Semua Orang Konon Gemar Sastra, tapi Siapa Peduli Sastra Anak?

Semua Orang Konon Gemar Sastra, tapi Siapa Peduli Sastra Anak?

Bayangkan, ada seorang anak dan ibunya yang pergi ke toko buku. Anak dan Ibu itu berjalan melewati rak-rak yang dipenuhi buku-buku dengan berbagai genre dan tema. Lalu, tibalah mereka di rak buku anak. Rak itu berukuran kecil, buku yang berderet di sana pun masih sama seperti minggu lalu. Si Ibu akhirnya membelikan anaknya sebuah buku tentang seorang gadis bernama Bawang Putih yang dijahati kakak dan ibu tirinya. Ketika sampai di rumah, anak itu ingat bahwa minggu lalu dia sudah membaca cerita yang hampir sama. Namun, dia tetap membacanya karena buku itulah yang dibeli ibunya.

Kondisi sastra anak di Indonesia sebagian sudah digambarkan dalam cerita di atas. Sastra anak di Indonesia selalu diidentikkan dengan dongeng-dongeng lama. Semasa kecil, anak Indonesia tumbuh dengan cerita rakyat yang didaur ulang terus-menerus. Bahkan, ketika teknologi menjadi sangat canggih dan segala cerita bisa dibaca di media elektronik, cerita di sastra anak masih begitu-begitu saja. Hal itu menunjukkan bahwa sastra anak di Indonesia dianggap rendahan, remeh, dan terpinggirkan.

Kalau seseorang ditanya sastra anak apa yang pernah dibacanya, dia mungkin akan menjawab dengan judul-judul dongeng lama—cerita-cerita dengan realitas hitam putih yang diiming-imingi moral baik untuk anak. Namun, apakah sastra anak adalah sastra untuk anak atau sastra tentang anak?

Mizan memiliki edisi seri khusus untuk literasi anak, yaitu Kecil-Kecil Punya Karya (KKPK). Penulis-penulis dari edisi seri itu adalah anak-anak, sehingga ceritanya pun khas dengan realitas anak. Jadi, pada akhirnya KKPK memiliki slogan “dari anak untuk anak”, karena yang bisa betah membaca edisi seri itu kebanyakan pasti anak-anak.  Dibandingkan dengan sastra anak di Amerika, Inggris, dan Finlandia, Indonesia tidak memiliki cerita anak semacam Alice in Wonderland, Charlie and the Chocolate Factory, Albert’s Toothache, dan lainnya. Buku-buku itu bisa dibaca oleh segala usia, bahkan bisa diteliti dan dianalisis oleh para kritikus.

Tidak perlu jauh-jauh membandingkan sastra anak Indonesia dengan sastra anak di luar negeri. Membandingkan sastra anak dengan sastra dewasa di Indonesia saja sudah terlihat kesenjangannya. Para penulis berlomba-lomba menghasilkan karya paling jenius, spektakuler, dan unik—untuk sastra dewasa. Lalu, siapakah yang benar-benar serius memproduksi sastra anak?

Sastra anak benar-benar dilupakan. Ia diurus oleh beberapa orang yang menganggap dirinya mampu menulis sastra anak dengan asumsi bahwa menulis sastra anak itu mudah. Lagipula, yang membaca sastra anak pastilah anak-anak, kenapa harus memikirkan plot, karakter, dan logika begitu serius? Anak-anak tidak akan mempermasalahkan cerita yang plotnya bolong, karakter yang sifatnya hitam dan putih, atau latar yang tidak sesuai dengan lingkungannya. Sastra anak Indonesia hari ini bahkan sudah bersandar pada terjemahan. Saking sulitnya menemukan penulis yang mau menulis sastra anak di Indonesia, lebih mudah menerjemahkan sastra anak dari luar negeri dan menyuapkannya kepada anak-anak.

Wicaksono dalam Memaknai Sastra Anak (2010) berpendapat bahwa sebuah kelalaian yang dapat menjadi kesalahan karena menafikan dunia imajinasi anak sebagai satu hal yang tidak penting dalam sejarah sastra, pendidikan, dan perkembangan budaya. Mungkin, itulah masalah terbesar dalam sastra anak. Kebanyakan orang berpikir imajinasi anak tidak perlu diliarkan. Walhasil, anak-anak terus dipasok diberi cerita datar nan sederhana dan repetitif.

Dengan pola pikir yang seperti itu, sastra anak tentu akan berdiri di tempat yang sama. Para penulis sastra anak akan menjaga diri untuk tidak menulis cerita yang “kurang aman”, cerita yang keluar dari formula “ada orang baik dan orang jahat, yang baik selalu menang”. Karena, banyak yang berpikir bahwa cerita yang terlalu liar dan mendekati kehidupan nyata adalah cerita yang buruk.

Neil Gaiman dalam salah satu wawancaranya dengan The Guardian mengungkapkan bahwa tidak ada buku yang buruk bagi anak. Dia mengkritisi pola pikir yang menganggap bahwa sastra anak harus dijauhkan dari realitas orang dewasa (yang penuh masalah, lika-liku, tetapi juga berwarna). Anak-anak akan tumbuh dewasa, dan adalah tugas sastra anak untuk menghidangkan mereka dengan kehidupan orang dewasa.

Masalah lainnya, sastra anak di Indonesia tidak dianggap sebagai genre tersendiri. Sastra anak mentok di dongeng-dongeng lama, yang selalu muncul di beberapa halaman buku kurikulum anak SD alih-alih di rubrik khusus surat kabar. Anak-anak memang jarang membaca surat kabar, tetapi kalau sastra anak dianggap serius, seorang ayah yang memiliki anak akan membaca sastra anak juga.

Membiasakan anak-anak untuk mencintai literasi sejak dini adalah proses penting bagi pertumbuhan anak. Banyak sekali isu yang membahas bahwa literasi di Indonesia rendah dan bahwa masalahnya ada di fasilitas, keterbiasaan, dan lainnya. Itu semua benar. Namun, tidak ada yang menyebutkan bahwa salah satu akar permasalahan rendahnya literasi di Indonesia pengabaian terhadap sastra anak. 

Ketika sastra anak diabaikan, selera dan imajinasi anak-anak pun terpinggirkan. Anak-anak akan tumbuh tanpa menyukai literasi. Mereka akan terbiasa dengan cerita-cerita datar sehingga tidak mau membaca cerita-cerita liar. Selera mereka seolah sudah ditentukan sejak kecil.

Sastra anak bukan sastra yang harus disodorkan lewat tangan-tangan konservatif. Sastra anak juga tidak harus berisi cerita-cerita sepele hanya karena asumsi populer bahwa imajinasi anak-anak rendahan belaka. Mendorong sastra anak ke posisi yang lebih baik artinya mendukung anak-anak untuk mengolah imajinasi sekaligus mencintai literasi. Akhirnya, mereka yang disebut sastrawan juga tidak harus melulu orang-orang yang menulis sastra dewasa, tapi bisa juga penulis sastra anak.