Sinema-sinema Propaganda

Munculnya Sayap-sayap Patah di bioskop pada Agustus 2022 menambah daftar film pesanan institusi negara yang digarap untuk mendongkrak pamor mereka di masyarakat. Film besutan b̶u̶z̶z̶e̶r̶ Denny Siregar ini menjadi contoh bagaimana film digunakan sebagai instrumen propaganda dengan harapan para penonton akan mengadopsi posisi politik yang dipromosikan oleh si propagandis, serta menyebarkan paham tersebut di luar bioskop. 

Film adalah media yang sangat efektif untuk menyebarkan propaganda karena ia bisa ditonton rame-rame oleh orang banyak dalam jangka waktu yang relatif singkat dan bersifat menghibur, sehingga penonton tidak sadar bahwa dia sedang disusupi paham tertentu. Contohnya, Sayap-sayap Patah berdurasi 1 jam 49 menit, sedangkan satu studio bioskop bisa menampung 100-300 penonton sekaligus. Dalam kurang dari 2 jam, harapannya 300 orang di dalam studio akan tercuci otaknya jadi simpatisan Polri setelah menonton akting Nicholas Saputra jadi polisi ganteng nan perwira di film tersebut.

Praktek propaganda negara lewat sinema sudah lumrah dilakukan dari sejak teknologi film muncul sebagai karya seni dan media hiburan yang dinikmati masyarakat luas. Biasanya, film propaganda dipesan untuk memantik rasa nasionalisme, mendukung perang, menyebarkan ideologi atau agama, atau malah memeranginya. 

Peran film dalam menggerakkan mood politik dan ideologis masyarakat bisa ditelusuri sejak awal abad ke-20, dan pada gilirannya, turut menggulirkan roda sejarah selama masa damai dan perang.

Kino Eye “Tidak Pernah Bohong”

Film menjadi wahana penyebaran ideologi yang lentur karena ia membingkai citra, gerakan, dan suara yang benar-benar direproduksi lewat kamera dari realitas di dunia nyata. Hal ini menciptakan ilusi yang membuat penonton terhanyut dan mengira ya seperti inilah hidup yang sebenar-benarnya. Kemampuan sineas menciptakan ilusi tentang semesta dan realita dalam film membuat penonton menyakini tingkat akurasi gambaran yang disajikan di layar. Sineas dokumenter Soviet, Dziga Vertov, sampai mengklaim dalam manifestonya di tahun 1924 “The Birth of Kino-Eye” bahwa “mata sinema adalah mata kebenaran”.

Uni Soviet adalah pionir film propaganda. Setelah revolusi Oktober 1917, pemerintah Bolshevik dan Vladimir Lenin menekankan pentingnya film sebagai alat propaganda, terutama di tengah populasi yang masih buta huruf. Film jadi dianggap lebih efektif daripada poster dan selebaran, yang masih merajai metode propaganda Soviet waktu itu. Soviet sampai punya departemen film propaganda sendiri bernama Goskino USSR, atau Komisi Negara Uni Soviet untuk Sinematografi yang didirikan pada 1924. 

Film propaganda bisa disajikan dalam bentuk fiksi, dokumenter, dan newsreel, tergantung pilihan tekniknya. Dziga Vertov adalah pakar dokumenter, membuat beberapa film propaganda yang mencatat Revolusi Rusia lewat kacamata pemerintahan Bolshevik. Pada 1918 ia merilis Anniversary of the Revolution, kumpulan footage demonstrasi di awal-awal masa revolusi. Setelahnya ia membuat A Sixth Part of the World (1926) yang menunjukkan kekayaan dan kemegahan alam Rusia, Three Songs about Lenin (1934) tentang Vladimir Lenin, juga Memory of Sergo Ordzhonikidze (1937) tentang salah satu tokoh penting Bolshevik, dan masih banyak lagi. 

Film-film propaganda Soviet lain yang dianggap penting di antaranya Mother (1926) dan The End of St. Petersburg (1927) oleh Vsevolod Pudovkin, yang dibuat untuk memperingati 10 tahun revolusi. Ada juga Lenin in October (1937) dilanjutkan sekuelnya Lenin in 1918 (1939) oleh Mikhail Romm, E. Aron, dan I. Simkov tentang kepemimpinan Lenin di masa revolusi.

Nazi dan Hollywood

Di tengah puncak kejayaan Hitler pada 1930an, Nazi punya menteri propaganda yang juga memiliki perhatian besar pada sinema, Joseph Goebbels (yang diparodikan oleh Quentin Tarantino di Inglourious Basterds). Di bawah Goebbels, Nazi menasionalkan industri film dan mendirikan sekolah film untuk sineas-sineas muda potensial. Nazi membuat organisasi film nasional dan mewajibkan semua aktor, sineas, dan distributor film menjadi anggotanya. National Film Dramaturgist melakukan sensor ketat untuk semua materi dan naskah sebelum digarap. Kritik film dilarang, namun ajang penghargaan film didirikan. Departemen propaganda Nazi bahkan membuat bank khusus film yang memberikan pinjaman berbunga rendah kepada rumah produksi yang membuat film nasionalis. 

Film-film produksi departemen propaganda kerap jadi ajang mejeng buat politisi Nazi seperti Hitler, Goebbels, dan Hermann Göring yang beradu akting dengan para bintang film seperti Zarah Leander, Lil Dagover, Heinz Rühmann yang menjadi langganan departemen ini. Aktris Hollywood Marlene Dietrich dan Greta Garbo pernah direkrut untuk bermain di film-film Nazi, namun kemudian memilih hijrah ke Amrik dan tidak mau lagi berakting untuk film Nazi.

Pada masa ini, bioskop-bioskop dalam daerah kekuasaan Nazi diwajibkan menayangkan lebih banyak film Jerman, terutama dokumenter dan newsreel. Mulai tahun 1933, pemerintah perlahan melarang impor film. Di tahun 1941 film Amerika menjadi ilegal. Selain itu, kelompok taruna remaja Nazi, Pemuda Hitler, rajin mengadakan acara nonton bareng film-film propaganda di daerah-daerah terpencil. Seksi Propaganda Partai juga mengoperasikan 300 truk dan dua kereta api yang memuat semua peralatan yang dibutuhkan untuk menayangkan film di daerah-daerah tanpa bioskop. Propaganda lewat film sangat diutamakan oleh Nazi, sampai-sampai bioskop masih boleh beroperasi ketika sekolah dan teater tutup ketika perang makin parah di tahun 1944. Di Berlin, bioskop-bioskop lokal dikawal oleh pasukan anti-serangan udara. Film-film propaganda Nazi yang masih dibicarakan sampai sekarang antara lain Triumph of the Will (1935) oleh Leni Riefenstahl dan film anti-semit The Eternal Jew (1940) oleh Fritz Hippler.

Sementara di pihak Sekutu, Amerika Serikat di bawah Presiden Franklin D. Roosevelt juga mulai mengembangkan departemen film propagandanya sendiri. Lowell Mellett direkrut untuk mengatur film-film pesanan pemerintah, dan menekan Hollywood untuk turut mendukung wajib militer lewat sinema. Kebijakan ini dianggap efektif untuk memantik semangat patriotik masyarakat karena ada 90 juta orang yang pergi nonton film di Amerika tiap minggunya di dekade 1940an. 

Sineas AS, Frank Capra, membuat series berisi tujuh film yang didanai pemerintah untuk membangkitkan moral bangsa melawan fasisme berjudul Why We Fight (1942-1945). Charlie Chaplin membuat The Great Dictator (1940) yang memparodikan Hitler. Walt Disney dan Looney Tunes juga bergabung dengan pasukan sineas dengan menyumbang film-film animasi anti fasisme seperti Der Fuehrer's Face (1942) dan Food Will Win the War (1942). Film-film drama perang di Amerika juga mulai banyak muncul pada 1940an, terutama untuk menanamkan rasa patriotisme dan semangat pengorbanan rakyat untuk mengalahkan “sang musuh”. Banyak film drama perang menunjukkan persahabatan antar-ras di barak-barak tentara untuk membangkitkan rasa persaudaraan antar rekrutan militer. Kampanye lewat film ini berhasil mendongkrak angka anak muda sipil yang mendaftar untuk masuk militer dan berperang. 

Militer AS juga mendirikan departemen sendiri untuk mereview naskah film, The Bureau of Motion Pictures. Selama beroperasi sejak sampai 1945, biro ini meneliti 1.652 naskah dan menyensor apapun yang berbau anti-perang dan anti-patriotisme. Di puncak Perang Dingin pada 1960an, ketika AS sedang berperang di Vietnam, Militer AS mendanai dan menyediakan prop untuk produksi The Green Berets, film anti komunis garapan John Wayne. Di film ini militer AS digambarkan gagah berani dalam menjalankan misi mulia, sementara pasukan Vietnam digambarkan sebagai orang-orang liar nan brutal yang patut kalah.

Walau sudah tidak dalam masa perang lagi, film-film perang yang menggambarkan Amerika sebagai jagoan dan musuh Sekutu sebagai orang jahat masih sangat laris, contohnya Saving Private Ryan (1998), Forrest Gump (1994), dan Hacksaw Ridge (2016).

Film Orderan di Indonesia

Pada 1984, Order Baru di bawah Presiden Suharto mendanai Pengkhianatan G30S/PKI garapan Arifin C. Noer. Dengan bujet Rp800 juta, film yang digarap selama dua tahun ini melibatkan nama-nama besar dalam industri film Indonesia termasuk Umar Kayam yang berperan sebagai Soekarno. 

Film ini adalah dramatisasi atas potongan sejarah peristiwa 1 Oktober 1965. Partai Komunis Indonesia (PKI) digambarkan mendalangi pembunuhan para jenderal dan digagalkan oleh pasukan Suharto.

Dalam film ini, para pemimpin PKI digambarkan keji, sadis, dan menikmati melakukan siksaan kepada para Jenderal yang diculik. Pada saat rilis, film ini disambut dengan puji-pujian kritikus, sampai mendapatkan 7 nominasi FFI dan memenangkan 1 Piala Citra. Film ini diputar setiap tahun di televisi pada tanggal 30 September selama masa Orde Baru. Pemutarannya juga diwajibkan di sekolah-sekolah untuk menanamkan rasa benci kepada komunisme. Ketika Suharto lengser di tahun 1998, pemutaran wajibnya akhirnya ditiadakan dan orang-orang mulai bisa berbicara secara kritis dalam menanggapi film ini. Kelompok musik Melancholic Bitch menarasikan pengalaman mereka digiring ke bioskop waktu masih SD untuk menonton film ini dalam lagunya “Bioskop, Pisau Lipat”.

Ketakutan akan “bahaya laten komunisme” masih jadi bahan jualan kelompok-kelompok politik dan ormas tertentu untuk mendiskreditkan lawannya. Hingga saat ini, komunisme masih menjadi ideologi terlarang di Indonesia, dan orang-orang masih enggan ambil resiko membahas komunisme secara kritis di ruang publik.

Film propaganda Indonesia dengan efek semasif Pengkhianatan G30S/PKI belum ada lagi hingga sekarang. Film-film pesanan berbagai lembaga negara mentok menjadi ajang narsis dan pemuas ego institusi saja. 

Sang Prawira (2019) adalah contohnya. Film yang jelek saja belum ini dibintangi polisi betulan: Ipda Aditia ACP, Anggika Bolsterli, Ipda Dimas Adit S, Ipda M. Fauzan Yonanndi, sampai Kapolri saat itu Tito Karnavian. Pejabat tinggi negara seperti Luhut Binsar Pandjaita, Yassona Laoly, dan Ganjar Pranowo juga ikut mejeng sebagai cameo. 

Di tahun 2014, Mensesneg Yusril Ihza Mahendra membintangi film jelek berjudul Laksamana Cheng Ho. Yak, dia bermain peran menjadi Laksamana Cheng Ho itu sendiri. Sementara kawannya mantan Menteri Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) Syaifullah Yusuf alias Gus Ipul bermain sebagai Raja Majapahit, Prabu Wikramawardhana. Kedua politisi ini beradu akting dengan aktor senior Slamet Rahardjo Djarot yang berperan sebagai Raja Blambangan, Bhre Kertabumi, dan Nurul Arifin sebagai Istri Bhre Kertabumi. 

Tontonan propaganda yang cukup berhasil menarik simpati masyarakat hingga saat ini mungkin The Police yang tayang di Trans 7 dan disokong oleh Polri. Trans 7 menggambarkan The Police ini sebagai “...sebuah program reality yang mengikuti aksi dan kegiatan kepolisian dalam menjaga keamanan, menangkap pelaku kejahatan, serta memberikan teladan bagi masyarakat.”

Tayangan ini tidak hanya mengikuti sepak terjang Polisi memberantas kriminalitas ringan dalam masyarakat seperti balapan liar dan judi, namun juga penggerebekan kegiatan-kegiatan di ranah pribadi yang dianggap melanggar norma seperti anak nongkrong mabuk-mabukan dan pasangan tidak menikah yang lagi ena-ena di hotel melati.

The Police menggambarkan anggota polisi sebagai punggawa moral, protagonis yang gagah, perwira, melindungi dan mengayomi masyarakat. Postingan Instagram resmi mereka bahkan menyertakan tagar #tidakpercumalaporpolisi untuk melawan tagar #percumalaporpolisi yang ramai di Twitter sejak terbitnya seri laporan dari Projek Multatuli

Pada 2021, tayangan ini meraih ranking 4 tayangan dengan rating tertinggi di Indonesia, menjadi satu-satunya tayangan non drama dalam tangga top 10 rating tersebut. Ironisnya, kebanyakan penonton yang menikmati tayangan ini mungkin akan menemukan dirinya sendiri menjadi antagonis jika masuk dalam reality show The Police.

Mungkin sebelum pakai uang rakyat untuk bikin film propaganda, pemerintah bisa riset dulu: target audience-nya rakyat yang mana?