Manhwa Korea seringkali mengandung kekerasan dan dinamika gender.
Penggemar manhwa sering kali menerima dan bahkan mencari hubungan toksik dalam cerita.
Romantisasi kekerasan dalam manhwa dapat mencerminkan dan memperkuat norma-norma patriarkal di masyarakat.
Di dunia nyata, percakapan di atas tentu mengundang kekhawatiran berbagai pihak. Mungkin Unit Perlindungan Perempuan dan Anak setempat akan terlibat dalam perkara. Tetapi dalam dunia manhwa atau yang kerap disebut gepeng, premis seperti itu justru mengundang penggemar untuk menantikan episode-episode berikutnya.
Gepeng adalah istilah yang biasa digunakan oleh penggemar Indonesia untuk menyebut manhwa, yaitu komik atau kartun asal Korea Selatan. Manhwa banyak diproduksi dalam format digital dan diterbitkan dalam berbagai platform, seperti Webtoon dan Tappytoon dan dibaca dengan cara digulirkan ke bawah. Format distribusi digital, tampilannya yang penuh warna, ilustrasi karakter yang super cakep, dan formasi plot a la drama Korea membuat format komik ini menjadi magnet pembaca.
Sama seperti drama Korea, genre terlaris dari manhwa adalah romansa heteroseksual. Tak jarang mereka yang menonton drama Korea juga membaca manhwa dan tak segan membeli koin untuk membeli episode-episodenya.
Saya memperhatikan ada beberapa trope yang sering diangkat, seperti perjodohan, nikah kontrak, percintaan kantor, hingga fantasi pindah dimensi atau isekai. Kegelisahan saya muncul ketika saya menyadari ada banyak manhwa dari trope ini menggunakan formula protagonis laki-laki yang red flag jatuh cinta dengan protagonis perempuan yang tidak berdaya. Anehnya, hubungan toksik seperti ini justru diterima—dan bahkan dicari—oleh para fans.
Saya punya teori para fans cenderung menikmati trope dan hubungan red flag karena karakternya memiliki penampilan yang menarik. Protagonis laki-lakinya biasanya good looking dan berotot, kaya, punya koneksi luas, manipulatif, posesif, obsesif, dan rela menghalalkan segala cara untuk memiliki sesuatu. Sementara karakter perempuannya biasanya digambarkan cantik tapi lebih muda, polos, naif, agak kere, keluarganya berantakan, tidak punya banyak teman, korban perundungan, dan segala kesulitan yang ada di dunia.
Para protagonis laki-laki biasanya melakukan hal di luar nalar untuk mendapatkan perhatian dan cinta protagonis perempuan. Mulai dari manipulasi ekonomi seperti membayar utang atau biaya sekolah, menguntit, bertindak posesif, mengisolasi protagonis perempuan, hingga memperkosa. Lebih parahnya lagi, hal-hal ini dibingkai sebagai hal yang romantis alih-alih sebagai tindak kejahatan. Penggemarnya pun tetap setia menantikan manuver cinta di luar nalar para karakter gepeng di episode selanjutnya.
Dalam gepeng fantasi aristokrat Cry, or Better Yet, Beg, yang menceritakan romansa Layla Llewellyn, seorang perempuan muda yatim-piatu, berkali-kali dibuang oleh kerabatnya, yang akhirnya diasuh oleh tukang kebun dari kediaman Matthias von Herhardt, seorang Duke superkaya dan berkuasa—tentunya cakep rupawan. Herhardt adalah male lead yang super manipulatif, obsesif, control freak, dan eksploitatif dalam konteks seksual. Sementara Layla, female lead tanpa kuasa bahkan tanpa orang tua, diposisikan harus tunduk dengannya. Kondisi tersebut dengan ajaib dikemas dalam premis: si male lead ini memang gila, tetapi itu bentuk bucinnya. Di akhir cerita, female lead jatuh cinta pada penyiksanya.
I Tamed My Ex-Husband’s Mad Dog lebih ngaco lagi. Protagonis laki-lakinya tidak waras karena super posesif, manipulatif, hingga mengisolasi female lead-nya atas nama cinta. Gepeng office love gemas seperti Iseop’s Romance atau Can't Get Enough of You pun tidak lepas dari karakterisasi male lead yang suka power trip dengan memberi beban kerja tidak masuk akal kepada bawahannya biar bisa berduaan di luar jam kerja. Kondisi itu kembali disulam dalam situasi yang manis, sehingga pembaca mengesampingkan betapa creepy-nya situasi itu jika terjadi di kehidupan nyata. Serupa dengan male lead dari Cheese in the Trap yang saking protektifnya tidak segan menghancurkan orang-orang di sekitar protagonis perempuannya.
Tebak apa yang terjadi dalam dinamika hubungan male lead dan female lead gepeng-gepeng di atas? Yup, mereka tetap bersatu dalam cinta. Setelah semua tipu daya, penculikan, bahkan perkosaan yang menimpa mereka, tetaplah cinta menyatukan takdir mereka.
Teori kedua saya soal kenapa cerita seperti ini bisa laku keras karena premis damsel in distress ala Cinderella menghadirkan fantasi bagi para perempuan untuk menjadi karakter yang terpilih, bernilai, dan sempurna untuk pasangannya. Trope ini menempatkan perempuan sebagai subjek yang harus ditolong. Kisah klasik lainnya, Beauty and the Beast, sedikit-banyak menyiratkan bahwa perempuan sebaiknya menjadi pihak yang menerima cinta dari si toksik demi mendapat happy ending. Model romansa klise tersebut menyiratkan kehidupan perempuan akan membaik kalau ia mau menerima “afeksi” dari pasangannya.
Sadar atau tidak, konsep patriarkis seperti ini menuntun pembaca untuk tunduk pada peran gender tradisional. Perempuan harus mengutamakan perasaan serta tunduk pada dominasi laki-laki. Memang, manhwa hanyalah fiksi. Tapi ia sudah lumrah dianggap sebagai cermin dari dunia nyata. Maka dari itu, diskursus etik mengenai fantasi soal kekerasan, terutama dalam posesivitas dan perkosaan, kerap kali bermuara pada argumen bahwa hal itu “hanya kink atau sexual excitement”, “sebatas fantasi dalam teks dan bukan kenyataan”, “pengungkapan dan reklamasi trauma”, serta analisis-analisis lainnya.
Tingginya minat pasar terhadap fiksi dark romance di tengah tingginya angka kekerasan terhadap perempuan di dunia nyata merupakan fenomena yang membuat saya garuk-garuk kepala. Pada konteks Indonesia saja, Komnas Perempuan mendapat laporan 289.111 kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2023. Sebanyak 99 persen diantaranya merupakan kekerasan di ranah personal. Ini baru yang dilaporkan, belum mengungkap keseluruhan gunung es yang ada di lapangan.
Tetapi tampaknya masyarakat kita tetap getol terhadap media yang mengeksploitasi kekerasan. Entah karena fiksi menjadi coping mechanism masyarakat atas kekerasan sesungguhnya di dunia nyata, atau masyarakat justru menganggap kekerasan sebagai hiburan.
Meski banyak pembaca sadar akan betapa buruknya romantisasi penggambaran kekerasan dalam manhwa, mereka tetap saja membaca manhwa-mahwa itu. Perbedaannya paling ada di sikap mereka: ada yang terang-terangan enggan membaca manhwa-manhwa tersebut, ada pula yang tetap membaca meskipun meng-cancel mati-matian para pihak yang toksik. Kelompok kedua ini menarik, sebab keberadaan mereka menunjukkan membaca manhwa toksik adalah guilty pleasure.
Pengakuan dosa: saya juga membaca manhwa dengan plot klise dan karakter toksik. Pada akhirnya, saya dan mungkin ribuan pembaca lainnya, menganggap imaji bahwa female lead akan bahagia dengan skema romansa tradisional adalah ending bahagia yang sesungguhnya. Kekerasan dan manipulasi oleh male lead menjadi eskapisme dari kekerasan dan manipulasi sungguhan di dunia nyata. Setidaknya, female lead akan berakhir bahagia. Di dunia nyata, cowok-cowok seperti itu sangat kecil kemungkinannya bertaubat nasuha.
Perasaan-perasaan negatif seperti kesedihan, kemarahan, dan rasa greget dari membaca kisah tragis memang membuat ketagihan. Ada sebuah argumen yang menarik bagi saya mengenai hal ini, yaitu cerita sedih dan karakter red flag dalam karya fiksi memanfaatkan simpati pembaca untuk memperdalam keterlibatan mereka pada cerita.
Bagaimana kita menikmati manhwa toksik adalah pengalaman personal. Membaca gepeng toksik dapat menimbulkan ketidaknyamanan sebagai respons estetis terhadap seni yang sulit diterima. Ini justru bisa saja merugikan kita sebagai pembaca karena menghadirkan dampak emosional yang tidak diinginkan dan memicu justifikasi atas kekerasan dalam ranah personal. Demikian, kelompok penggemar juga harus selalu aware dan tidak menormalisasi kekerasan dalam manhwa di dunia nyata. Romansa beracun sudah seharusnya dikurung hanya dalam bentuk fiksi saja.
Apapun itu, saya sadar kita tidak bisa mengontrol preferensi dan penilaian moral masyarakat akan fiksi dan karya seni lain. Setidak-tidaknya, kisah pilu bisa dinikmati tanpa perasaan berkhianat pada komitmen anti kekerasan terhadap perempuan karena kedua pihak sama-sama sengsara. Setidaknya.