Di pucuk November yang hujan, sebuah pesan masuk dari Bismo Triastirtoaji, vokalis Satu Per Empat. “Pak Rio, jikalau sempat datangkan diri,” kata Bismo. Pesan itu sekaligus undangan sesi dengar dari album terbaru mereka yang bertajuk Semoga Beruntung Nasib Buruk yang dirilis Silver Records. Tentu saja, sebagai kawan dan pendengar mereka rasanya momen ini sayang dilewatkan. “Oke, besok gue datang,” balas saya.
Hari itu tiba. Hujan mendera kota Jakarta menjelang malam. Sebuah bar yang terletak di kawasan Senopati, Jakarta Selatan ini disulap seakan milik mereka. Beberapa pengunjung lain tampak tak berminat bahkan tak tahu Satu Per Empat tengah menyelenggarakan sesi dengar album terbaru.
Jarum jam menunjukkan angka 19.30 WIB. Perlahan, orang-orang datang 20.00 WIB. Bismo dan dua personel lainnya Audi Adrianto (guitar), Levi Stanley (drum) tampak kikuk menyalami teman-teman yang datang. Lagu pertama diputar, Semoga Beruntung Nasib Buruk. Hmmm, biasa saja, sih. Bagus tapi suara bunyi alarm bahaya di intro sempat bikin jantung deg-degan. Bebunyian itu seakan mengabarkan kabar buruk dan kita harus berjaga.
Sepanjang mendengar lagu, imaji saya hanya berputar di tema-tema yang acap saya temui dalam obrolan. Sebuah anthem anak muda menjelang 30 tahun kota Jakarta yang masih belum berkarib dengan cita-cita. Masih jauh panggang dari mimpi-mimpi masa muda. Lagu ini semacam doa dan akhirnya judul tersebut mereka sematkan sebagai judul album. Hari ini penuh asam lambung di siang hari, limbung sore hari dan cemas di sepertiga malam. Sedang hari depan, penuh ketidakpastian, mungkin penuh kelokan dan terasa gelap. Fuck, GERD!
Lagu kedua diputar, judulnya Mira. Saya kaget saat vokal Bismo mengalun pelan. Sound gitar, bass dan drum seakan diminta tenang agar cerita ini sampai ke pendengar.
Minoritas Mira dibingkai mata-mata picik
Montok pinggul di dalam tubuh lekaki, gincu dan wig
Diasah praja bengis diteror persekusi
Dini hari Mira di Jemput dan dihakimi
Berita kabarkan Mira dibakar pekan lalu
Kuingin percata api tak sengaja membakar mu
Dituduh mencuri Mira menolak mengakui
Apa data pemirsa bosan ingin kembang api
Mira legam berjalan sendiri tak seorang membantu
Di musholla Mira pun terjatuh
Bermimpi Mira
Merah jingga kuning hijau nilai ungu api
Melihat percik api
Adzan subuh bernyanyi
Mira berlalu dan berlalu
“Ini lagu soal transpuan. Kejadiannya tahun 2020,” kata Bismo. Ondek mak, saya suka betul lagu ini. Lagu inilah yang membuat saya ingin membahas album mereka. Beberapa hari kemudian, gantian saya yang menghubungi Bismo.
“Mo, gue mau wawancara lo, ya,” kata saya.
“Ngomongin album? Boleh, Yo,” jawab Bismo.
Di tahun 2020 lalu, Bismo diundang oleh salah satu QLC Jakarta, sebuah komunitas yang berfokus menyediakan ruang aman dan inklusif di Jakarta. Mira, transpuan 43 tahun itu, dibakar oleh gerombolan setan di Cilincing. Pemicunya sederhana: ia dituduh mencuri handphone dan dompet seorang supir truk. Usai bertemu Mira, supir truk ini kehilangan dompetnya. Kamar kos Mira digeledah. Mira mengelak. Tak satupun bukti ditemukan. Gerombolan setan ini tak henti memukuli Mira. Seakan tak puas, gerombolan setan ini lantas mengambil bensin dan menyiramkan ke tubuh Mira. Api menyala. Mira berlalu.
“Gue coba membawakan lagu ini dengan sangat lembut dan hati-hati,” ujar Bismo di hadapan tiga botol anggur dan seorang kawan yang mulai mabuk.
Bagi Bismo, menulis lagu dengan keresahan sosial jauh lebih berat ketimbang menulis lagu dengan tema personal. Ada riset dalam yang harus dikerjakan. Dalam kasus Mira, ada perasaan yang tak terpemenai dan tak terjelaskan. Ia tak ingin karyanya dangkal. Tapi, tak bermaksud memuji, bagaimana mungkin seseorang yang sudah menulis puisi dan melakoni hidup bohemian sejak masa sekolah, bisa bikin lirik yang dangkal setelah ikut residensi? Saya tak tahu apa motif Bismo menyebut soal kedangkalan itu. Entah sebuah kerendahan hati atau kesombongan yang tersembunyi.
Namun harus diakui sebagai musisi, Bismo masuk kriteria penulis lirik yang bagus dan serius. Kendari mengaku jarang membaca akhir-akhir ini, tabungan kata di kepalanya masih banyak. Sesekali ia mencomot jika dibutuhkan. Makanya, cerita personal bisa ia kisahkan dengan mangkus. Di lagu Anta Permana misalnya, ia mengenang rumah yang baru ia dan keluarga tempati belum terjamah listrik. Periode itu, kenang Bismo, adalah titik balik perekonomian keluarga Bismo perlahan membaik. Tuhan sedang bermurah hati, kala itu. Berbekal tabungan keluarga, ayah dan ibu Bismo bisa membeli sebuah rumah di daerah Tangerang Selatan.
“Waktu itu, di tahun 2017 keluarga gue yang biasanya ngontrak, akhirnya punya rumah. Belum ada listrik pas awal kami nempatin. Listrik belum terpasang. Terus kami ngidupin lilin. Saat sumber cahaya cuma api lilin, kami merasa dekat sekali,” cerita Bismo.
Cerita Bismo tak spesial. Hal-hal yang Bismo alami ini, juga dialami banyak orang. Hidup di negara ketiga seperti ini, ekonomi keluarga bak wahana tornado di Dufan. Kadang naik, kadang turun, kadang berputar vertikal atau horizontal. Satu Per Empat menangkap pengalaman itu, mencatatnya kemudian melagukannya. Atau pengalaman lain, di salah satu lagu berjudul Realis. Lagu inilah yang membawa Satu Per Empat ke khalayak yang lebih luas.
Bismo, Audi dan Levi yang tengah rewel dengan hidup masing-masing ini malah ngobrol tentang betapa blangsak hidup mereka. Soal tabungan tipis, kelaparan yang mengintai dan keraguan soal karya yang menghidupi mereka. “OTW umur 30, hidup nggak jadi sekadar mikir yang kita suka,” kata Audi.
Secara keseluruhan, kegamangan inilah yang coba ditangkap oleh Satu Per Empat. Dan lewat aransemen, sound yang lebih matang, plus pemilihan Enrico Octaviano sebagai produser, rasanya cukup membawa musik Satu Per Empat kini menjadi lebih pop dibanding Pasca Falasi. Tak ada yang salah dengan pop tentu saja. Pokok soalnya adalah lagu enak atau tak enak. Nancap atau gak nancap. Temanya dalam atau picisan. Satu Per Empat setidaknya punya modal sederhana: mereka tahu mau ngomong apa.
Sebagai seorang penggemar Pasca Falasi, saya tak menampik saat awal mendengar Semoga Beruntung Nasib Baik sempat membikin saya kaget. “Lha kok jadi gini, lha kok jadi gitu,” kata saya dalam hati. Saya tak tahu arah kekagetan saya itu sebagai bentuk kekaguman atau sebal. Namun setelah berkali-kali mendengarkan album ini, akhirnya saya sadar bahwa masing-masing individu Satu Per Empat berkembang sebagai individu dan musisi.
Saya tak ingin larut dalam perdebatan diri, mending album sekarang atau album dulu? Rasanya penilaian dan perbandingan itu tak lagi relevan. Meski keputusan bisa jadi tak menyenangkan semua pihak, tapi apa yang lebih penting dibandingkan karya yang bisa dijangkau banyak kuping?
Jika harus menilai secara komprehensif album ini laiknya media-media musik. Okelah, Semoga Beruntung Nasib Buruk mah keren dan enak. Tapi adalah satu yang mengganggu dan sebaiknya kamu baca terus artikel ini.
Sebagai sebuah band, Satu Per Empat sebenarnya punya formula mangkus dan layak mendapat lampu sorot lebih banyak dari hari ini. Musikalitas personilnya menarik. Bismo punya kemampuan menulis dan cara bernyanyi yang oke. Audi, gitaris yang punya riff-riff kecil dengan eksplorasi sound yang terus berkembang. Levi selaku drummer, mesti bukan drummer yang jago betul, tapi ia bisa “mengenakkan” lagu. Modal itu harusnya membikin pendengar mereka mestinya meluas, jadwal panggung banyak, dan nama Satu Per Empat sering dibicarakan orang. Kebingungan itu berputar di kepala saya.
“Gue juga bingung, Yo. Apa karena musik kayak kami gak populer, ya? Ah gak tau gue,” ujar Bimo heran.
Saya mengernyitkan dahi. Ikut-ikutan mikir. Ah ya, sosial media. Suka tak suka hari ini sosial media jadi cara jitu band mempresentasikan dirinya di depan publik. Hari ini, penyelenggara menjadikan aktivasi sosial media dan angka followers jadi faktor penting. Lha ini, Bismo? Boro-boro. “Ada orang yang ngetag band lo, gak lo repost,” kata saya yang disambut tawa Bismo.
Bismo mengaku, ia dan rekan-rekan bukan orang yang caper di sosial media. Agak susah memang kalau semua personel band introvert, ya, hey Bismo. Tapi tampaknya, “Semoga Beruntung Nasib Buruk” jadi pijakan baru dalam membangun kesadaran ulang. Nampaknya, mereka sadar kalau Satu Per Empat ini sebuah band, tak semata teman sedari kecil. Menjaga api bermusik tak semudah membalikkan telapak tangan. Baiknya hasrat vakum atau bubar dijauhkan dari kepala mereka. Saya berdoa semoga band ini tak bubar. Tapi jika hasrat ingin bubar mendesak-desak, bikinlah satu album lagi. Dan kalau nasib baik, semoga album Semoga Beruntung Nasib Buruk membawa band ini makin meluas.