Sengkarut Pornografi Anak dan Kekerasan Seksual di Pornhub

“Pornhub menggambarkan dirinya sebagai wajah ceria nan menyenangkan dari konten dewasa,” buka Nicholas Kristof dalam tulisannya yang dimuat di The New York Times. Trik-trik pemasaran Pornhub yang wholesome tak hanya menarik penonton setianya, tapi juga masyarakat umum dan beberapa lembaga besar. 

 

Namun, di balik gimmick dan marketing-nya yang manis, kenyataannya sungguh pahit. Setidaknya sejak 2015 Pornhub telah dituduh memuat video-video seksual anak di bawah umur dan pemerkosaan. Tuduhan yang sama kembali bergaung di bulan-bulan awal pandemi Covid-19 karena melejitnya angka kekerasan seksual daring anak

 

Sangat mudah mencari video anak dibawah umur. Untuk mencarinya, pengguna hanya perlu mengetikkan “girls under18”, “14yo”, “super petite Asian girl”, “underage girl”, dan kata kunci serupa lainnya. Dalam beberapa detik, mesin pencari akan menampilkan puluhan ribu video, baik dari akun yang telah diverifikasi maupun yang belum. 

 

Dari sekian video orang-orang dewasa yang roleplay sebagai siswi sekolahan, ada anak di bawah umur yang dipaksa melakukan kegiatan seksual dan bahkan diperkosa.

 

Mekanisme pelaporan Pornhub tidak efektif

 

Pornhub sebetulnya sadar akan masalah ini. Pada Juni 2019, 22 perempuan menuntut Pornhub karena turut menyebarkan video aktivitas seksual mereka tanpa izin. Para perempuan ini adalah korban GirlsDoPorn, salah satu partner resmi Pornhub. 

 

Berdasarkan laporan hukum, para korban—yang rata-rata baru lulus SMA—melamar pekerjaan modelling di Craigslist. Mereka nantinya dipanggil dan diberikan tiket untuk syuting di luar kota. Sesampainya di sana, pekerjaan yang mereka dapatkan bukan modelling, tapi syuting video porno.

 

Produser membujuk para korban dengan menyatakan bahwa video-video ini nantinya hanya diperjualbelikan di Australia atau menjadi koleksi khusus kolektor Selandia Baru. Korban juga diberi banyak ganja dan alkohol. Selain itu, mereka mengancam tidak akan memberikan tiket pulang. Ketakutan, sendirian, dan tidak punya uang, para korban hanya bisa mengiyakan paksaan tersebut.

 

Ironisnya, para korban baru tahu bahwa video tersebut diunggah di Pornhub dari teman atau keluarga. Sebelum Girls Do Porn, ada skandal Rose Kalemba yang video pemerkosaannya kala ia berumur 14 tahun tersebar di Pornhub. Ada pula Serena K. Fleites yang video telanjangnya saat berumur 14 diunggah oleh teman sekelas taksirannya ke Pornhub.

 

Setiap korban meminta bahkan memohon-mohon Pornhub untuk menghapus video-video mereka. Sayangnya permintaan tersebut jarang sekali terjawab, sehingga mereka sendiri yang melaporkan video-video tersebut. Sayang langkah ini tidak efektif; selalu ada salinan baru di internet.

 

Sebetulnya Pornhub mengklaim memiliki “sistem moderasi mumpuni” yang bisa mencegah konten yang dilaporkan untuk diunggah kembali lewat fingerprinting metadata. Namun investigasi yang dilakukan oleh Vice menunjukkan sistem tersebut tidak bisa diandalkan. Ini karena metadata video sangat mudah diubah dengan memotong atau menggabungkannya dengan beberapa video lainnya. 

 

Lebih menyedihkannya lagi, para korban sendiri yang harus aktif melapor ke Pornhub. Padahal seharusnya ini menjadi kerja Pornhub sebagai platform penayangan.

 

Luka yang ditinggalkan

 

Hidup di dunia yang memandang perempuan sebagai objek seks tapi juga menghukum ketika perempuan mengekspresikan dirinya secara seksual begitu berat. Tak hanya trauma karena kepercayaan yang dikhianati, mereka juga diejek dan dikutuk teman, keluarga, dan orang-orang tak dikenal. Orang-orang yang sama mungkin saja menggunakan foto/video non-konsensual untuk bahan masturbasi.  

 

Para korban GirlsDoPorn menyatakan mereka menjadi korban perundungan daring dan luring. Mereka menderita depresi, gangguan kecemasan, PTSD, dan keinginan untuk bunuh diri. Satu korban dibunuh oleh mantannya yang cemburu karena memergoki videonya di GirlsDoPorn.

 

Masalah mental juga dirasakan oleh Kalemba dan Fleites. Fleites bahkan sampai keluar dari sekolah, kecanduan narkoba, beberapa kali mencoba bunuh diri, dan berujung menjadi PSK sejak umur 16. Kejadian tersebut tak hanya merampas harga dirinya, tapi juga mimpinya sebagai dokter hewan.

 

Akhir dari cerita?

 

Sejak tulisan Kristof terbit, Visa, Mastercard, dan Discover menghentikan kerjasama mereka dengan Pornhub. Raksasa finansial ini menganggap Pornhub melanggar ketentuan perihal konten ilegal. Beberapa hari setelahnya, Pornhub menghapus konten yang diunggah para pengguna yang belum terverifikasi. Nantinya hanya pengguna terverifikasi yang meliputi rumah produksi, model, dan produser yang bisa mengunggah video. Pornhub juga menghapus fitur download dan berencana mengimplementasikan proses verifikasi yang lebih ketat. 

 

Namun, tidak semua orang bahagia dengan keputusan Pornhub. Produser pornografi indie yang menjamah ceruk-ceruk tertentu merasa dirugikan dengan keputusan Pornhub yang terlalu mendadak. Para pekerja seks konsensual mengkritik Visa dan Mastercard karena dianggap melakukan “perang terhadap pekerja seks”. Kritik lainnya menuding langkah Visa dan Mastercard diambil karena alasan moral (yang ditangkis oleh mereka).

 

Tiap kebijakan selalu melahirkan dua sisi, terutama apabila kebijakan tersebut diambil secara terburu-buru. Namun yang terpenting adalah para korban—yang setidaknya disebutkan dalam artikel ini—mulai mendapatkan kompensasi dan bisa memulai lembar hidup baru.