 
Buku Martin Van Bruinessen


1978
PPP melakukan walk out saat pembahasan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) di DPR atas perintah KH Bisri Syansuri. Keputusan ini karena beberapa hal di dalam GBHN dianggap bertentangan dengan nilai Islam, seperti anjuran indoktrinasi massal ideologi Pancasila. 
Buku Martin Van Bruinessen


1980
Anggota DPR PPP berlatar belakang NU walk out dari sidang DPR untuk menolak UU Pemilu yang tidak demokratis dan hanya menguntungkan Orde Baru. Sikap orang NU di PPP ini bertentangan dengan keputusan John Naro–orang dekat Ali Murtopo–sebagai Ketua Umum. Sejak saat ini pula terjadi eskalasi konflik di tubuh PPP antara NU dan faksi lain, khususnya dengan Parmusi. 

Pada tahun yang sama, Munas Alim Ulama NU di Yogyakarta menyatakan tak menghendaki Soeharto menjadi presiden lagi. Keputusan ini membuat rezim Orde Baru mulai “main pentung” dalam menghadapi NU. 
Buku Martin Van Bruinessen


1984
Muktamar ke-27 NU di Situbondo menghasilkan tiga keputusan penting. Pertama, NU keluar dari PPP. Langkah ini membuat suara PPP di pemilu setelahnya habis tergerus. Kedua, NU kembali ke khittah 1926 sebagai organisasi keagamaan Islam. Salah satu konsekuensinya, adalah kebebasan berpolitik di partai apapun bagi warga NU. Ketiga, NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Keputusan ini mempersempit ruang orde baru merepresi NU setelah sebelumnya Soeharto sempat mengancam menghukum NU karena terlalu vokal menentang rezimnya.
Buku Martin Van Bruinessen


Masa Reformasi


1998
Lima kiai NU–Abdurrahman Wahid, Ilyas Ruhiyat, Munasir Ali, Mustofa Bisri, dan A Muchit Muzadi–mendeklarasikan berdirinya PKB untuk mengakomodasi suara politik warga NU setelah keputusan kembali ke khittah 1926.  


1999
NU dan PKB berhasil memanfaatkan koalisi poros tengah bentukan Amien Rais untuk menjadikan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Indonesia.


2001
Abdurrahman Wahid dilengserkan dari jabatan presiden. 


2004
Tokoh-tokoh NU maju dalam pilpres. Salah satunya Jusuf Kalla yang kemudian terpilih sebagai wakil presiden mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono.


2019
Rais Aam PBNU KH Ma’ruf Amin terpilih menjadi wakil presiden mendampingi Joko Widodo. Jabatan Rais Aam kemudian digantikan KH Miftahul Akhyar.  

NU dengan pengalaman politik panjangnya dan jumlah massanya yang besar telah menjadi magnet politik dari pemilu ke pemilu, terutama dalam era pemilihan langsung pasca reformasi. Ini membuat figur-figur politik terus berebut simpati dan suara NU. Tak terkecuali menjelang pemilu 2024 ini. Hal ini terlihat dari nama-nama seperti Ganjar Pranowo dan Erick Thohir yang sedang giat menampilkan kedekatan dengan NU. Mereka selalu muncul dalam acara-acara NU. Bahkan, Erick Thohir rela mengikuti kaderisasi GP Ansor dan Banser NU sampai menjadi ketua panitia rangkaian perayaan Satu Abad NU. 

Upaya para figur politik mendekati NU setiap menjelang pemilu itu pula, seolah membuktikan anekdot yang selama ini berkembang di kalangan nahdliyin bahwa “semua akan NU pada waktunya.”