Sikap Presiden Indonesia terhadap Israel

Israel dan Para Presiden Indonesia

Analogi ini tampaknya tepat untuk menggambarkan hubungan Indonesia dengan Israel: kawan sekolah satu angkatan tapi gak pernah mau terlihat akrab. Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 setelah lepas dari cengkraman Belanda dan Jepang. Tiga tahun berselang, tepatnya pada 14 Mei 1948, tokoh Israel David Ben-Gurion mendeklarasikan Israel sebagai negara independen.

Sedari awal, Indonesia sudah menegaskan sikap menolak hubungan diplomasi dengan negara tersebut. Penolakan itu didasari lantaran Israel didirikan di atas tanah rampasan milik warga Palestina. Polemik antara Palestina dan Israel memuncak ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB menyetujui rencana membagi wilayah Palestina menjadi negara Yahudi dan Arab pada 1947. 

Setahun kemudian Israel dinyatakan sebagai negara, setelah menganeksasi wilayah Palestina. Indonesia berdiri tegas mendukung agar Palestina menjadi bangsa yang berdaulat dan mengecam tindakan Israel. Pada saat Konferensi Asia Afrika (KAA) diselenggarakan, Presiden Soekarno mengundang berbagai negara di Asia dan Afrika. Beberapa negara seperti Burma (Myanmar), India, dan Srilanka berpendapat agar Israel juga diikutsertakan. Soekarno secara tegas menolak saran itu.

Berikut saya tuliskan sikap politik tiap presiden terhadap Israel.

((tolong bikinin ilustrasi tiap presiden yaak, makasihh)))

Soekarno

Untuk memahami mengapa Soekarno enggan menjalin hubungan diplomasi dengan Israel, ada baiknya kita memahami konteks sejarahnya terlebih dahulu. Pada awal tahun 1920-an, sikap “anti” Israel ini sudah mulai subur sejak isu Palestina kerap menjadi topik diskusi serius gerakan Islam di Indonesia. Solidaritas umat yang menjadi pemicu diskusi itu hadir. Bahkan, Nahdlatul Ulama (NU) di acara tahunan membicarakan masa depan Palestina.

Tak sekadar diskusi, selepas merdeka Presiden Soekarno secara terang-terangan menunjukkan sikapnya. Setahun setelah Indonesia merdeka, negara di Timur Tengah mengakui kemerdekaan Indonesia. Pengakuan itu dibalas dengan mengirimkan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim yang dikenal piawai berbahasa Arab itu menjalin hubungan dengan negara seperti Mesir, Suriah dan Arab Saudi. Kedatangan Agus Salim selain sebagai bentuk kerja sama dengan negara-negara di Timur Tengah, juga memberikan dukungan agar negara seperti Palestina merengkuh kemerdekaanya sendiri. 

Bagi Soekarno, merdeka adalah hak Palestina. Dan intervensi yang dilakukan Israel tergolong dalam kolonialisme dan imperialisme. Dengan demikian, dukungan yang Indonesia berikan kala itu lebih karena alasan anti-imperialisme dan alasan pascakolonialisme dibandingkan solidaritas persatuan Islam (pan-Islam).

Alasan kemanusiaan juga memberikan pengaruh terhadap hal ini. Agresi yang dilakukan Israel tentu melanggar nilai-nilai tersebut. Maka bukan hal aneh jika Indonesia di masa itu berperan banyak dalam misi perdamaian di Palestina


Soeharto

Saat Soeharto mulai menapaki kekuasaan pada 1966, Israel dan tiga negara Arab (Mesir, Yordania dan Suriah) terlibat perang jilid ketiga dengan Israel. Perang ini berkecamuk selama enam hari di pekan pertama Juni 1967. Soeharto yang kala itu belum resmi dilantik sebagai Presiden, masih sibuk dengan prahara politik pasca peristiwa G30 S. Dalam periode itu, dia tetap meneruskan sikap pemerintahan sebelumnya, yaitu menolak hubungan diplomasi dengan Israel.

Pada periode pertama Soeharto menjadi presiden, komitmen Indonesia konsisten dalam mendukung perjuangan negara-negara Arab melawan invasi Israel terhadap 
Palestina. Pada 1972, Menteri Luar Negeri Adam Malik wara-wiri ke sejumlah negara Arab, seperti Suriah, Yordania dan Mesir. Saat kunjungan itu Adam Malik menyatakan tidak keberatan membuka kantor PLO, organisasi yang mendukung pembebasan palestina, di Jakarta.

Sikap Jakarta terhadap Israel juga tampak melunak saat pertemuan negara-negara OKI pada 1978. Saat itu Indonesia memilih abstain dalam pengambilan keputusan perjanjian damai antara Israel-Mesir. Bahkan beredar kabar yang menyebut Soeharto main api dengan Israel. Pada tahun 1979, Presiden Soeharto menugaskan Jenderal TNI (Purn) Leonardus Benny Moerdani yang saat itu menjabat sebagai Kepala BAIS melakukan pembelian 32 pesawat tempur bekas A-4E Skyhawk milik Israel pada 1979. Pembelian ini dilakukan sangat rahasia dengan nama Operasi Alpha karena Indonesia tidak punya hubungan diplomatik maka pembelian dilakukan. Tapi sejago-jagonya tupai meloncat akan jatuh juga itu benar adanya. Di masa depan publik pun tahu. 

Pasca palagan Yom Kippur yang membikin Israel luluh lantak, sikap diplomasi Indonesia dalam mendukung perjuangan negara-negara Arab sedikit kendor. Maklum, kala itu hubungan Indonesia dengan Amerika sedang mesra-mesranya imbas dari bonanza minyak. Modal Amerika mengucur deras ke Indonesia, dan mungkin ke Soeharto juga. Toh akhirnya kantor PLO itu akhirnya baru berdiri pada 1990. Dibukanya kantor PLO itu tak dapat dipisahkan dari dinamika politik dalam negeri pada dekade terakhir 1980. Saat itu Soeharto melaksanakan haji dan mulai merapat ke kalangan Islam. 


Dinamika  hubungan Indonesia dan Israel saat bapak daripada Soeharto berkuasa tak terjadi begitu saja. Ia merentang jauh pertengahan dekade 1950-an kala bara api perang dingin mulai membara di sejumlah negara dunia ketiga.. Sikap Indonesia yang anti barat di era Soekarno punya kaitan erat dengan misi penumpasan kekuatan komunis di Indonesia.

Menurut sebuah laporan yang mengutip dokumen Kemenlu AS, Soekarno pernah hampir melakukan transaksi pembelian senjata dengan Israel pada 1958 meski tidak punya hubungan diplomatis dengan Israel. Saat itu Indonesia tengah meletus pergolakan di beberapa daerah, salah satunya PRRI. Jakarta butuh pasokan senjata buat menandaskan perlawanan para pemberontak.

Israel akhirnya membatalkan rencana itu. Salah satu alasannya adalah kedekatan Soekarno dengan PKI, salah satu partai komunis terbesar di dunia saat itu. Alih-alih menjual senjata ke Soekarno, Amerika yang didukung Israel malah menyuplai persenjataan untuk mendukung perlawanan terhadap Soekarno. Tidak salah mengapa Soekarno makin mengutuk Israel dan antek-anteknya itu.

Peran intelijen Amerika saat penumpasan komunis menjadi alasan kuat mengapa Soeharto tidak begitu menjaga jarak sama Israel. Soeharto didesain oleh Amerika untuk menghancurkan komunisme di Indonesia. Setelah Soekarno lengser dan digantikan Soeharto, dimulailah apa yang disebut dengan genosida politik pertama pasca perang dunia II, yaitu pembantaian besar-besaran terhadap simpatisan PKI. 

Soeharto juga tercatat pernah menjalin hubungan kerja sama dengan militer Israel, membahas jaringan komunis internasional dan transfer persenjataan. Pada 1993, perdana menteri Israel saat itu, Yitzhak Rabin, diam-diam mengunjungi Soeharto di Cendana. Kekuatan politik Islam saat itu mempertanyakan rumor terjalinnya hubungan antara Indonesia dengan Israel

Maka tidak heran mengapa Soeharto seperti tidak punya pendirian yang tegas menyikapi Israel. 

Sikap Soeharto yang suka lompat-lompat ini memang membingungkan sekaligus lucu, bukan?

Habibie

Setelah Soeharto tumbang pada tahun 1998, B.J. Habibie yang hanya satu tahun memerintah, lebih berfokus pada mengembalikan stabilitas ekonomi, sosial dan politik. Tak banyak catatan hubungan Habibie dengan Israel lantaran ia menjabat hanya setahun.

Tapi ada satu peristiwa unik. Saat ia meninggal pada 2019 lalu, ratusan Muslim di Palestina melakukan salat ghaib untuknya. Sholat gaib ini digelar di Masjid Raya Umar di Kota Jabalia, Gaza Utara. 


Gus Dur

Beberapa tahun sebelum menjadi presiden, tepatnya di tahun 1994, Gus Dur pernah diundang oleh Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin untuk menghadiri penandatanganan perjanjian damai antara Israel dan Yordania. Sebagai seorang tokoh Islam di Indonesia, ia yang besar dari kalangan santri ini meletakkan stereotip jika pemimpin Islam tak harus memusuhi Israel. 

Menurut Gus Dur, Indonesia tidak mungkin berperan dalam perdamaian Palestina dan Israel jika tidak menjalin hubungan diplomatik dengan kedua negara itu. Maka tak heran, hanya butuh tiga hari setelah terpilih sebagai Presiden RI, Gus Dur sudah mendorong Indonesia lebih aktif dalam forum bisnis internasional. Salah satunya adalah agar Indonesia mulai menjalin hubungan dagang dengan Israel seperti beberapa negara Arab lainnya saat itu. Menurut Budiarto Shambazy dalam Damai Bersama Gus Dur (2010: 88), ada dua alasan yang diutarakan Gus Dur mengapa ia ingin menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Pertama, Gus Dur ingin memastikan kapitalis George Soros, Yahudi kelahiran Hongaria itu tak mengacaukan pasar modal.

Yang kedua, ia ingin meningkatkan posisi tawar Indonesia di Timur Tengah, sebab selama itu Timur Tengah tidak pernah membantu Indonesia menghadapi krisis. Daya dan posisi tawar Indonesia saat ini semakin kuat di tengah bangsa-bangsa Arab. Mereka kerap meminta bantuan kepada Indonesia untuk menghadapi konflik-konflik yang ada.

Pernyataannya itu lantas bikin geger masyarakat Indonesia. Tapi dengan santai, ia mengajak segenap rakyat Indonesia untuk memikirkan kembali betapa pentingnya menjalin hubungan dengan Israel demi membantu perjuangan Palestina untuk merdeka.


Megawati

Megawati sebagai anak kandung sekaligus ideologis Soekarno tahu betul bahwa ia harus selalu membela Palestina. Dua tahun setelah ia menjabat, Megawati meminta PBB serius menangani konflik antara Israel dan Palestina saat Sekjen PBB kala itu, Kofi Annan, berkunjung ke Indonesia pada Mei 2003. Tak henti sampai di situ, Megawati sampai menugaskan Menlu Hassan Wirajuda untuk berkunjung ke Palestina bersama menteri negara anggota Gerakan Non Blok. Jubir Deplu saat itu, Marty Natalegawa menyebut kunjungan menteri itu sebagai bentuk bukti konkrit dukungan Indonesia terhadap Palestina.

“Dukungan Indonesia terhadap Palestina sudah jelas. Keberpihakan kita terhadap Palestina sudah sangat jelas. Ini salah satu bukti konkret,” ujar Natalegawa.   


SBY

Pada masa pemerintahan SBY, konflik Israel-Palestina mulai memasuki babak baru. Dinamika politik di internal Palestina meruncing kala Pemimpin PLO Yasser Arafat meninggal pada tahun 2004. 

Kemunculan Hamas sebagai kekuatan politik pasca meninggalnya Ketua PLO, Yasser Arafat pada 2004, bikin konflik Israel-Palestina memasuki babak baru. Pada 2005 Hamas menang melawan Fatah di Pemilu pertama dalam sejarah Palestina. Fatah adalah fraksi politik terbesar di dalam PLO. Mereka punya misi buat menduduki kembali wilayah Palestina yang dicaplok Israel sejak 1948.

Friksi antara Hamas dengan Fatah memicu perang saudara. Fatah pun disingkirkan dari jalur Gaza. Akibat perang saudara ini banyak rakyat palestina yang terbunuh. Setahun setelahnya, Israel memblokade total jalur Gaza dan menuduh Hamas sebagai teroris.

Sejak itulah Israel rajin membombardir wilayah Palestina. Di luar gesekan yang hampir terjadi saban hari, sepanjang periode 2004-2024, Israel tercatat melakukan serangan besar sebanyak lima kali: 2007, 2008, dan 2014. 

Seperti presiden sebelumnya, SBY saat itu mendesak agar konflik yang membunuh ribuan warga sipil segera diakhiri. Pada masa pemerintahannya, SBY sering berdiplomasi dengan negara barat seperti Inggris dan Amerika untuk mendorong  terciptanya perdamaian. Diplomasi pun lebih gencar dilakukan.

Dalam kasus SBY, selain bantuan terhadap Palestina yang terus mengalir, upaya diplomasi juga terus dilakukan. SBY pernah mengajak sejumlah negara di Afrika dan Asia buat menggelar konferensi pembebasan Palestina. 

Pada sebuah kesempatan SBY pernah menyatakan “Sanksi bukanlah tujuan utama. Sanksi haruslah bersifat persuasif, agar suatu negara mengubah posisi melalui jalur perundingan,” tutur SBY dalam KTT Liga Arab. 

Jokowi

Di berbagai forum internasional, Presiden Jokowi getol mendukung terciptanya perdamaian antara kedua negara. Sikap Jokowi dalam hal ini tentu dipengaruhi oleh sikap PDIP yang memegang teguh komitmen Soekarno agar Palestina bisa menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat.

Seperti presiden-presiden sebelumnya, Jokowi selalu mengutuk keras setiap serangan Israel terhadap Palestina. Ini dapat dengan mudah kita temui di banyak pemberitaan. 

Walaupun beda sikap dengan PDIP terkait keikutsertaan Israel di Piala Dunia U-17 di Indonesia, secara diplomatik, Jokowi konsisten mendukung Palestina untuk merdeka dari Israel. Jokowi menegaskan kalau Indonesia tidak akan menjalin hubungan diplomatis dengan Israel selama negara itu masih menjajah palestina.

Saat polemik kehadiran Israel di piala dunia terjadi, faktor konflik di internal PDIP lebih dominan terlihat. Pasalnya hubungan PDIP dengan Jokowi saat itu diisukan tengah retak. Jokowi tak masalah bila Israel hadir di Indonesia, karena menurutnya sepakbola tak bisa dikaitkan dengan politik. 

Namun dengan membolehkan kehadiran Israel di piala dunia, Jokowi seperti mengakui eksistensi Israel sebagai sebuah negara. Dan kalau saja piala dunia U-17 jadi dihelat di tanah air dan Israel hadir, tentu akan menyakiti hati rakyat Palestina.

Meski tidak punya hubungan diplomatik dengan Israel, ternyata transaksi ekonomi antara kedua negara ini tetap lanjut dan makin lama makin membesar. Hal yang paradoks tentunya di saat Indonesia tegak lurus mengutuk pendudukan Israel atas Palestina, tapi secara bersamaan hubungan dagang yang menggerek pundi-pundi ekonomi Israel.

Pada 2015, perdagangan Israel-Indonesia dilaporkan mencapai US$400-500 juta. Hampir 90 dari nilai perdagangan itu berasal dari ekspor Indonesia. Ekspor Indonesia ke Israel meliputi barang-barang komoditas. Sedangkan Israel mengekspor produk teknologi, salah satunya alat sadap pegasus yang jadi perbincangan akhir-akhir ini karena digunakan untuk menyadap masyarakat sipil yang rajin mengkritik pemerintah.