Tulisan ini mengandung spoiler untuk film Shrek 1-3.
Beberapa waktu lalu, saya menonton lagi film Shrek karya DreamWorks. Saya kebut tiga sekuel Shrek di Netflix. Setelahnya, saya merasa ada yang berbeda saat menonton ulang film ini. Dulu, film ini terasa lucu-lucu saja. Sekarang, saya melihat Shrek bukan sekadar komedi. Justru ada banyak ejekan dari film ini kepada lawannya, Disney.
Background Cerita Shrek yang Banyak Ambil Dari Disney
Ketika kecil, saya tak terlalu peduli mana film keluaran DreamWorks atau Disney. Otak kecil saya berpikir, yang penting filmnya menggemaskan saja. Baru sekarang saya menyadari bahwa Shrek menyelipkan beberapa ‘easter egg’ seperti menggunakan latar belakang cerita dan tokoh dari Disney.
Yang paling awal saya sadari dari film Shrek pertama adalah bagian cermin ajaib yang menawarkan tiga orang putri untuk dinikahi Lord Farquaad: Cinderella yang dianiaya ibu tirinya, Snow White yang harus dicium agar bangun, dan terakhir putri Fiona yang dikurung di menara tinggi.
Disney sering menyuguhkan cerita tentang putri cantik yang ‘diselamatkan’ oleh pangeran tampan, lalu keduanya hidup bahagia memimpin kerajaan. Dalam Shrek, hal ini diceritakan di awal lewat mimpi putri Fiona. Tapi, ketika mengetahui siapa penyelamatnya, Fiona bergidik kecut mendapati ksatria itu ternyata seorang ogre. Padahal, Fiona sendiri sedang mengalami kutukan yang menyebabkan ia berubah menjadi ogre ketika matahari terbenam. Untuk memutus kutukan ia harus dikecup oleh seorang pangeran.
Lalu di sekuel Shrek yang kedua, DreamWorks mengolok citra ibu peri baik hatinya Disney menjadi tokoh antagonis. Sekuel Shrek ketiga bercerita tentang Fiona yang sedang hamil dan berkumpul bersama putri-putri Disney seperti Snow White, Cinderella, dan Rapunzel. Di situ, putri Disney itu digambarkan sebagai sosok yang suka mengeluh ngeluh, julid, dan menyebalkan—180 derajat dari penggambaran Disney terhadap mereka yang anggun dan lemah lembut.
Selanjutnya, cerita ‘happy ending’ yang merupakan trademark Disney juga diangkat di film ini. Namun alih-alih pangeran dan putri rupawan yang berakhir bahagia, justru yang berbahagia malah ogre yang buruk rupa. Jadilah Shrek, trilogi yang sengaja dibuat untuk meledek kompetitornya, Disney.
Shrek: Sebuah Parodi atau Satir?
Perdebatan mulai bermunculan soal apakah Shrek parodi atau satir? Sebelum menentukan “Shre”k masuk kategori yang mana. Mari coba kita lihat makna keduanya. Satir bermaksud untuk menyindir dan biasanya mengandung muatan kritik terhadap isu sosial, politik dan sebagainya. Sementara parodi adalah sebuah plesetan dari suatu cerita yang telah ada.
Yang saya lihat, Shrek sebenarnya hanya memplesetkan jalan cerita Disney. Isu parodi atau satir tak lepas dari Jeffrey Katzenberg, CEO DreamWorks, yang tadinya adalah CEO Disney. Namun ia angkat kaki karena persoalan internal antar pejabat Disney pada 1994. Katzenberg akhirnya mendirikan DreamWorks bersama David Geffen dan Steven Spielberg. Makanya, ketika Shrek pertama kali diluncurkan pada 2001, banyak yang mengatakan bahwa Shrek adalah bentuk kekesalan dan satir dari Katzenberg untuk Disney.
Lewat pernyataannya, Katzenberg mengatakan bahwa intinya dia hanya ingin membuat cerita yang terbalik dari cerita Disney. Katzenberg hanya sekadar ingin membuat lelucon. Lagipula, menurutnya, cerita-cerita Disney terbiasa diperuntukkan bagi anak-anak, sedangkan Katzenberg ingin membuat guyonan untuk hiburan orang dewasa.
Setelah menonton Shrek pertama dan kedua, saya bisa mengamini perkataan Katzenberg. Namun, ketika melangkah pada Shrek ketiga, saya mulai melihat ada nuansa satir, meski jujur, sangat sedikit wujudnya. Sebuah contoh yang benar-benar saya tangkap adalah saat Fiona, ibunya, dan para putri Disney dikurung oleh Prince Charming.
“Ayo, ladies, kita cari jalan keluar,” kata Fiona saat itu. Hal itu langsung disaut oleh Snow White, “kau benar! Nona-nona, ayo ambil posisi!” Lantas para putri Disney langsung berpose anggun dan cantik layaknya diri mereka pada cerita-cerita Disney.
Melihat itu, Fiona bingung dan bilang, “Kalian ngapain, sih?” dan dijawab, “Menunggu untuk diselamatkan” seperti yang biasa diceritakan di film Disney. Lewat secuil adegan ini, saya melihat bagaimana Shrek mulai—entah disengaja atau tidak—merupakan komentar sosial soal stereotip kalau perempuan perlu diselamatkan, tak berdaya, dan butuh laki-laki.
Menengok Nilai Kesetaraan Gender pada Film Shrek
Pembalikan nilai lainnya yang saya perhatikan selama menonton Shrek adalah awal penggambaran Fiona sampai ke akhir. Pada mulanya, Fiona digambarkan sebagai stereotipikal putri dari Disney: cantik, lemah, naif, dan hanya menunggu diselamatkan pangeran tampan. Namun di tengah film, saya dikejutkan oleh kemampuan silat Fiona saat dihadang Robin Hood. Shrek pun dibuat kaget sampai bertanya-tanya darimana seorang putri bisa main bogem mentah kayak begitu. Fiona pun mengatakan kalau perempuan yang hidup sendiri wajib bisa melindungi diri.
Hal ini senada dengan yang ibu Fiona ungkapkan ketika dirinya menjebol dinding-dinding istana dengan kepalanya, “Kau tak berpikir keahlian bertarungmu berasal dari ayahmu, kan?” menegaskan bahwa memang sepatutnya perempuan bisa menjaga diri sendiri. Mereka berdua sama-sama hadir sebagai sosok perempuan yang tak masalah jika punya energi ‘maskulin’.
Tak cukup sampai di situ, Fiona yang semula tak terima dirinya adalah setengah ogre dan berusaha keras untuk kembali cantik layaknya putri yang ideal, akhirnya berhasil menerima dirinya apa adanya. Tak perlu menuruti standar kecantikan yang dibuat oleh masyarakat.
Lalu, pada Shrek ketiga, ketika para putri berkumpul, diselipkan beberapa skrip saling sindir dan adu kecantikan, dimana Fiona tak tergubris untuk berkompetisi dalam hal kecantikan seperti putri-putri lainnya. Ini menunjukkan sebuah kritik terhadap standar kecantikan yang selama ini akhirnya jadi ajang kompetisi.
Yang memukau lagi bagi saya, pada akhirnya para putri Disney ini pun menyadari bahwa mereka harus menyelamatkan diri mereka sendiri. Ini direpresentasikan lucu dengan Snow White yang merobek renda pada lengannya dan menunjukkan tatonya, mirip preman yang menggulung lengan bajunya, tanda siap berkelahi. Lalu Cinderella yang mengelas sepatu kacanya sebagai alat bertarung, dan kemudian, mereka membakar sebuah bra, sebagai simbolisasi perlawanan perempuan terhadap ketidaksetaraan gender.
Mendekati akhir cerita, Fiona dan para putri muncul melawan Prince Charming saat Shrek hendak dieksekusi. Ini menunjukkan bahwa tak ada salahnya ketika laki-laki berada dalam kondisi tak berdaya dan membutuhkan pertolongan dari perempuan.
Jadi, mau nonton ulang Shrek gak?