Salah satu series Netflix yang menangkap perhatian saya akhir-akhir ini adalah Maid. Miniseries yang diproduseri oleh Molly Smith Meltzer ini menceritakan seorang ibu tunggal, Alex, yang baru saja meninggalkan pacarnya yang abusif dengan anak balitanya, Maddy. Ia tinggal di tempat penampungan dan bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) di Value Maids.
Series ini dengan apik menunjukkan perjuangan ibu tunggal bertahan hidup sambil mengurus anak. Di sisi lain ia juga menunjukkan ironi perbedaan nasib antara Alex dan Regina, majikannya yang juga ibu tunggal. Alex tak punya rumah, ia sendiri kesusahan mengurus anaknya, tapi pekerjaannya menuntutnya untuk mengurus rumah dan keluarga orang lain.
Bagaimana jadinya kalau Alex diberikan kesempatan untuk WFH (work from home) untuk mengembangkan portfolionya sebagai penulis lepas? Akankah nasibnya berubah?
WFO vs WFH Bagi Pekerja Perempuan
Jauh sebelum pandemi, perempuan memang dikondisikan untuk menanggung beban pekerjaan domestik yang jauh lebih besar. Pandemi menyadarkan kita bahwa perempuan memiliki peran yang sangat besar dalam berfungsinya suatu masyarakat. Merekalah yang memegang peranan penting dalam tugas-tugas esensial.
Cara bekerja kita jauh berbeda dibanding dulu. Bekerja dari rumah yang dulunya tidak terbayangkan menjadi kenyataan. Selama menjalaninya, ada banyak orang yang merasa WFH menguntungkan, tapi ada juga yang tidak.
Hasil survey FlexJob menunjukkan 68% perempuan ingin terus bekerja dari rumah. Alasannya karena WFH bisa meningkatkan kesetaraan gender di tempat kerja, fleksibilitas yang lebih tinggi, lebih banyak waktu untuk mengurus diri dan keluarga, serta tidak perlu berdandan untuk bekerja.
Walau banyak perempuan memilih WFH atau kerja hybrid, beban kerja domestik mereka tidak berkurang. Hal ini dikemukakan lewat penelitian Dunatchik, dkk (2021); 62% ibu yang bekerja melaporkan mereka menghabiskan waktu lebih banyak di pekerjaan domestik dibandingkan sebelum pandemi. Selain itu, 47% ibu melaporkan menghabiskan waktu lebih banyak untuk merawat anak. Bagi ibu tunggal, tantangan ini jauh lebih tinggi karena mereka harus mengerjakan semuanya sendiri.
Hal memvalidasi anggapan bahwa memiliki pekerjaan tidak membuat perempuan bisa lepas dari tuntutan pekerjaan domestik. Pandemi tidak serta-merta membuat pembagian kerja domestik antara laki-laki dan perempuan berubah. Sedihnya lagi, pekerjaan domestik ini tidak dianggap ‘kerja’ karena dianggap bakat naluriah yang erat dengan keperempuanan.
Penelitian yang lain menunjukkan perempuan memiliki tingkat stres, depresi, dan jam kerja yang lebih tinggi, terutama jika mereka memiliki anak. Ada pembagian peran yang tidak adil antara laki-laki dan perempuan sehingga perempuan, khususnya ibu, membutuhkan pengaturan kerja yang lebih fleksibel. Atau kalau tempat kerja tidak memberikan sistem kerja yang fleksibel, perempuan–tentunya yang mampu–akan menyewa PRT seperti yang terjadi pada Regina dan Alex. Meski sudah dibantu Alex, Regina pun tetap terbebani dengan tugas-tugas domestik lainnya seperti mengasuh anaknya.
WFH Tak Selamanya Indah
Apapun alternatif hidup yang kita berikan kepada Alex sebagai ibu tunggal, tampaknya Alex tetap saja terjebak dalam kerentanan hidup sebagai perempuan. Bekerja dari rumah tidak otomatis membuat hidupnya menjadi lebih mudah. Bisa saja dia malah burn out atau stres karena kelelahan bekerja.
Dilaporkan, ada peningkatan burn out yang signifikan pada orang-orang yang remote working selama pandemi. Liburnya sekolah, tempat penitipan anak, dan ruang publik membuat para pekerja menghadapi tekanan yang besar. Hal ini membuat keseimbangan kehidupan bekerja justru memudar.
Pekerja yang bekerja secara remote juga memiliki jam kerja yang jauh lebih panjang dibandingkan sebelumnya. Pekerja jarak jauh ini dituntut untuk memiliki jam kerja yang fleksibel. Sangking fleksibelnya, para pekerja bahkan harus bekerja siang sampai malam bahkan di hari libur.
Alex dan Representasi Single Mom
Ketika kita mengetik kata-kata “WFH” dan “single mom” halaman utama pencarian akan menampilkan tips and trick mengelola diri agar bisa selamat dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang ibu tunggal dan pekerja. Diikuti juga dengan artikel-artikel mengenai beban ganda perempuan dalam mengurus urusan domestik dan kantor.
Menyeimbangkan pekerjaan rumah dan kantor memang merupakan tantangan yang dihadapi banyak orang tua, tetapi bagi ibu tunggal tekanan yang harus mereka hadapi lebih tinggi apalagi jika tidak banyak tersedia bantuan sosial kepada perempuan seperti pusat penitipan anak dan tempat tinggal sementara seperti yang diterima oleh Alex.
Dalam urusan karier, single mother memiliki banyak hambatan. Analisis Pew Research Center menemukan bahwa ada penurunan pembagian kerja yang tajam kepada para ibu tunggal. Meski selama pandemi Covid-19 ditemukan banyak penurunan pembagian kerja di banyak kantor, pembagian kerja kepada single mother turun lebih tajam daripada orang tua lainnya.
Apalagi jika ia adalah ibu yang memiliki anak kecil dibawah usia tujuh belas tahun. Bahkan ditemukan penurunan partisipasi angkatan kerja ibu bagi tunggal dengan anak kecil di rumah. Tidak berhenti sampai di sana, angka itu akan turun lagi ketika ia berasal dari kelompok masyarakat yang terpinggirkan.
Meskipun Alex yang sedari tadi bersama kita adalah tokoh fiktif, sesungguhnya Alex adalah adaptasi dari kehidupan Stephanie Land pada bukunya ‘Maid: Hard Work, Low Pay, and a Mother's Will to Survive’ yang berisi memoar Stephanie Land selama ia bekerja sebagai PRT.
Kehidupan Alex dan Stephanie Land adalah kenyataan bagi banyak ibu tunggal di dunia, termasuk di Indonesia. Data dari Badan Pusat Statistik pada 2021 menunjukkan ada sekitar 14,38% perempuan yang menjadi kepala rumah tangga di Indonesia. Kesulitan mencari pekerjaan yang layak, kesulitan mendapatkan bantuan sosial, kesulitan mendapatkan perlindungan sosial dan keberpihakan kepada mereka, kesulitan untuk mengerjakan pekerjaan rumah sekaligus kantor di saat yang bersamaan; kesulitan untuk memiliki waktu bagi dirinya sendiri adalah kenyataan hidup yang harus mereka hadapi sehari-hari.