Sepak Bola Membawaku Sedih, lantas Perlahan-lahan Menuju Mati

Sepak Bola Membawaku Sedih lantas Perlahan-lahan Menuju Mati
Pada 8 Juli 2014 di Belo Horizonte, David Luiz tertunduk lesu. Air matanya menggenang. Beberapa kali ia melihat langit dan nyatanya tak mengubah keadaan. Sedangkan Thomas Müller tersenyum dan tertawa. Ia mengepalkan tangan. Jerman menundukkan tuan rumah Brasil dengan skor kelewat kejam 1-7. Di berbagai belahan dunia yang lain, satu demi satu manusia menggantung lehernya. Mereka mati malam itu juga.
Pragya Thapa, murid kelas 10 di Nepal, dilaporkan Daily Mail ditemukan tewas bunuh diri karena malu Brazil dikalahkan dengan skor telak. Chaiya Somsrichan asal Thailand juga ditemukan tewas dengan sebotol pestisida kosong di sebelahnya. Chaiya, menurut penuturan sang ibu, bertaruh dengan kawan-kawannya sebesar 1000 Bath.
Dr Martha Newson dari University of Oxford meneliti antara hubungan ilmiah antara penggemar sepak bola dengan level hormon kortisol atau hormon stres. Penelitian dilakukan dengan mengambil sampel air liur para penggemar yang dikumpulkan baik sebelum, selama, dan setelah pertandingan. Hasilnya, hormon kortisol para penggemar setia timnas Brasil meroket saat mereka melihat langsung tim kesayangannya dibantai Jerman dengan skor telak 1-7.
Yang menarik dari studi ini, walau sepak bola acapkali identik dengan kaum laki-laki, tak ada perbedaan signifikan dari konsentrasi kortisol antara penggemar laki-laki maupun perempuan. Sepak bola berpotensi bisa merusak siapa saja. Pertanyaannya kini, apakah hal tersebut berakibat buruk di Indonesia? Jawabannya tentu saja sangat buruk. Aku adalah contoh paling nyata dari kejamnya sepak bola Indonesia.
Sepak bola adalah hiburan, katanya. Narasi itu, bagiku, hanya valid sebelum industri masuk ke dalam olahraga tersebut. Ketika para buruh di Inggris sana sedang beristirahat dan melepas penat, sepak bola masih dijadikan sebagai hiburan. Namun, ketika para pemodal menemukan aspek menggiurkan dalam sepak bola, olahraga ini tak lagi menghibur. Terkadang, olahraga ini mematikan.
Ketika klub demi klub mulai terbentuk dan sepak bola mewakili tiap daerah (bukan lagi perusahaan), mulai muncul perasaan cinta yang aneh. Sejelek apapun klub di daerahmu, sebusuk apapun manajemen klub tersebut, perasaan cinta yang aneh ini mengikat. Tak pandai mengelak, ia akan memelukmu dan memaksamu bertekuk lutut kepada klub tersebut.
Apalagi masalah nasionalitas. Ketika sepak bola membawa panji sebuah negara. Ketika cinta tanah air tak melulu menuntut untuk menenteng senjata atau membedil tentara negara lawan, mendukung tim nasional menjadi salah satu pelampiasan. Nasionalisme buta mulai menjangkit. Ia seperti penyakit.
Sebab itu sepak bola, bagiku, bersemayam racun di dalamnya. Kemenangan bisa membuatmu bersuka-cita, kekalahan bisa membuatmu menangis dan terisak, sedangkan ketika klubmu dihina fans lain, jangankan baku hantam, membawa awan badai pun tentu saja kau sanggup demi lambang di dada.
Mereka yang terjerat racun sepak bola, tak bisa membedakan mana dunia asli dan khayali. Lihat saja bagaimana ketika Santos terdegradasi untuk pertama kali, warga menjadikan seluruh kota bak lautan api. Apa sebabnya? Karena klub tersebut sudah ia jadikan identitas bagi dirinya. Jika klubnya dihina, maka timbul perasaan bahwa sama saja menghina kediriannya sendiri.
Tanda-tanda seseorang terjangkit sifat fanatik adalah ketidakmampuan dalam memahami karakteristik individu atau orang lain yang berada di luar kelompoknya, baik benar maupun salah. Selain menimbulkan agresi, fanatisme juga melahirkan perilaku yang kurang terkontrol dan tidak rasional. Sepak bola barangkali bisa disebut sebagai pabrik pencetak fanatisisme buta macam ini.
Kenapa sepak bola di negara kita seakan tak pernah belajar apa-apa dari tiap tragedi yang datang berulang? Jawabannya adalah tak pernah ada tindakan dari hulu ke hilir perihal fanatisme. Orang-orang penting dalam badan sepak bola negara ini, terlampau sibuk memikirkan gelar juara, sedangkan satu demi satu anak bangsa terluka—atau bahkan tewas—karena sepak bola.
Hulu dari segala masalah fanatisme adalah agresivitas remaja. Menonton sepak bola, merupakan sarana paling mudah untuk melepas agresivitas. Kelompok fans sepak bola, lebih bebas ketimbang geng sekolah atau geng yang ada di lingkungan. Akan ada pengebirian dalam hal pelampiasan agresivitas dalam dua gang tersebut karena ketatnya pengawasan—katakanlah oleh guru atau masyarakat.
Sedangkan dalam sepak bola, agresivitas bisa berlari-lari tanpa halangan. Terkadang, orang mabuk dan menggebu-gebu, berada dalam satu tribun dengan para remaja yang agresivitasnya sedang meluap-luap. Apa tindakan taktis federasi tentang hal ini? Tidak ada. Tidak pernah ada. Barangkali kepikiran saja tidak.
Masalah ini bisa menimbulkan efek lanjutan. Ketika kekerasan terjadi di tribun dan meluas ke sekitar stadion, aksi saling balas akan terjadi di kota-kota klub yang terlibat. Mental suporter tak pernah dimasukan ke dalam mindmap para pejabat federasi. Padahal, jika ada yang mati, dosa itu akan melekat abadi, sedangkan uang bisa dicari lagi.
Mengerikan rasanya ketika tribun yang semula dipenuhi oleh bangku, berubah menjadi batu nisan. Ada yang tewas di stadion, di luar stadion, atau mengakhiri hidupnya karena kegagalan klub yang dicintainya. Mafia sepak bola memang bajingan, tapi ayolah kita nikmati sepak bola sebagaimana marwahnya. Walau ada dalang utama di baliknya, jangan biarkan nyawamu menjadi tumbal karenanya.