Fakta seru hari ini: tahukah kamu kalau paspor adalah penemuan modern? Meski begitu konsep awal paspor sebenarnya sudah ada dari tahun 450 SM. Dikisahkan Nehemia, juru minuman Raja Persia Artaxerxes, diberi surat kerajaan yang menjamin keselamatannya selama perjalanan ke Yehuda. Sang nabi diutus ke sana untuk membangun kembali tembok Yerusalem.
Dokumen serupa juga ditemukan diDinasti Han pada 206 SM. Para pelancong diwajibkan memiliki surat perjalanan yang berisi identifikasi diri mereka–dari nama, umur, tinggi badan, hingga fitur wajah dan tubuh lainnya. Mereka akan diminta untuk menunjukkan surat ini di tiap titik pemeriksaan.
Praktek ini terus berlanjut hingga awal abad ke-5 di jazirah Arab. Para peziarah kristen dan yahudi yang mau berkunjung ke Yerusalem harus meminta amān dengan membayar jizya ke pemimpin muslim. Warga muslim juga diwajibkan untuk membayar zakat sebelum bisa memasuki daerah lain.
Hal serupa juga dilakukan di Eropa, tepatnya di abad ke-13. Pemberian surat ini diatur dalam statuta tahun 1414 dan diurus langsung oleh Raja Henry V dari Inggris. Untuk mendapatkan surat ini, rakyat Inggris harus membayar sedangkan rakyat non-Inggris bisa mendapatkannya dengan gratis. Walau begitu, paspor bukanlah suatu hal yang wajib untuk dimiliki.
Seiring berjalannya waktu, paspor diisukan oleh Dewan Penasihat. Di sinilah nama “paspor” mulai muncul–usut punya usut, etimologinya berdasarkan dari “pass” (untuk lewat) dan “port” (pelabuhan). Baru pada 1794 pengurusan paspor diserahkan ke Kementerian Luar Negeri. Namun pada masa ini pun, warga negara asing masih bisa mendapatkan paspor Inggris.
Praktek ini baru berhenti pada 1858 karena paspor menjadi dokumen resmi khusus warga negara Inggris. Perubahan status ini berhubungan dengan semakin maraknya perjalanan di kontinen Eropa dan Amerika. Hal ini diakibatkan oleh banyaknya imigran yang keluar-masuk berbagai negara dan terus naik tiap tahunnya. Akibatnya, Prancis menghilangkan syarat paspor pada 1861 yang juga diikuti oleh negara-negara lain.
Namun hal ini berubah ketika Perang Dunia I meletus. Prancis, Jerman, dan Italia yang sedang berperang mewajibkan paspor sebagai upaya untuk menghalangi masuknya mata-mata dari negara musuh. Aturan ini juga diikuti oleh negara netral seperti Spanyol, Denmark, dan Swiss.
Walau begitu, ada harapan bahwa aturan paspor ini hanya bersifat sementara. Liga Bangsa-Bangsa di Perjanjian Versailles pada 1919< mewajibkan para negara anggota untuk “melindungi dan menjaga kebebasan komunikasi dan perjalanan”. Dengan kata lain, Liga Bangsa-Bangsa menstandarisasi paspor sebagai dokumen resmi untuk masuk negara asing.
Meski begitu, Liga Bangsa-Bangsa berharap peraturan paspor ini hanya berlaku untuk sementara. Keberadaan paspor dianggap sebagai penghalang serius relasi diplomasi dan ekonomi antar negara, seperti yang dikemukakan di Konferensi Paris pada 1920. Namun karena alasan keamanan, dicarilah jalan tengah yaitu paspor berlaku selama dua tahun, mencabut visa keluar, dan mengurangi bea visa masuk.
Seruan untuk menghilangkan paspor terus diungkapkan di pertemuan Liga Bangsa-Bangsa, tapi aturan ini tak kunjung dicabut. Beberapa negara mulai menganggap paspor sebagai dokumen penting yang bisa memberikan perlindungan bagi pekerja asing.
Aturan yang mewajibkan paspor secara tak langsung melahirkan hukum yang rasis Amerika Serikat mengeluarkan UU Kuota Darurat tahun 1921 lalu UU Imigrasi tahun 1924 yang membatasi lalu lintas imigran. Aturan ini diberlakukan karena pemerintah menganggap ada terlalu banyak pendatang yang bisa mengancam “hegemoni Amerika Serikat yang ideal”.
Tak hanya itu, aturan tersebut juga membuat perempuan tidak bisa mendapatkan paspor mereka sendiri. Untuk bisa bepergian keluar negeri, mereka harus didampingi suami. Peraturan ini baru dicabut pada 1937 oleh Ruth Shipley yang kemudian terkenal sebagai kepala biro imigrasi yang sering menolak pengajuan paspor orang-orang yang diduga komunis di masa Perang Dingin.
Sekarang paspor menjadi suatu hal yang lumrah sebagai salah satu dokumen penting yang harus dimiliki. Namun melihat sejarahnya serta melihat hierarki paspor di masa sekarang, bisa dibilang paspor masih menjadi lahan kontestasi kekuatan ekonomi-politik yang serius. Hal ini melahirkan pertanyaan baru: akankah aturan ini terus diberlakukan atau malah berubah?