Self-Healing, Self-Care, dan Me-Time

Bukan Twitter namanya jika tidak ada keributan. Beberapa waktu lalu, linimasa diramaikan dengan isu self-healing alias pemulihan diri. Pemicunya konten menfess yang mengeluhkan “kuliah itu seburuk itu untuk mental health” (sic). Si penulis konten tak bisa lagi chat dengan bestie atau nonton Netflix dan tak tahan dengan banyaknya tugas. Ia kemudian bertanya, bagaimana caranya orangtuanya untuk mengambil cuti kuliah satu semester untuk “self-healing”. 

 

Responnya terbelah dua. Banyak yang meledek pengirim sebagai individu yang lemah, tak tahu diuntung, dan manja. Ada juga yang memberikan saran seperti pengaturan waktu yang lebih baik atau cari bantuan ke profesional. Beberapa profesional kesehatan mental ikut merespons menfess tersebut, menyatakan self-healing yang benar seharusnya menghadapi ketidaknyamanan.

 

Namun, unggahan ini juga membuka percakapan yang lebih dalam soal self-healing: kenapa self-healing ramai dibicarakan di media sosial dan kenapa persepsi publik tentangnya bisa terdistorsi sejauh ini?

 

Menyembuhkan diri: hadapi atau hindari masalah?

 

Penelusuran Socindex tentang kata self-healing menunjukkan kata ini pertama kali digunakan oleh @prkdlx, sebuah akun Twitter dengan pengikut 102 ribu orang. Cuitan ini bisa memberikan kita gambaran awal tentang apa itu self-care di mata anak muda. Lebih menariknya lagi, kata self-healing menyebar dari Twitter ke Tiktok dan Instagram di pertengahan tahun 2021.

Namun, cuitan tersebut juga mengindikasikan bahwa makna kegiatan ini bergantung kepada siapa kamu bertanya. Secara umum artikel-artikel self-help memaknainya sebagai cara pemulihan diri atau proses penyembuhan luka batin yang mengganggu

 

Beberapa tahun lalu, kegiatan-kegiatan tadi lebih sering disebut sebagai refreshing alias cara untuk melepas penat sebelum balik beraktivitas. Refreshing juga dilakukan untuk menghindari burnout, alih-alih pemulihan batin seperti sekarang.

 

Bahkan sebelum disebut sebagai kegiatan self-healing, pengguna media sosial sudah akrab dengan istilah me-time, self-reward, dan self-care. Meskipun istilahnya berbeda, orang-orang menganggap semuanya punya tujuan yang sama: memfokuskan waktu untuk merawat diri sendiri agar tetap sehat. Tak mengejutkan apabila aktivitas-aktivitas yang dulunya masuk ke aktivitas me-time, self-reward, dan self-care kini bisa masuk ke self-healing. 

 

Lalu, bagaimana makna dan istilahnya bisa bergeser? Ada beberapa kemungkinan yang bisa ditelusuri. Kemungkinan pertama, naiknya kesadaran di kalangan anak muda dan masifnya penyebaran konten seputar kesehatan jiwa di media sosial. Kenaikan kesadaran ini kemungkinan didorong oleh semakin banyaknya remaja dan dewasa muda yang mengalami gejala gangguan kecemasan dan depresi.

 

Hal ini diperburuk dengan fakta banyak dari mereka yang tidak bisa mengakses bantuan profesional. Satu-satunya akses adalah konten-konten kesehatan mental di internet. Sayangnya, konten-konten ini tak jarang menyederhanakan permasalahan kesehatan mental atau tidak ditulis dan diulas oleh nakes. Seperti banyaknya hal yang muncul di media sosial, maknanya menjadi kabur atau bahkan meleset dari maksud aslinya.

 

Kemungkinan lainnya, mereka merasa istilah-istilah sebelumnya seperti me-time, self-reward, dan self-care tidak lagi menggambarkan apa yang mereka butuhkan dan rasakan. Kita berada di masa ketika kita terus ditekan tapi tak berdaya untuk menyembuhkan luka, apalagi mengubah nasib. Di sinilah narasi self-healing masuk: sebagai kegiatan yang bisa mengalihkan perhatian tapi juga masih terdengar “menyembuhkan”.

 

Untuk memperjelas fenomena ini, saya menghubungi Benny Prawira Siauw, periset psikologi yang fokus ke mindfulness. Menurutnya, psikologi tidak mengenal istilah self-healing, tapi recovery atau coping stress. Bentuk coping pun terdiri dari dua, yaitu bentuk coping adaptif (seperti olahraga, meditasi, menggambar, dll.) atau maladaptif (menggunakan zat adiktif, perilaku adiktif ke suatu objek).

 

Walau sering dianggap sama, self-care berbeda dengan self-healing atau recovery. Self-care bermula pada 1960an sebagai cara bagi kalangan lansia dan penderita gangguan jiwa untuk membangun kebiasaan sehat dengan pengawasan nakes. Istilah ini kemudian menjadi aktivitas yang penting di kelompok feminis dan kelompok perjuangan hak sipil di tahun 1980an. Audre Lorde, aktivis dan feminis kulit hitam, menggambarkan self-care sebagai cara radikal bagi perempuan kulit hitam dan minoritas lainnya untuk terus memperjuangkan hak mereka sekaligus merawat diri. 

 

Self-care sendiri bisa dilakukan kapan saja, baik di kala sedih maupun senang. WHO mendefinisikan self-care sebagai kemampuan seseorang untuk merawat tubuh, baik ketika sehat maupun sakit, dengan atau tanpa nakes. Berbeda dengan self-healing yang punya makna dan kisah berbeda buat setiap orang, self-care sebetulnya punya tujuh pilar penting:

 

  1. Pengetahuan akan kesehatan
  2. Kesejahteraan mental, kesadaran diri, dan agensi terhadap diri sendiri
  3. Aktivitas fisik
  4. Makan makanan sehat
  5. Menghindari atau mengurangi hal-hal yang buruk untuk kesehatan
  6. Menjaga kebersihan
  7. Penggunaan produk atau jasa secara rasional 

 

Benny mengatakan ada banyak kegiatan yang secara empiris meningkatkan kesejahteraan emosional. Beberapa aktivitas yang melibatkan aspek sosial dan fisik seperti bersepeda, makan di luar, jalan kaki, dan berkebun terbukti secara empiris bisa menjaga kesehatan mental. 

 

Namun Benny mewanti-wanti bahwa tidak semua kegiatan yang menyenangkan bisa disebut sebagai self-healing. Ia juga mengkritik narasi dan promosi aktivitas self-healing yang sering muncul di media sosial. Permasalahan pertama, aktivitas-aktivitas ini belum tentu memiliki kualitas healing atau mendorong recovery. 

 

Tak hanya itu, narasi self-healing memiliki kecenderungan individualistik, yang mengembalikan sesuatu ke “kembali ke rasa nyaman individu”. Padahal penyembuhan emosional tidaklah sesimpel membuat diri merasa senang atau nyaman. Penyembuhan yang sebenarnya menuntut seseorang untuk menghadapi akar masalahnya. Tentunya hal ini seringkali mendorong kita keluar dari zona nyaman, dengan mengelola konflik dengan cara yang lebih baik.

 

Dilihat dari kacamata ini, jelas bahwa narasi dan aktivitas self-healing yang dipromosikan di media sosial tidak mengajak kita untuk menilik akar masalah, alih-alih mengajarkan orang untuk lari dari masalah dan bersikap defensif. Model self-healing seperti itu bahkan bisa saja menghambat proses penyembuhan yang sebenarnya karena muncul anggapan populer bahwa penyembuhan emosional harus terasa nyaman dan menyenangkan.

 

Benny juga menambahkan narasi self-healing yang individualistik terlalu berfokus ke diri sendiri dan melupakan pentingnya dukungan sosial. Benar bahwa kesembuhan adalah tanggung jawab masing-masing individu, tapi proses ini akan lebih sulit—atau tak mungkin—dilakukan tanpa dukungan dari orang-orang sekitar, yang sama pentingnya dengan niat dan keberanian seseorang untuk sembuh.

 

Penjabaran di atas bukanlah anjuran untuk tidak melakukan self-healing. Toh, kita memang butuh tindakan-tindakan rekreasi untuk mengisi ulang energi sekaligus menghindari burnout. Namun, kita juga harus paham bahwa self-healing bukan dan tidak akan pernah menjadi pengganti dari terapi psikologis maupun farmakologis.