Saya tertarik dengan hal-hal yang tidak kasat mata baik secara harfiah maupun kiasan. Saya akan membahas yang pertama di lain waktu, dan memfokuskan tulisan ini pada makna kiasan dari yang tidak kasat mata. Sebenarnya ada persamaan keduanya: sama-sama menghantui hidup manusia sehari-hari.
Ketika membahas suatu isu, saya sering mencoba menggali hal-hal yang jarang atau sering kali luput dibicarakan. Ini yang saya maksud dari makna kiasan dari hal-hal yang tidak kasat mata. uat saya, menggali hal-hal yang tidak dibicarakan dari suatu isu adalah politis. Ada banyak alasan kenapa hal-hal tersebut berada di bawah radar, tetapi yang pasti, ada alasan politis di baliknya.
Saya hendak membahas hal-hal yang tidak kasat mata dari SI CANTIK–nama aplikasi perizinan daring terpadu yang dikembangkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Menurut situs resmi Kementerian Kominfo, aplikasi SI CANTIK ditujukan untuk membantu penyelenggaraan layanan perizinan dan non-perizinan baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Dunia dalam Genggaman Tuan
Suatu hari saya terburu-buru keluar dari rumah, saya tetap menyempatkan untuk menengok isi tas ransel. Saya bernapas lega ketika melihat ponsel ada di sana. eski seharusnya yang saya cek adalah kelengkapan dokumen, karena saya terburu-buru untuk mengurus dokumen ke kantor Kelurahan, ponsel tetap menjadi hal yang pertama saya cek keberadaannya.
"Sekarang ini apa-apa sudah pakai aplikasi, Mbak." Kata bapak petugas loket di kantor kelurahan. Kantor-kantor pemerintah tampaknya juga tidak mau ketinggalan dalam era serba digital ini. Pernyataan bapak petugas loket kelurahan senada dengan semboyan era digital yang sering kita dengar, yaitu, "dunia berada dalam genggaman".
Di kantor-kantor pemerintah, digitalisasi diharapkan dapat mempersingkat rantai birokrasi dan memudahkan masyarakat untuk mengakses layanan publik. Terkadang bahkan kita diminta untuk mengunduh aplikasi tertentu, sebelum diperbolehkan mengakses layanan tertentu. Hal ini terdengar seperti pencapaian yang luar biasa, meski dalam praktiknya masih banyak kendala.
Aplikasi SI CANTIK adalah contoh upaya pemerintah untuk memanfaatkan perkembangan teknologi. Apakah aplikasi SI CANTIK menampakkan "kecantikan" layanan publik kita? Ini topik khusus yang menarik dan penting.
Semboyan era digital "dunia berada dalam genggaman" menggambarkan kemajuan teknologi yang memudahkan para penggunanya mengerjakan sesuatu. Singkatnya, aplikasi teknologi mengambil alih peran yang sebelumnya dilakukan manusia (baca: pekerja).
Perkembangan ini bukan saja diharapkan dapat menghemat tenaga dan waktu manusia, melainkan juga menjadi solusi terhadap berbagai permasalahan manusia, termasuk soal diskriminasi. Ketika tugas dan pekerjaan tertentu diambil alih oleh aplikasi, diskriminasi, seperti seksisme dan rasisme, dianggap bakal punah. Tentu saja anggapan ini didasari oleh asumsi bahwa teknologi, beserta kecerdasan mesin dan sistem yang dibawanya, akan mendatangkan interaksi sosial yang lebih terbuka, setara, dan adil.
Dalam realitanya, itu tidak mungkin terjadi. Di balik pengembangan aplikasi dan kecerdasan teknologi, terdapat manusia-manusia yang merancang algoritmanya. Akibatnya, algoritma tidak mungkin bebas dari bias-bias sosial ekonomi dan politik dari manusia-manusia yang merancangnya. Sebuah film dokumenter Coded Bias (2020), membahas algoritma yang bias rasial dalam aplikasi teknologi pengenalan wajah. SI CANTIK, dan aplikasi-aplikasi lain yang dikembangkan oleh kantor Kominfo, seperti yang diungkapkan oleh Sabda Armandio dalam akun Twitternya, menggambarkan seksisme melalui penamaan aplikasi untuk memudahkan pekerjaaan administrasi.
Pekerjaan (yang di-)Hilang-(kan)
Sebenarnya agak berlebihan jika dikatakan bahwa aplikasi teknologi mengambil alih peran manusia. Sebab tugas atau pekerjaan itu tidak benar-benar hilang. Dalam berbagai contoh, ia dialihkan kepada orang lain. Di balik kenyamanan kita menggunakan aplikasi untuk membeli makanan atau berbelanja, masih ada keringat pekerja yang melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dianggap hilang.
Selain itu, tidak jarang pengembangan aplikasi memunculkan tugas atau pekerjaan baru yang harus dilakukan oleh manusia. Sebagai contoh, beberapa plaftorm media sosial terkenal mempekerjakan orang-orang untuk menyeleksi unggahan para penggunanya yang dianggap tidak sesuai dengan aturan platform. Unggahan-unggahan tersebut bisa dianggap berbahaya, misalnya pesan, foto dan video tentang upaya bunuh diri, kegiatan seksual, pemotongan kepala dan sebagainya. Para pekerja yang disebut moderator konten ini mengalami trauma akibat konten-konten yang harus mereka sortir. Sebuah film dokumenter berjudul The Cleaners (2018) mencoba mengangkat isu ini.
Perkembangan teknologi tidak hanya memunculkan pekerjaan-pekerjaan baru yang dibayar, tetapi juga pekerjaan-pekerjaan yang tidak dibayar. Kita sebagai pengguna teknologi bukan lagi hanya bertindak sebagai konsumen, melainkan juga sebagai produsen. Kegiatan ini disebut kerja "prosumsi". Diperkenalkan oleh Alvin Toffler pada tahun 1980 ketika membahas topik revolusi digital, konsep "prosumption" merujuk pada kaburnya batas-batas antara kegiatan produksi dan konsumsi.
Seiring meningkatnya kemampuan konsumen untuk merancang barang dan jasa yang hendak dibeli sesuai selera masing-masing, berbagai fitur yang ditawarkan aplikasi teknologi memudahkan pengguna (baca: konsumen) untuk mengerjakan sendiri layanan yang biasanya dikerjakan oleh manusia (baca: pekerja). Bahkan di media sosial, kita para pengguna sebenarnya sedang bekerja melalui aktivitas kita di sana. Aktivitas pengguna media sosial secara tidak langsung memberikan umpan balik bagi para perancang aplikasi dalam membuat atau memperbaiki desain dan algoritma. Kita sebagai pengguna menghabiskan waktu berjam-jam memanfaatkan fitur-fitur yang ditawarkan, secara sukarela memberikan data pribadi, preferensi, bahkan hasrat terdalam, yang pada gilirannya dijual oleh perancang media sosial untuk dijadikan target iklan.
Dalam konteks prosumsi, jam kerja bukan lagi terbatas pada waktu yang kita habiskan di tempat kerja, melainkan juga di luar tempat kerja. Kritikus menilai bahwa era kapitalisme prosumsi ini menunjukkan eksploitasi ganda.
Masa Depan (bukan) Milik Kami
Dari semua hal yang tidak kasat mata dalam perkembangan teknologi di digital, bisa jadi yang paling jarang dibahas adalah peranan piranti keras di belakangnya. Perkembangan penggunaaan aplikasi teknologi membuat kita terbuai dalam bayangan mengenai masa depan yang serbacanggih dan pada hal-hal yang tidak berwujud (intangible). Akibatnya, kita lupa bahwa hal-hal yang tidak berwujud itu tidak mungkin ada tanpa hal yang berwujud (tangible). Memang cukup ironis ketika hal yang paling kasat mata dari fenomena yang tidak berwujud adalah justru hal yang berwujud. Dalam hal ini, saya bicara tentang alat-alat elektronik yang memungkinkan berbagai aplikasi teknologi bekerja.
Alat-alat elektronik tidak mungkin ada tanpa buruh-buruh pabrik elektronik yang bekerja memproduksinya. Industri barang-barang elektronik melibatkan berbagai perusahaan dalam satu rantai produksi. Kondisi kerja buruh di pabrik pemasok elektonik dan komponennya sering kali memprihatinkan. Tidak sedikit perempuan bekerja di pabrik komponen elektronik.
Menurut suatu laporan, buruh perempuan pada umumnya ditempatkan di bagian perakitan komponen elektronik karena sterotipe gender yang menggambarkan buruh perempuan sebagai sosok yang telaten dan teliti. Para mandor atau posisi lebih tinggi lainnya biasanya diisi oleh buruh laki-laki. Akibatnya, buruh perempuan yang bekerja di pabrik perakitan komponen elektronik cenderung digaji lebih rendah daripada buruh laki-laki.
Baru-baru ini, sebuah studi yang dilakukan oleh Astika Andriani dan Rizal Assalam tentang kondisi kesehatan dan keselamatan kerja (K3) buruh perempuan di pabrik elektronik di Indonesia dan Malaysia menunjukkan,para buruh perempuan rentan terkena kanker dan keguguran akibat paparan bahan kimia.
Apakah peningkatan partisipasi perempuan di dalam industri teknologi digital lantas akan membawa kesetaraan gender? Aplikasi SI CANTIK tentu saja menunjukkan seksisme dalam industri teknologi digital dan peningkatan partisipasi perempuan dalam industri ini diharapkan dapat menyelesaikan masalah ini. Tetapi, jika kita teringat kondisi kerja buruh perempuan di pabrik perakitan komponen elektronik, kita jadi berpikir dua kali tentang solusi representasi ini.
Dari hal-hal yang tidak kasat mata di atas, kita semakin sadar bahwa teknologi digital yang ditujukan untuk memudahkan pekerjaan manusia sehari-hari justru membawa pekerjaan baru–baik yang dibayar maupun tidak dibayar. Perkembangan teknologi digital untuk menyelesaikan masalah diskriminasi tampaknya menjadi narasi yang terlalu optimis.
Tentu saja berbagai aplikasi teknologi dapat digunakan oleh kelompok masyarakat yang dipinggirkan untuk menyuarakan aspirasi, atau untuk membangun jaringan dengan kelompok yang dipinggirkan yang lain. Tetapi bukan berarti kita bisa berpuas diri.
Kita perlu ingat bahwa solusi yang dibangun dalam sistem kapitalis patriarkis memiliki batasan dan mencerminkan kontradiksi dari sistem tersebut. Yang saya maksud kontradiksi, misalnya, aplikasi teknologi yang digunakan untuk membangun basis perlawanan bagi kelompok terpinggirkan, termasuk perempuan, merupakan produk (tidak langsung) dari keringat buruh perempuan yang mengalami diskriminasi di tempat kerja dan sederetan kondisi kerja yang tidak layak. Mengutip Audre Lorde:
"Karena alat-alat Sang Tuan tidak akan pernah membongkar rumah Tuannya. Mereka boleh jadi membiarkan kita mengalahkan Sang Tuan untuk sementara, tetapi mereka tidak akan pernah membiarkan kita membawa perubahan sejati."