Seksualisasi pada Idol Bawah Umur: Sebuah #HororTanpaSetan

Seksualisasi pada Idol Bawah Umur: Sebuah #HororTanpaSetan

“Cinta itu kan selalu immoral.”
-Benang Sari, Putik, dan Kupu-Kupu Malam, JKT48  

Lagu beserta video klip terbaru JKT48, Benang Sari, Putik, dan Kupu-Kupu Malam baru saja diluncurkan. Video klip lagu ini sempat trending nomor satu di YouTube. Videonya bertemakan Timur Tengah dan ala-ala Belly Dance, sementara liriknya membawakan tema dewasa. Lagu dan video klip JKT48 ini menuai pro dan kontra dari banyak orang. Sebagian dibuat jijik dengan konsep yang vulgar, sebagian lagi dibuat antusias karena JKT48 memasuki new era, dari girl menjadi women. Ada juga orang yang menyarankan agar video itu di-take down.

Memang, seberapa bermasalah video klip JKT48 ini?

Seksualisasi Anak di Bawah Umur

Video klip itu menampilkan Marsha Lenathea (17), Mutiara Azzahra (18), Kathrina Irene (16), Adzana Shaliha (18), dan Freya Jayawardhana (17). Batas usia dewasa di Indonesia adalah delapan belas tahun, artinya, tiga dari mereka tergolong masih di bawah umur. 

Masalah umur itu mengarahkan tuduhan ke agensi JKT48, di mana si agensi mempromosikan sexualize of children atau seksualisasi anak yaitu sebuah situasi di mana anak-anak terpapar atau dipengaruhi oleh hal-hal yang berhubungan dengan seksualitas atau perilaku seksual yang tidak sesuai untuk usia mereka atau mereka ditempatkan sebagai objek seksual.

Dengan usia yang belum legal secara hukum, anggota JKT48 dihadapkan dengan dunia industri yang tak ramah untuk usia mereka. Tak jarang, member-member underage diberi lagu bertemakan percintaan orang dewasa. Lagu Benang Sari, Putik, dan Kupu-Kupu Malam sendiri memang menampilkan ungkapan-ungkapan ambigu.

“Bibir yang mulai mendekat. Tidak boleh (Ah, boleh lah). Jangan ah (Ih, lucunya). Kita telah melewati batasnya dan saling mencinta.”

Bahkan kalimat “bibir yang mendekat” mungkin sudah tak bisa dibilang ambigu lagi, karena menggambarkan suatu aktivitas yang mengarah ke ranah seksual. Ironisnya, lagu itu juga memuat lirik:

    “Aku tak biasa punya rahasia. Nanti pasti 'kan dimarahi Mama”

Takut dimarahi Mama? Ungkapan ini identik untuk seorang anak kecil. Berarti, bukankah disadari bahwa JKT48 memang anak-anak? Kalau sudah dewasa, kenapa mesti takut dimarahi Mama?

Dalam Behind The Scenes video klip ini, bahkan Freya sendiri mengatakan merasa canggung dan malu dilihat banyak orang. Mereka sendiri juga mengakui bahwa lagu ini adalah lagu yang menggoda dan memiliki konsep dewasa. 

Ditambah dengan adegan video klip yang menayangkan beberapa anggota JKT48 tampak berciuman, lalu penggunaan atribut orang dewasa dan tarian-tarian bernuansa erotis mungkin menambah indikasi seksualisasi pada anak. Belum lagi komentar-komentar pro―pada konsep baru ini―dari fans JKT48 yang didominasi oleh laki-laki dewasa, semakin memperparah fenomena seksualisasi pada anak.

Data Usia Fans JKT48

Sumber: Mamen

Data Jenis Kelamin Fans JKT48

    
Sumber: Mamen

Maraknya Seksualisasi Anak dalam Budaya Pop

Masifnya perkembangan media sosial dan budaya pop akhirnya melahirkan idola-idola baru. Tak jarang, anak-anak di bawah umur bermunculan sebagai wajah baru itu. JKT48 bukanlah satu-satunya. Teman yang senasib dengan JKT48 juga ada. New Jeans misalnya. Member New Jeans yang tertua berusia delapan belas tahun, sedangkan yang termuda berusia empat belas tahun. Meski kehadiran mereka disebut “menyegarkan”, debut New Jeans juga menuai kritik. Terlebih ketika lagu “Cookie” rilis dan dianggap berkonotasi seksual.

Tak hanya anak-anak perempuan, anak-anak laki-laki juga tak luput dari seksualisasi dan eksploitasi industri ini. Misalnya, Seungri (Big Bang) dan Jungkook (BTS) yang dulunya debut di usia lima belas tahun. Yang lebih muda lagi, ada Taemin (SHINee) yang debut di usia empat belas tahun.

Industri K-pop semakin gencar mendebutkan idola-idola di bawah umur. Alasannya, idola muda juga dilihat sebagai sebuah pondasi industri K-pop, mereka dinilai lebih mampu menarik penggemar dan menciptakan konsumen yang loyal. Idola muda lebih mudah mendatangkan penggemar karena dilihat seperti teman sebaya oleh penggemar yang sebaya, yang berimplikasi pada terciptanya kedekatan secara tak langsung. Mereka juga selalu ditampilkan dengan nuansa ceria, energik, dan berjiwa muda.

Memang, target pasar K-pop sendiri sebenarnya adalah anak-anak muda, tapi tak jarang om-om dan tante-tante berusia dua puluh lima ke atas turut mengidolakan anak-anak muda ini. Objektifikasi pun menjadi semakin tak bisa dihindari, buktinya, sederet fanfiction dengan cerita vulgar bermunculan, tokoh-tokohnya diberi nama sesuai nama idol-idol K-pop.

Tak hanya industri musik, seksualisasi pada anak juga marak pada industri fashion. Foto-foto Paris Vogue misalnya, menggambarkan anak-anak perempuan sebagai femme fatales atau perempuan yang menggoda dengan dandanan tebal. Tak boleh di-skip juga, kasus Balenciaga yang menampilkan model anak kecil bersama boneka beruang dengan aksesori yang berbau BDSM turut mempromosikan seksualisasi pada anak.

Bagi orang waras, masalahnya bukan moral–baik atau buruk, benar atau salah, tetapi juga berkaitan dengan ‘idola’ itu sendiri. Sebagai penonton, kita hanya bisa menyaksikan mereka lewat layar kaca, paling banter mendatangi konser mereka, hal itu seakan-akan membangun kesan bahwa idol bukanlah manusia. Idol adalah sesuatu yang terpisah dari masyarakat umum, sesuatu yang tugasnya cuma menghibur, dan karenanya mudah saja bagi penonton untuk melupakan fakta super penting bahwa idol adalah manusia.

Akibat jarak itu pula, penonton bisa dengan ringan mem-bully, melecehkan secara verbal, bahkan mempermalukan si idol seolah tak ada kaitan emosional dan simpati dari penonton dan idol, sekarang bayangkan jika idol ini masih di bawah umur.

Idola-idola underage ini bisa mengalami dampak yang serius pada perkembangan psikologis dan emosional mereka. Mereka jadi lebih rentan terhadap depresi, kecemasan, dan kesulitan untuk menyesuaikan diri secara sosial. Padatnya jadwal manggung, sesi pemotretan dan tuntutan agensi membuat mereka menjadi remaja yang kehilangan masa-masa pembentukan identitas. Tak bisa juga memilah apa yang mereka inginkan dan yang bukan, karena semua diatur oleh orang dewasa melalui embel-embel trainee.

Lebih lanjut, mereka juga dapat mengembangkan sikap yang tak sehat terhadap seksualitas dan menjadi lebih rentan terhadap pelecehan seksual. Akibat yang lebih fatal―terutama sering terjadi pada anak perempuan―adalah anak akan belajar memandang diri mereka sendiri sebagai objek seks, atau bahkan kecemasan mereka semakin menjadi-jadi ketika mereka gagal memenuhi standar kecantikan yang populer.

Pikiran tentang Om-om yang tergila-gila pada anak-anak ini bikin saya merinding. Rasanya seperti nonton film horor di mana plot twist-nya justru penontonnya adalah penjahatnya. Saya, kamu, kita semua yang membiarkan fenomena ini jadi sesuatu yang normal.