Hingga hari ini masih banyak yang tidak percaya bahan baku sirup obat sebagai penyebab kasus gagal ginjal akut kemarin. Ada yang mencurigai vaksin Covid 19. Padahal sudah jelas bahwa kasus ini banyak menyerang balita yang belum disasar oleh program vaksinasi Covid.
Bukan hanya kalangan awam, bahkan sebagian sejawat apoteker pun masih ada yang meragukan sirup sebagai biang keladi. “Selama ini sirup-sirup itu aman-aman saja diminum. Kenapa baru sekarang muncul kasusnya?” Ini argumen favorit mereka yang tidak percaya.
Ini sama saja dengan logika, “Saya biasa makan sambal, kenapa baru sekarang sakit perut?” Kata kuncinya adalah bahan baku. Bahan baku sambal hari ini berbeda dengan sambal kemarin. Mungkin terasinya yang sekarang dibuat dari udang busuk. Begitu juga bahan baku sirup yang kita minum hari ini berbeda dengan bahan baku sirup yang kita minum bulan-bulan lalu.
Gagal ginjal akut memang kemungkinan penyebabnya banyak sekali. Namun, kasus keracunan etilen glikol atau dietilen glikol (EG/DEG) dari sirup itu bukanlah kasus baru. Kasus ini sudah sangat sering terjadi di dunia. Kasus pertama yang tercatat terjadi pada 1937 di Amerika Serikat. Hampir seabad yang lalu.
Sayangnya, manusia tidak belajar dari sejarah. Kasus serupa terjadi lagi di banyak negara. Pada 1969 kasus ini terjadi di Afrika Selatan, menyusul India pada 1986, kemudian Nigeria pada 1990, Bangladesh 1990-1992, Haiti 1995-1996, India lagi pada 1998, Panama 2006, dan di Nigeria lagi pada 2009. Sekarang di Gambia dan Indonesia. Jadi, ini sama sekali bukan kasus baru.
Produknya bermacam-macam tapi intinya sama, yaitu melibatkan obat yang sulit larut di dalam air dan sulit dibuat sirup. Yang paling sering menyebabkan kasus keracunan EG/DEG adalah sirup parasetamol. Biasanya untuk obat demam atau obat batuk pilek.
Kadar EG/DEG di dalam sirup bervariasi, mulai dari 8% v/v (volume/volume) sampai yang tertinggi 72% v/v. Kadar 72% ini ditemukan di kasus pertama yang terjadi di Amerika, pada sirup berisi sulfanilamid, obat infeksi. Kadarnya tinggi sekali karena pada waktu itu belum ada larangan penggunaan DEG untuk pelarut farmasi. Saat itu belum diketahui efek racun dari DEG pada manusia. Juga belum ada kewajiban bagi pabrik obat untuk melakukan uji toksisitas lebih dulu. Setelah munculnya kasus ini, Badan Pengawas Obat Amerika mewajibkan semua produk obat yang beredar harus punya data keamanan lebih dulu.
Kadar oplosan EG/DEG rata-rata sekitar belasan persen. Yang terdokumentasi, di Haiti 14% (v/v), di Panama 8% (v/v), di Nigeria 19%, di Banglades 20% v/v, di India (18% v/v). Di Indonesia, sayangnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tidak membuka data pemeriksaannya ke publik, terutama pada sirup buatan dua perusahaan farmasi yang kadarnya paling tinggi. Padahal data ini sangat penting, terutama bagi apoteker di lapangan.
Kepala BPOM Penny K. Lukito, dalam keterangan pers tanggal 27 Oktober, menyebut ada dua pabrik obat yang terindikasi secara sengaja menggunakan pelarut yang kadar EG/DEG-nya sangat tinggi. Dua perusahaan farmasi ini akan dipidanakan. Penny memang tidak menyebut berapa kadarnya. Ia hanya menyebut “sangat sangat tinggi”. Logikanya, ini levelnya bukan lagi cemaran yang tidak disengaja melainkan oplosan yang memang disengaja.
Benang merah kasus-kasus di berbagai negara ini adalah motif ekonomi. Seharusnya obat-obat yang sulit dibuat sirup ini dilarutkan dengan pelarut organik yang aman seperti propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, gliserin (gliserol). Namun, pelarut-pelarut ini harganya mahal. Untuk menekan biaya produksi, pabrik mengoplosnya dengan pelarut yang murah tapi beracun seperti EG/DEG yang mestinya hanya untuk industri kimia.
Pelarut-pelarut farmasi yang aman itu memang bisa saja terkontaminasi EG/DEG dengan kadar kecil. Sekitar sekian miligram per sendok. Ini masih aman asalkan kadarnya di bawah 0,5 mg/kg berat badan per hari. Jika kadarnya “sangat sangat tinggi”, itu jelas oplosan, bukan cemaran.
Jadi, jelas bahwa kasus di Indonesia kali ini tidak berbeda dari yang pernah terjadi sebelumnya di negara-negara lain. Ini hanya pengulangan sejarah, hanya beda tempat. Ketika kasus keracunan massal di Bangladesh terjadi, para ilmuwan setempat menulis di jurnal BMJ dengan redaksi ala nubuat. “Penggunaan dietilen glikol sebagai substitusi propilen glikol di dalam sirup parasetamol di Nigeria dan Bangladesh mengindikasikan bahwa wabah serupa bisa saja terjadi di tempat lain.”
Walaupun seandainya kasus gagal ginjal di Indonesia kali ini disebabkan oleh faktor lain, misalnya infeksi, pengoplosan EG/DEG untuk obat ini tetap merupakan kejahatan besar yang sudah ada presedennya. Sayangya, potensi kejahatan besar ini luput dari pengawasan BPOM. Penny mengatakan bahwa saat kasus ini muncul, BPOM belum memiliki metode standar untuk melakukan pemeriksaan EG/DEG di dalam sirup. Jadi memang selama ini pemeriksaan tersebut belum menjadi pemeriksaan rutin di lapangan.
Pada awal investigasi, BPOM belum menemukan sirup yang dicurigai. Maka lembaga pengawas ini mengeluarkan jurus sapu jagat: melarang penjualan semua sirup untuk sementara. Larangan ini memang sangat merepotkan, terutama bagi apoteker. Faktor inilah yang tampaknya secara psikologis membuat sebagian apoteker lebih suka dengan teori yang menyatakan sirup bukan biang keladinya.
Dari beberapa kasus di atas, setidaknya ada dua kasus yang sumber bahan bakunya berasal dari suplier di Cina, yaitu kasus yang terjadi di Panama dan Haiti. Kita belum tahu hasil penelusuran BPOM hari ini. Namun, ada satu hal yang jelas, yaitu sebagian besar bahan baku farmasi di Indonesia saat ini berasal dari Cina.
Pengoplosan EG/DEG untuk farmasi adalah kejahatan besar. Di Cina, urusan seperti ini bisa berakhir dengan hukuman mati. Pada 2007, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Cina, Zheng Xiaoyu, dihukum mati karena terbukti menerima suap dari perusahaan farmasi yang mengedarkan obat dan bahan obat substandar. Salah satunya adalah gliserin yang dioplos dengan dietilen glikol, yang kemudian menyebabkan kasus keracunan massal di Panama.
Kasus di Indonesia kali ini membuka satu hal yang sangat mendesak untuk diterapkan, yaitu keterbukaan data obat. Penny menyebut, perusahaan farmasi yang bermasalah ini sejak pandemi mengganti suplier bahan baku pelarut obat dengan yang mutunya lebih rendah. Belum diketahui alasannya. Namun, apa pun alasannya, dari mana pun bahan bakunya berasal, aspek keamanan mestinya tidak boleh dikorbankan, apalagi hanya karena masalah harga.
Dengan adanya kasus ini, BPOM perlu mengeluarkan jurus sapu jagat berikutnya: semua data obat harus dilaporkan, termasuk data semua bahan baku farmasi. Pabrik obat juga harus mencantumkan bahan tambahan obat di kemasannya. Dalam urusan ini, regulasi obat masih kalah dari regulasi makanan. Kemasan mi instan saja mencantumkan semua bahan tambahan. Tetapi di sirup parasetamol kita tidak pernah tahu apa saja bahan tambahan yang digunakan.
Ini tidak hanya terkait dengan kasus EG/DEG sekarang. Informasi bahan tambahan ini juga perlu, misalnya, untuk konsumen yang menghindari alkohol karena alasan kehalalan. Alkohol juga merupakan pelarut obat yang cukup banyak digunakan tetapi jarang dicantumkan di kemasan. Hanya sedikit produk yang secara terang-terangan mencantumkannya, misalnya obat batuk Vicks Formula 44. Padahal informasi ini sangat diperlukan oleh konsumen.
Yang lucu, banyak sirup parasetamol dipasarkan dengan embel-embel “bebas alkohol” agar laris. Padahal konsumen juga tidak tahu mana sirup yang berisi alkohol. Jika sirup tidak berisi alkohol, pelarut apa yang digunakan? Gilserin, propilen glikol, atau apa? Jadi selama ini konsumen memang disuruh percaya begitu saja kepada pabrik obat tanpa informasi yang memadai.
Jika kasus EG/DEG kali ini tidak membuat tata farmasi menjadi lebih transparan, kita memang layak mendapat ejekan filsuf Jerman Georg Hegel, “Sejarah mengajarkan bahwa kita dan pemerintah tidak belajar sama sekali dari sejarah.”