Keputusan untuk childfree bukanlah hal yang baru, terutama di negara-negara maju. Fenomena childfree semakin populer di kalangan anak muda di Indonesia, yang memutuskan untuk tidak memiliki anak. Sayangnya, fenomena ini masih dipandang kontroversial dan sering kali dianggap sebagai upaya mengikuti gaya hidup Barat atau menghilangkan nilai-nilai budaya ketimuran. Namun, fenomena childfree sebenarnya adalah pilihan pribadi yang berakar dari realitas sosial saat ini.
Dalam masyarakat kita, tubuh perempuan sering kali bukan milik mereka sendiri. Mulai dari orang tua, masyarakat, hingga suami, semua memiliki pendapat tentang bagaimana perempuan harus menjalani hidup mereka, termasuk dalam hal memiliki anak. Konstruksi gender tradisional seringkali menempatkan perempuan sebagai "mesin reproduksi," di mana peran mereka baru diakui secara penuh jika mereka memiliki anak.
Pilihan untuk childfree muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap kontrol sosial dan tekanan untuk memiliki anak. Banyak perempuan yang merasa bahwa mereka tidak memiliki kontrol penuh atas tubuh dan keputusan hidup mereka, sehingga memilih childfree adalah cara untuk merebut kembali kendali atas hidup mereka.
Banyak yang berpendapat bahwa memilih childfree dapat menyebabkan kesepian di masa tua. Namun, pendukung childfree melihatnya dari perspektif yang berbeda. Kesepian bukanlah masalah besar karena mereka masih bisa menikmati waktu bersama teman dan keluarga. Selain itu, banyak aktivitas seru yang bisa dilakukan tanpa harus merawat anak. Bahkan, beberapa memilih untuk menyiapkan tabungan untuk pensiun di panti jompo fancy bersama teman-teman mereka.
Keputusan untuk menikah tanpa anak seharusnya dihormati sama seperti keputusan untuk memiliki anak. Fenomena childfree bukanlah ancaman terhadap nilai-nilai tradisional, melainkan pilihan hidup yang sah dan berhak dihargai. Di tengah pro-kontra yang ada, penting bagi masyarakat untuk mulai menerima bahwa memilih untuk tidak memiliki anak adalah keputusan yang sah dan sepenuhnya personal.