Soal Jalan Kaki, Jakarta Lebih Suram daripada Film Distopia

Belum lama ini saya menonton sebuah klip film, di mana pemeran utama perempuannya digambarkan berjalan kaki malam-malam dari apartemen yang kumuh dan gelap, naik lift reyot ke bagian bawah jalan, jalan sedikit lagi ke warung bobrok dan membeli sekaleng minuman, lalu kembali ke lift rongsokan, dan berjalan lagi ke apartemen.

Wow, pikir saya. Bahkan sebuah kota distopia dalam film noir lebih walkable daripada Jakarta! 

Bayangkan kamu seorang perempuan di Jakarta, lalu kamu harus jalan kaki sendirian malam-malam ke minimarket untuk membeli kebutuhan. 

Sori, nggak dulu.

Kebanyakan orang akan memilih pesan belanjaan lewat ojol atau naik motor ke minimarket yang jaraknya mungkin 200 meter dari tempat tinggal. Tata kota kita memang mendorong warganya untuk makin konsumtif, mengeluarkan banyak uang dan menghasilkan banyak polusi.

Jakarta tidak cuma Thamrin-Sudirman yang bagus diunggah di Instagram. Sebagian besar kota ini terdiri dari kolong-kolong tol, jalan layang beton bertumpuk-tumpuk, jembatan penyeberangan yang usang dan terlalu tinggi untuk didaki, serta trotoar penuh lubang di atas got mampet. Ini belum ditambah resiko kena catcall abang-abang, budeg karena kepapasan dangdut dorong, atau jatuh kejeblos lubang trotoar. Ditambah suhu udara yang bisa mencapai 34 derajat celcius di tengah hari serta ketiadaan penerangan yang cukup di malam hari, jalan kaki di Jakarta terasa seperti hukuman. 

Sebenarnya apa aja sih ciri-ciri kota yang enak buat jalan kaki? Apakah kota seruwet Jakarta bisa mencapainya? Ayo kita berkhayal tentang kota impian yang enak buat jalan-jalan.

1. Rindang

Jalanan yang rindang dengan banyak pohon dan tanaman semak akan membuat pengguna jalan serta pejalan kaki lebih aman. Pagar hijau atau area berumput bisa ditanam di antara jalan aspal dan trotoar, sehingga pejalan kaki terlindungi dari lalu lintas kendaraan bermotor. Selain itu, pepohonan bikin udara lebih sejuk sehingga betah jalan kaki, sekaligus menyerap emisi dari kendaraan, dan membantu menyerap air supaya air hujan tidak menggenang. Jika pikiran lagi butek, warga juga bisa langsung minggir dan touch some grass…

2. Trotoar yang lebar dan terang, tidak ada papan iklan, tiang listrik, atau kabel molor

Siapa yang kalau jalan kaki di trotoar berasa kayak lagi lomba halang rintang? Keberadaan papan iklan, tiang listrik, kabel-kabel yang malang melintang di atas trotoar suka menyusahkan orang untuk berjalan. Selain itu, tentu saja mereka buruk rupa. Alih-alih memasang papan iklan, pemerintah kota harusnya memasang lebih banyak lampu penerangan, bangku untuk duduk beristirahat, serta memastikan perawatan trotoar supaya halus tanpa lobang yang bisa membahayakan pejalan kaki. Trotoar juga harus lebar dengan ukuran yang konsisten untuk memudahkan orang-orang yang berpapasan. The Americans with Disabilities Act (ADA) menyarankan trotoar seharusnya selebar paling tidak 5 kaki atau sekitar 153 cm. Trotoar di Singapura juga diberi kanopi sehingga pejalan kaki tidak perlu mandi keringat di bawah matahari terik tropis.

3. Mengatur dan mendukung kaki lima

Banyak orang mengeluh trotoar kita sering diserobot kaki lima. Padahal, keberadaan pedagang di pinggir jalan yang beroperasi sampai jauh malam bisa mengurangi tindak kekerasan di jalanan. Seorang warga Los Angeles, Alissa Walker, menulis bahwa melihat keramaian penjual makanan di pinggir jalan membuatnya merasa lebih aman, sedangkan keberadaan polisi berseragam membuatnya merasa lebih cemas. Jika pemerintah kota bisa mengatur pedagang makanan di pinggir jalan serta memberikan aturan jarak antar lokasi pedagang, niscaya berjalan kaki bisa jadi kegiatan yang lebih aman dan menarik.

4. Transportasi umum bukan sekedar gimmick politik

Tata kota yang baik adalah tata kota yang berorientasi pejalan kaki, bukan berorientasi mobil seperti Jakarta. Kota ini sudah kadung menyembah emisi. Dengan banyaknya jalan tol, akses dari kantor ke tempat tinggal yang hanya bisa dicapai dengan mobil, serta tarif taksi online yang lebih murah kalau langsung ke tujuan daripada jika kita transit ke transportasi umum, memaksa warga yang mobilitasnya tinggi untuk memiliki paling tidak satu jenis kendaraan bermotor. Sementara itu, stasiun MRT masih dijejali iklan kemudahan kredit kendaraan bermotor dan stasiun LRT bisa dipakai main zombie-zombie-an saking sepinya. KRL dan Transjakarta yang lebih murah tidak bisa diprediksi jadwalnya, selain itu desak-desakan dengan penumpang lain bikin kucel dan enggak cakep lagi ketika sampai tujuan. Proyek transportasi umum yang memadai sering dicemari kampanye politik, dan pengadaannya diselubungi korupsi.

Hiiih pokoknya serba salah.

Kota impian yang enak buat jalan kaki harusnya punya sistem transportasi terintegrasi dan bisa diandalkan, dengan kendaraan pengumpan yang nggak suka ngetem sembarangan atau kebut-kebutan ketika ditantangin sopir angkot lain (kisah nyata saya naik angkot di Palmerah, tapi ini cerita untuk lain waktu saja). Halte tempat menunggu bus juga harus aman, terang, dan teduh serta bisa melindungi penumpang dari terik matahari atau hujan. Harusnya tidak ada cerita kehujanan kuyup di halte Slipi (kisah nyata saya turun dari Damri Bandara waktu pertama kali menginjak Jakarta, tapi ini cerita untuk lain waktu saja).

5. Mewajarkan jalan kaki serta ada banyak tempat transit yang asyik buat nongkrong

Apa yang terjadi ketika saya jalan kaki sejauh 2 km dari Halte Kebayoran Lama Bungur ke rumah kost saya di Tanah Kusir? Saya didatangi dua pengendara ojol yang khawatir melihat saya jalan jauh sendirian. Mereka menawarkan saya untuk numpang gratis supaya tidak kenapa-kenapa di jalan.

Kebaikan hati warga ini tidak sepadan dengan kerasnya kota ini kepada pejalan kaki, sehingga perempuan berjalan kaki sendirian selalu dianggap kasihan dan harus dibantu. Lain cerita jika lebih banyak warga yang mewajarkan jalan kaki sebagai aktivitas yang memang seharusnya dilakukan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

Saking kagetnya jalan kaki bisa dilakukan warga jika sarana transportasi publiknya mendukung, muncullah fenomena Citayam Fashion Week di mana para remaja memanfaatkan kendaraan umum untuk nongkrong di hub terintegrasi Dukuh Atas. Hal ini sempat membingungkan para petugas keamanan yang berdilema untuk mengusir mereka: tidak ada aturan yang melarang golongan tertentu menggunakan Dukuh Atas sebagai tempat umum, tapi kok orang-orang miskin nongkrong di sini terasa meresahkan ya? Begitulah kira-kira yang mereka pikirkan.

Petugas keamanan mengusir orang nongkrong di pinggir jalan juga terjadi di Bundaran HI. Seorang warga mencuit tentang pengalamannya diusir petugas ketika sedang duduk-duduk di trotoar Bundaran HI. Padahal, trotoar adalah public space yang harusnya enak buat bercengkerama dan sekedar cari angin. Trotoar seharusnya bukan hanya buat jalan kaki saja, tapi juga sebagai tempat bertemunya berbagai aktivitas sosial. Kan asik ya nongkrong di trotoar sambil nonton orang-orang main skateboard, foto-foto, dan jajan starling?

Upaya untuk mewajarkan jalan kaki sebenarnya sudah muncul dari berbagai kelompok jalan kaki, seperti komunitas Jalan Gembira dan Gang.gang.an di Yogyakarta, serta Manic Street Walkers di Surabaya yang suka menelusuri jalan-jalan kecil di kota masing-masing sebagai alternatif wisata. Akun Dari Halte ke Halte juga turut mempromosikan penggunaan transportasi umum di Jakarta dan sekitarnya dengan merekam khazanah kuliner dekat stasiun atau halte. Semoga dalam waktu dekat kita tidak lagi melihat jalan kaki sebagai sekedar rekreasi, tapi juga sebagai bagian integral dari keseharian.

6. Work from Home

Pandemi COVID 19 mengajarkan pada kita bahwa tidak semua pekerjaan harus dilakukan dari kantor. Aturan bekerja dari rumah memangkas semua perjalanan dari dan ke kantor, yang dilakukan banyak warga Jakarta setiap hari selama sekian dekade. Ketika kantor mulai memerintahkan untuk kembali bekerja dari kantor, ya jadi macet lagi, jadi berpolusi lagi. Padahal jika pemerintah kota mengatur supaya karyawan boleh bekerja dari rumah atau dari mana saja, terbukti lalu lintas jadi lebih baik, produktivitas kerja meningkat, dan kita bisa punya banyak waktu untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan seperti jalan kaki sore-sore. 

Selain itu, jika kita bisa mendesak korporasi untuk membiayai perjalanan serta kerugian waktu yang terjadi akibat commute, pasti sekarang kita punya sistem perumahan yang lebih murah dan dekat dari kantor, atau paling tidak, boleh lebih sering WFH.

Bjork pernah berkata, kalau lagi kesal coba keluar jalan kaki selama sejam, niscaya kekesalanmu akan mereda. Yah, Bjork kan jalan kakinya di Islandia. Jika warga Jakarta lagi kesal lalu jalan kaki di Jakarta selama sejam, niscaya kekesalan mereka akan jadi bibit perang sipil.