Sejarah Mobil Indonesia dari Masa ke Masa: Part 2, Awal Mula Era Bisnis Mobil

Judul: “Lintas Mobil Indonesia: Chapter 1”

Title artikel di CMS: “Sejarah Mobil Indonesia dari Masa ke Masa: Part 2, Awal Mula Era Bisnis Mobil”
Judul: “Sejarah Mobil Indonesia dari Masa ke Masa”
Subjudul: “Part 2, Awal Mula Era Bisnis Mobil”

TLDR;
John C Potter memulai bisnis impor mobil di Indonesia lebih dari seabad yang lalu, menginspirasi banyak pemodal untuk mengikuti jejaknya
H O’Horne membuka showroom mobil pertama di Semarang pada tahun 1899, memulai debutnya dengan mengimpor dan menjual De Dion-Bouton
Pasar Gambir di Jakarta memamerkan teknologi kendaraan terbaru pada awal 1900-an, termasuk mobil Spijker Double 1906 yang memperkenalkan penggerak roda baru dan rem pada empat roda, meningkatkan minat publik terhadap mobil
Geliat bisnis mobil di Indonesia menemui pasang surutnya hingga Era Reformasi


Hijau Quote, Biru Image

Ladang Bisnis Era Awal

Kisah-kisah di atas menjelaskan catatan penting bahwa kendaraan telah hadir di Indonesia lebih dari seabad silam. Nama John C Potter sebagai importir melejit terkenal. Kesuksesan itu dianggap sebagai prestasi luar biasa oleh golongan menengah-atas yang ngiler pada produk serupa. John C Potter diibaratkan magnet yang menarik minat pemilik modal untuk terjun ke bisnis yang sama, pula pada masa itu banyak orang kaya yang tinggal di Pulau Jawa. Hal ini mengundang orang-orang Eropa untuk berbisnis di Jawa, salah satunya adalah H O’Horne, seorang pria peranakan Irlanda-Prancis, yang mulanya berbisnis minuman, namun ia melihat mudahnya Potter berbisnis mobil. Ia belajar dari Potter, serta menggandeng perusahaan dagang NV Velodrome untuk memperluas bisnisnya.

Terbukti endusan bisnis O’Horne tidak meleset, ia debut sebagai importir mobil pada tahun 1899 dengan mengimpor De Dion-Bouton. O’Horne mengenalkan mobil roda tiga di ruang pamer miliknya yang didirikan di Semarang. Tak hanya berjualan, ia juga menyewakan untuk kalangan swasta. Ruang pamer itu tercatat sebagai showroom pertama di kota itu, disusul setahun kemudian yaitu pada tahun 1900, dibukanya ruang pamer Prottel & Co, yang menjadi importir mobil merk Benz yang memamerkan mobil yang dibeli Sunan Solo.


Gambar Spijker Double 1906
Tulisan: Spijker Double 1906

Bisnis jual beli mobil pada tahun itu mulai menyolek kaum atas, dan mobil yang dipamerkan pada pameran mobil pun mulai beragam. Di Jakarta, pada tahun 1902 hingga 1906, setidaknya ada perayaan tahunan bernama Pasar Gambir yang memamerkan mobil-mobil baru. Pameran itu menjadi kesempatan besar untuk memamerkan teknologi kendaraan-kendaraan, khususnya mobil baru, yang salah satunya terdapat Spijker Double 1906. Mobil ini memiliki teknologi penggerak roda yang baru, yaitu menggunakan gardan ketimbang rantai. Jelas, pembaruan ini menghilangkan suara-suara bising, sebut saja salah satu contohnya, bunyi rantai kendor atau bahkan putus.

Mobil dengan 6 silinder dan rem pada 4 rodanya ini melejit popularitasnya. Jan Spijker pun ter-undang untuk melihat sendiri keadaan di Pulau Jawa. Kedatangannya itu lalu dimanfaatkan untuk meresmikan usahanya di bawah bendera NV Velodrome. Mobil Spijker semakin merajalela. Pada 1915, Spijker mengadakan pameran mobil tunggal di Surabaya. Seluruh jenis produknya dipamerkan. Di tempat lain, RAI menyelenggarakan pameran sekaligus untuk memperkenalkan Indonesia pada dunia. Indonesia mengirim Benz Patent 1894 milik Sunan Solo sebagai pesertanya, walau sayangnya seusai pameran tersebut, mobil itu tak pulang kembali ke rumah Pakubuwono X, malah tersimpan di sebuah museum di Belanda, hingga hari ini seharusnya.

Era Bisnis Modern

Era ini dimulai dengan komitmen General Motors (GM) yang ingin membuka industrinya di Indonesia di 1927 setelah merasakan geliat kebutuhan yang meningkat. Pabrik GM yang berlokasi di daerah Tj. Priok, Jakarta Utara, menjadi pabrik mobil pertama di Indonesia. Pembukaan pabrik ini sekaligus menendang tinggi penjualan Chevrolet. Tak hanya di Jakarta, GM juga babat alas urusan pabrik mobil, terbentang dari Sumatera hingga Jawa. Misalnya di Yogya, cabang GM beroperasi di area Malioboro, yang dimiliki oleh RP Soenaryo Gondokoesoemo, yang tak bisa dilepaskan dari sejarah balap rally Indonesia, beliau adalah kakek dari Rifat Sungkar, pereli handal kelahiran Jakarta.

Gambar foto Hasjim Ning
Tulisan: Haji Masagus Nur Muhammad Hasjim, atau Hasjim Ning

Produk yang dihasilkan GM Malioboro itu adalah Chevy, Pontiac, Cadillac, dan Buick. Dalam sepekan, setidaknya ada 1 sampai 2-unit Chevrolet atau Pontiac dapat terjual. Khusus Cadillac dan Buick, Gondokoesoemo mengimpor secara langsung dari Amerika.

Disusul PT Indonesian Service Company (ISC), pabrik mobil kedua dibuka di Jalan Lodan, Jakarta Utara. Pabrik yang memproduksi Dodge dan Ford ini turut dikurasi oleh Menteri Perhubungan pada saat itu dan Mawira alias Tan Guan Po pada tahun 1951. Seakan berangkat dari kalimat Mesranya Kecil-Kecilan dulu, pada era 1950 hingga 1970-an, Haji Masagus Nur Muhammad Hasjim, eksekutif ISC, yang akrab dipanggil Hasjim Ning mengambil alih ISC, dan hampir menguasai seluruh merek mobil yang beredar di Indonesia. Selain Ford dan Dodge, Hasjim Ning juga menjadi agen Chrysler, Jeep, Mazda, dan Fiat.

Gambar foto Ford Model A 1928
Tulisan: Ford Model A 1928, Soesoe Tjap Bendera

Potensi pasar turut mengajak Suwarna, pengusaha asal Bandung, untuk mendirikan pabrik mobil yang dinamai Marwa Motors pada 1958. Marwa Motors berfokus pada produksi bus mikro, sekaligus menjadi pionir perakitan dan pemasaran Mercedes-Benz di Indonesia. Disusul oleh berdirinya PT Udatin, garapan Fritz H Eman, Kurwet Kartaadiredja, dan Ibnu Taji, yang memulai bisnisnya dengan mengimpor Borg Ward dari Jerman, dan pada 1960-an mengimpor Holden dari Australia serta membangun pabrik di Surabaya.

Pada perjalanannya, Kurwet dan Ibnu Taji mendirikan Immer Motor. Hal ini adalah salah satu bukti mesranya hubungan Indonesia dan Eropa Timur, yang dibuktikan dengan masuknya sedan-sedan dari sana. Sayangnya, perubahan cepat angin politik pada masa itu membawa terbang Immer Motor sehingga perlahan menghilang.


Gambar Daihatsu Taft
Tulisan: Daihatsu Taft

Tak gentar akan keadaan yang ada, beberapa pengusaha lainnya tetap mencoba peruntungan baru pada bisnis ini. Salah satunya adalah William Suryadjaja yang mendirikan kelompok Astra (Toyota dan Daihatsu, dilanjut dengan kedatangan Peugeot, Renault, Nissan Diesel Truck, BMW, Alfa Romeo, lalu Isuzu). Produk pertama yang diproduksi dan dipasarkan Astra dan pemerintah adalah truk Chevrolet dan Daihatsu, setelah mengawali bisnisnya dengan menyuntik dana dalam bentuk saham di Pabrik Gaja Motor yang berubah menggunakan ejaan baru menjadi Gaya Motor dan saat itu telah diakuisisi pemerintah.

Melihat jalanan yang dirasa akan lebih ramai jika Mitsubishi masuk, Sjarnoebi Said pada awal 1970-an mendirikan kelompok bisnis “Krama Yudha Tiga Berlian Motors” sebagai agen sekaligus produsen Mitsubishi. Maratua Panggabean yang juga salah satu pengusaha di era ini, memiliki PT Piola, yang memasarkan Volkswagen dari Jerman, 1 dekade kemudian keagenannya diambil oleh pemerintah melalui PT Garuda Mataram Motor.

Selain Sjarnoebi dan Maratua, keluarga Affan bersaudara juga mendirikan PT Indokaya dan menjadikannya sebagai agen Datsun dan Nissan di Indonesia. Perusahaan ini menjadi satu-satunya perusahaan mobil yang menjadi pesaing berat Toyota yang dipasarkan Astra.

Masih di era yang sama, Soedono Salim atau Lim Sioe Liong mendirikan agen Volvo dan Suzuki, tepatnya pada tahun 1974, dengan bendera kelompok Indomobil. Bisnisnya kemudian berkembang berhasil dengan memproduksi Suzuki. Kuatnya bisnis mereka dibuktikan dengan melebarnya usaha dengan mengambil alih keagenan Datsun, Nissan, dan Volkswagen. Tak hanya itu, hingga awal Masa Reformasi, kelompok Indomobil juga mengageni Mazda, Audi, dan Renault.

Geliat bisnis mobil di Indonesia tak selalu mulus di mata pengusahanya. Gempuran kebijakan pemerintah Indonesia yang selalu diperbarui sejak tahun 1969 sedikit banyak mengatur iklim bisnis ini. Contohnya pengaturan regulasi merakit kendaraan CKD (Completely Knocked Down) atau mobil yang lengkap komponennya tapi belum dirakit alias peretelan, urusan pembebasan pajak untuk kendaraan niaga, pengaturan pajak bea impor masuk CBU (Completely Built Up) atau kendaraan jadi yang sudah dirakit sebesar 100% yang pajaknya disamakan dengan CKD Sedan.

Terdengar biasa saja, tapi pada prosesnya, untuk mendukung program industri, tahun 1976 keluar Program Penanggalan. Komponen tertentu dicopot dan diganti dengan komponen lokal sesuai dengan SK 307 tahun 1976 oleh Menteri Perindustrian, M Jusuf. Pula penanggalan ini terkait dengan perhitungan pajak bea masuk. Disusul pada tahun 1978 keluar Program Penalti yang mana berarti bila sampai jumlah tertentu belum bisa dipenuhi, maka perusahaan tersebut kena penalti berupa kenaikan pajak.

Tak hanya hal-hal di atas tadi, proses verifikasi yang menerapkan sistem album juga dinilai memperlambat, karna semua komponen harus difoto di Bea Cukai untuk diperiksa, sedangkan jumlah fotonya sangat banyak. Program yang menghambat laju bisnis ini dihentikan tahun 1983.


Gambar Toyota Kijang di depan Istana Negara
Tulisan: Toyota Kijang diperkenalkan di Istana Negara

Pemerintah tetap ingin menggenjot pemakaian komponen lokal. Bahkan terus dipacu dengan memberikan insentif berupa keringanan pajak bagi industri yang bisa melokalkan komponen dengan local content yang tinggi. Hal ini berbuah manis, contohnya lahirlah produk lokal Indonesia seperti Toyota Kijang, Mitsubishi Colt, dan Suzuki Carry yang setidaknya kita pernah naiki. Atau produk-produk yang sudah tidak berlanjut, seperti Datsun Sena, VW Mitra, Morina, dan Dodge Sembrani. Seiring berjalan waktu, mobil Amerika dan Eropa tidak begitu mementingkan program pemerintah ini, dan seperti yang bisa kita lihat sampai hari ini, produk Jepang lebih menguasai pasar.

Ekonomi negara terus bertumbuh khususnya pada bisnis ini, dapat dilihat dari larangan pemerintah pada industri, untuk tidak memproduksi body sendiri, dan mengharuskan body digarap oleh industri karoseri sebagai upaya menumbuhkan industri dan tenaga kerja. Menjamurlah industri karoseri dari Jakarta hingga Surabaya, jumlahnya mencapai ratusan.

Pasar mobil berkembang pesat, hingga tahun 1980, terdapat 50 merek mobil dengan 150 tipe. Menjadikan terjadinya seleksi alami pada industri ini, baik brand, maupun tipe kendaraan. Tidak semua merek bisa menjadi industri. Terseleksi dan terpisahkan mana yang bisa jadi industri, mana yang cukup berdagang saja atau menjadi importir dan distributor saja. Saat itu diperkirakan ada empat sampai enam merek yang dapat didorong menjadi industri, diantaranya ada Mitsubishi, Toyota, Daihatsu, dan Suzuki.

Karena tidak ingin bergantung pada Jepang, pemerintah dan para pengusaha membuat kesepakatan non-Jepang. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Mercedes-Benz yang memiliki perakitan sendiri di Tanjung Priok.

Gambar Timor S515i
Tulisan: Timor S515i

Pada tahun 1996, pemerintah mengeluarkan Program Mobil Nasional, yang mengizinkan PT Timor Putra Nasional mengembangkan industrinya. Pemerintah memberikan kelegaan berupa pembebasan pajak bea masuk dengan syarat mengembangkan kandungan lokal secara bertahap dalam waktu 3 tahun, yakni 20%, 40%, dan 60% konten lokal.

Nahas, syarat tersebut tak dapat dipenuhi, Program Mobil Nasional pun pada tahun 1998 dibekukan dan disusul dengan pembukaan keran impor atas sanksi kasus Timor di WTO (World Trade Organization). Sejak saat itu mobil boleh diimpor secara bebas oleh importir umum. 

***

Rasanya gak afdol kalau tidak membahas detail tentang proyek Program Mobil Nasional. Terlebih karena gagasan besar ini, membuat mobil lokal, sudah terngiang sejak pemerintah mengeluarkan aturan agen tunggal pada 1969. Tapi tenang, kita akan bahas di artikel berikutnya. Sampai jumpa minggu depan!