Spotify: Menebak Selera Musik dengan Akurat Digitalisasi telah mengubah cara kita menikmati musik. Dulu, musik baru hanya bisa ditemukan melalui acara TV seperti MTV Ampuh, Inbox, atau Dahsyat. Kini, dengan platform seperti Spotify, semua berubah. Musik dari berbagai genre, termasuk K-pop dan J-pop yang dulu sulit diakses, kini mudah ditemukan hanya dengan beberapa klik.
Namun, perubahan ini membawa tantangan tersendiri. Band dan penyanyi lokal kini harus bersaing lebih ketat, terutama setelah pandemi yang memukul industri musik secara global. Meski begitu, ada sisi positifnya—platform streaming seperti Spotify membuka jalan bagi band-band indie untuk dikenal lebih luas. Lihat saja daftar Top Indonesian Artist of 2023, di mana beberapa musisi indie seperti Tulus dan Pamungkas berhasil masuk.
Spotify punya cara unik untuk memastikan rekomendasi musiknya tepat sasaran. Mereka mengandalkan data kebiasaan mendengarkan lagu setiap pengguna untuk membuat rekomendasi yang dipersonalisasi. Contohnya, jika kamu sering memutar lagu-lagu punk, algoritma Spotify tidak akan merekomendasikan lagu dangdut yang tidak sesuai seleramu.
Melalui kombinasi antara machine learning (ML) dan natural language processing (NLP), Spotify mampu memprediksi vibes dari sebuah lagu. Jadi, meski sebuah lagu terdengar ceria namun memiliki lirik yang sedih, Spotify tetap bisa menyesuaikan rekomendasinya. Tak hanya itu, mereka juga menggunakan manusia untuk mengoreksi hasil dari algoritma mereka, sehingga hasilnya lebih akurat.
Satu hal menarik dari Spotify adalah mereka tidak hanya mengandalkan data musik, tetapi juga kepribadian pengguna. Dengan mendanai penelitian yang menguji korelasi antara kepribadian Big Five dan genre musik yang disukai, Spotify bisa memberikan rekomendasi yang lebih personal.
Penelitian ini melibatkan ribuan sampel dan membuktikan bahwa ada korelasi yang cukup kuat antara kepribadian dan selera musik seseorang. Ini memungkinkan Spotify untuk memberikan rekomendasi lagu yang benar-benar 'gue banget', bahkan hanya berdasarkan kebiasaan mendengarkan musik.
Jika dibandingkan dengan Apple Music, Spotify jauh lebih unggul dalam hal personalisasi. Saat kamu membuka Apple Music, meski telah diubah ke regional Indonesia, rekomendasi yang muncul tetap didominasi oleh lagu-lagu berbahasa Inggris. Berbeda dengan Spotify yang memahami bahwa mayoritas pengguna di Indonesia lebih menyukai lagu-lagu berbahasa lokal.
Orang mendengarkan musik dengan berbagai alasan—untuk bekerja, relaksasi, atau hanya untuk mengikuti tren. Spotify memahami bahwa setiap motivasi ini membutuhkan pendekatan yang berbeda. Mereka menawarkan playlist yang dikurasi khusus, seperti "Kopikustik," yang cocok diputar di kafe.
Jadi, apa yang akan kamu dengarkan hari ini?
Subtitel: Musik x psikologi x sihir machine learning [emoji robot].
Digitalisasi mengubah cara manusia mendengarkan musik. Dulu, orang-orang mengetahui musik baru dari TV, lewat acara MTV Ampuh, Inbox, Dahsyat, Planet Remaja, Klik!, Mantap, dan RadioShow. Teman-teman saya yang saat itu masih SD suka mendendang lagu Doy-nya Kangen Band karena tahu lagu ini dari TV.
Dengan munculnya digitalisasi dan platform streaming seperti Spotify dan media sosial, acara-acara musik TV tadi tinggal menjadi relik kebudayaan. Genre musik yang didengarkan pun menjadi lebih beragam—tak hanya lagi musik lokal dan Barat, tapi juga K-pop, J-pop (yang terkenal sulit untuk diakses!), dan masih banyak lagi.
Perubahan ini, sayangnya, tidak selalu menguntungkan. Berbagai band dan penyanyi lokal jadi sepi job. Fenomena ini semakin diperparah dengan larangan manggung selama COVID-19. Jadwal yang tadinya sudah sepi, semakin sepi saja.
Kabar baiknya, orang-orang nggak cuman mantengin band atau penyanyi dari label musik ternama, mereka mulai kenal band atau penyanyi dari label indie. Melihat Top Indonesian Artist of 2023 versi Spotify, setidaknya ada 6 band atau musisi dari label indie, seperti Tulus, Nadin Amizah, Hindia, Last Child, Virgoun, dan Pamungkas.
Di tengah kemudahan mengakses internet, banyak platform musik menawarkan rekomendasi lagu. Masalahnya, musik yang direkomendasikan belum tentu cocok dengan keinginan dan selera pengguna. Ini membutuhkan penjelasan psikologi, ilmu yang memahami pengalaman subjektif manusia. Rekomendasi Spotify menjadi yang terbaik, karena mereka melibatkan riset psikologi dalam membangun UI/UX, fitur, algoritma, dan machine learning-nya.
Lagu Ini GUE BANGET!
Bagi Spotify, data soal kebiasaan mendengarkan lagumu merupakan data yang penting. Soalnya ‘kan nggak mungkin bikin rekomendasi tanpa dasar acuan. Nah, kita intip apa saja yang mereka lakuin buat bikin pengguna ngerasa 'ini sih GUE BANGET!'
Desain yang bagus haruslah intuitif, di mana pengguna bisa menggunakan aplikasi dan situs tanpa perlu diberi tahu. Dalam hal ini, Spotify menggunakan teori psikologi Gestalt sebagai rujukan untuk mendesain fitur karena dapat menjelaskan bagaimana manusia mengenali pola.
Sebagai contoh, pada desain baru Spotify Desktop, Home dan Search benar-benar dipisahkan dari Your Library. Pengelompokkan ini menegaskan fungsi yang berbeda, Home dan Search biasanya digunakan ketika pengguna ingin mengeksplorasi lagu. Sedangkan Your Library digunakan ketika orang ingin memutar kembali lagu atau podcast yang pernah atau sering didengar. Dalam istilah Gestalt, pengelompokkan Home dan Search didasarkan pada proximity, yaitu kedekatan suatu elemen.
Tidak seperti desain sebelumnya, posisinya tidak lagi di pojok kiri atas, melainkan berada di tengah atas. Dari segi pengalaman pengguna, ini lebih baik. Kita tidak perlu lagi melirik atau mendongak ke kiri atas. Lebih sedikit upaya yang harus dilakukan oleh pengguna. Setelah menekan Home atau Search, fokus pengguna langsung diarahkan pada daftar rekomendasi atau daftar lagu di bawahnya. Pengubahan layout Home dan Search menjadi di atas daftar lagu mengikuti prinsip Gestalt berupa continuation, karena menciptakan alur visual yang jelas, memungkinkan mata memindai secara alami dari atas ke bawah.
Desain yang bagus tidak ditentukan berdasarkan kira-kira. Keberhasilan desain suatu aplikasi atau website bisa diukur melalui engagement. Jika pengguna tidak memanfaatkan fitur yang tersedia ada kemungkinan bahwa desain terkait tidak menyita atensi pengguna. Barangkali ada fiturnya, tetapi tersembunyi di balik navigasi yang rumit dan membingungkan. Bisa jadi penempatannya tidak strategis, sehingga luput dari perhatian pengguna, dan seterusnya.
Nah sekarang bagaimana cara Spotify Mereka harus tau, gimana nih karakteristik masing-masing konsumen. Orang yang riwayat play dan history-nya cuman lagu punk, nggak mungkin ditawarin dangdut. Nggak cocok. Punk og.
Dengan data pengguna yang besar, Spotify bisa memberi rekomendasi sesuai dengan kemiripan lagu yang disukai pengguna. Misalkan, kamu abis muter lagu 'Tiga Titik Hitam'-nya Burgerkill. Algoritma Spotify bakal nentuin, dari sekian banyak pengguna yang suka 'Tiga Titik Hitam', lagu apa saja yang mereka simpan di playlist. Katakanlah, kebanyakan pengguna menyimpan lagu '510 - Esa'. Ada kemungkinan lagu itu bakal direkomendasikan buat kamu. Ini disebut pemfilteran kolaboratif.
Pada tingkat yang lebih canggih, pengelompokan dilakukan menggunakan kombinasi antara machine learning (ML) dan natural language processing (NLP). Hasilnya adalah pelabelan lagu berdasarkan genre dan vibes-nya. ML dapat memprediksi vibes lagu, dan NLP dengan BoW atau NLI dapat membantu meningkatkan akurasi prediksi tersebut dengan menganalisis lirik dan melodi, sehingga konteks apakah suatu lagu ber-vibes sedih atau bahagia dapat dikenali dengan lebih baik. Tapi, ada anomali seperti 'Yoru ni Kakeru' dari Yoasobi atau lagu-lagu koplo, yang secara melodi, seperti lagu bahagia, di sisi lain liriknya sedih.
Ada juga pengelompokan lagu yang sebagian prosesnya masih melibatkan manusia. Biasanya tiap lagu sudah dikasih diskografi (katalog musik) oleh label rekaman atau musisi indie, tapi karena Spotify memiliki data musik yang besar, kadang ada diskografi yang nggak cocok dengan band atau penyanyinya. Misal, di Indonesia ada band dengan nama SID, di Jepang juga ada. Karena namanya sama, bisa aja data antara keduanya ketuker.
Supaya kasus ini bisa diatasi secara efisien, machine learning digunakan untuk mencocokkan diskografi yang tertukar berdasarkan metadata (informasi) dan karakteristik audio dari masing-masing penyanyi/band. Sistem ini diklaim punya akurasi 77% buat nemuin ketidakcocokan diskografi dan akurasi 45% buat mencocokkan diskografi dengan band atau penyanyi yang tepat. Berhubung sistemnya nggak sempurna, manusia masih diperlukan untuk mengoreksi pengelompokan ini.
Kepribadian banyak digunakan untuk memprediksi perilaku. Hal ini dikarenakan sifat kepribadian yang konsisten. Ada suatu kecenderungan yang membuat seseorang berbeda dengan lainnya.
Berhubung Spotify sudah punya data tentang kebiasaan pengguna, sudah mengelompokkan jenis-jenis lagu dengan vibes mirip, maka menguji korelasi antara lagu dan kepribadian akan sangat berguna.
Jika emang nggak ditemukan korelasi, maka nggak perlu mempertimbangkan kepribadian dalam ngerekomendasiin lagu. Tapi, kalau ternyata terbukti ada korelasi, maka itu bisa digunakan untuk menyusun rekomendasi yang lebih tepat sasaran. Nah, dalam kasus ini, Spotify mendanai penelitian yang menguji korelasi antara kepribadian Big Five dengan lagu yang disukai. Awalnya peneliti skeptis—memangnya ngaruh banget ya?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, peneliti menggunakan data yang sangat masif. Kurang lebih ada 5.808 sampel yang terlibat. Kemudian kebiasaan pengguna sewaktu dengerin lagu dipetakan berdasarkan genre dan mood musik. Setelahnya partisipan dikasih inventori Big Five untuk mengetes kepribadian mereka.
Setelah data terkumpul, para peneliti nyocokin antara kepribadian dan lagu yang suka mereka dengar berdasarkan uji statistik. Setelah diuji ternyata hasilnya akurat dengan tingkat prediksinya berkisar dari sedang ke tinggi. Jadilah kebiasaan dengerin musik dapat dipakai buat tahu kepribadian orang.
Hm, menarik ya. Saya jadi penasaran bandingin hasil penelitian sama hasil tes Big Five saya. Dalam tes Big Five, kepribadian diukur berdasarkan dimensi openness, conscientiousness, extraversion, agreeableness, dan neuroticism (terkadang disebut OCEAN). Dari lima dimensi, saya punya dua dimensi yang paling menonjol. Mereka mampu menebak kepribadian saya berdasarkan kebiasaan make Spotify doang. I can relate.
Dengan hasil tersebut, Spotify nggak lagi sekadar merekomendasikan lagu berdasarkan pengelompokan lagu, tapi juga kepribadian. Berhubung selera musik orang bisa dipengaruhi oleh di mana seseorang tinggal, maka demografi juga dianggap penting. Contoh, ketika saya membuka Spotify dengan mode Incognito (privat), Spotify memberikan rekomendasi lagu berbahasa Indonesia.
Bandingkan dengan platform musik serupa:
Apple Music justru mengalihkan kita ke daerah AS, tetapi pop up di bawah memberikan secercah harapan. Jika kita mengubah regionalnya menjadi Indonesia, mungkin kita akan mendapatkan rekomendasi lagu-lagu berbahasa Indonesia yang menarik. Mari kita coba.
SALAH! Rekomendasinya masih lagu-lagu berbahasa Inggris! Di situ memang ada NIKI sebagai penyanyi berdarah Indonesia, tetapi dia berkarir di AS dan lagu-lagunya berbahasa Inggris.
Saya masih berpikir positif dan mencoba scroll ke bawah
Sayangnya, Apple Music masih menampilkan lagu berbahasa Inggris.
Ya, ada lagu-lagu Indonesia sih, tapi mereka 'nyempil' di antara lagu-lagu berbahasa Inggris. Itu pun tak ada jaminan akan cocok dengan selera pengguna. Dari rekomendasi berdasarkan demografi saja, platform ini 'gagal memahami penggunanya'.
Berhenti bersikap seolah-olah AS adalah pusat tata surya. Mayoritas orang Indonesia (terutama Gen Z dan Milenial) masih suka lagu-lagu berbahasa Indonesia ketimbang Inggris. Berikut adalah statistik lagu yang disukai Gen Z dan Milenial, dilansir dari Databoks.
Secara kolektif, masyarakat di berbagai negara mempunyai preferensi musik yang berbeda, sehingga tidak dapat dipaksakan menyukai lagu dari negara asal suatu platform musik. Secara individu setiap orang juga berbeda. Di tengah masyarakat yang menyukai lagu-lagu lokal, ada juga orang yang menyukai lagu asing. Platform musik yang baik seharusnya dapat memenuhi preferensi konsumen yang berbeda-beda, dengan melihat perbedaan demografi dan karakteristik pengguna yang unik seperti kepribadian. Dalam hal ini, Spotify memanfaatkan aspek-aspek ini dengan baik dibandingkan dengan kompetitor lain.
Sedangkan, ada juga orang yang dengerin musik untuk kebutuhan sosial. Contohnya, denger musik, karena pengen tau mana nih yang lagi ngetren di tongkrongan. Buat tujuan semacam itu, Spotify ngasih slate, kumpulan musik yang udah dikurasi berdasarkan kategori tertentu. Pernah lihat rekomendasi semacam Kopikustik (koleksi lagu buat diputar di kafe) gitu kan? Nah, kurang lebih semacam itu.
Jadi, hari ini bakal dengerin lagu apa