Sritex Bangkrut di Tengah Deindustrialisasi dan Elite Indonesia yang Gagah-gagahan AI

  1. Indonesia mengalami deindustrialisasi akibat lemahnya kebijakan industri, serbuan impor, dan ketergantungan pada ekspor bahan mentah.

  2. PHK massal dan kebangkrutan Sritex mencerminkan semakin sulitnya industri manufaktur bertahan di tengah persaingan global.

  3. Gagasan besar tanpa eksekusi nyata membuat industri nasional kehilangan arah, sementara generasi muda memilih #kabursajadulu.



Februari lalu, muncul seruan #kabursajadulu di berbagai kanal media sosial. Awalnya digunakan untuk memamerkan kehidupan di luar negeri, tagar ini kemudian berkembang menjadi kritik terhadap kondisi politik dan ekonomi di Indonesia. Banyak yang mengunggah #kabursajadulu sebagai bentuk kejenuhan terhadap situasi dalam negeri, seiring dengan maraknya fenomena Indonesia Gelap. Kedua gerakan ini mencerminkan luapan frustrasi terhadap minimnya lapangan pekerjaan, masa depan yang tampak suram, serta respons pemerintah yang dinilai tidak memadai terhadap kebutuhan rakyat.


 

Pada tanggal 26 Februari 2025, Sritex yang menjadi kebanggan industri tekstil di Indonesia mem-PHK 10.665 pekerjanya. PT. Sri Rejeki Isman yang berdiri sejak 1966 ini memproduksi berbagai produk tekstil, seperti benang, kain mentah, kain jadi, dan produk-produk garmen seperti fesyen dan seragam. Walaupun sudah menguasai dari hulu ke hilir dan ekspor sampai ke berbagai belahan dunia, Sritex tak mampu untuk bertahan di 2025 setelah 59 tahun berdiri. Tutupnya Sritex mencoreng Indonesia di mata investor-investor tekstil dunia. 

 

Baik #kabursajadulu maupun kebangkrutan Sritex menjadi cerminan lemahnya penyerapan tenaga kerja di tengah momentum bonus demografi Indonesia. Fenomena ini mengindikasikan proses deindustrialisasi yang semakin nyata, di mana industri lokal kesulitan bertahan menghadapi serbuan produk impor. Akibatnya, sektor manufaktur kini berada dalam kondisi darurat. Tren deindustrialisasi ini berdampak langsung pada menurunnya kapasitas serapan tenaga kerja, yang pada gilirannya memperburuk angka pengangguran. Dengan semakin lemahnya sektor industri, perekonomian nasional semakin bergantung pada sektor-sektor seperti pertanian dan jasa, yang tidak mampu menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

 

Terjadinya deindustrialisasi di Indonesia tidak lepas dari kebijakan pemerintah dalam membangun industri dalam negeri. Ketua Umum Asosiasi Serat dan Benang Filamen Indonesia, Redma Gita Wirawasta, dalam keterangannya kepada tirto.id mengungkapkan bahwa sekitar 60 perusahaan tekstil telah gulung tikar, mengakibatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 13.061 pekerja. Angka ini menunjukkan kegagalan pemerintah mengelola industri nasional yang semakin terpuruk di tengah persaingan global dan derasnya arus impor.

 

Padahal, industrialisasi menjadi bagian utama dalam transformasi ekonomi karena sektor industri dapat menjadi tulang punggung dari pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam sejarahnya, Korea Selatan, Singapura, dan Republik Rakyat Tiongkok mentransformasikan ekonominya dari pertanian hingga industri berteknologi tinggi. Hal ini karena industri dapat dipertukarkan untuk mendapatkan devisa negara dan berproduktivitas tinggi.

 

Biasanya, negara berperan dalam membangun industri melalui kebijakan industrial yang mencakup intervensi serta stimulus fiskal dan moneter. Di Indonesia, pembangunan ekonomi dalam konteks industrialisasi mulai mendapat perhatian pada era Orde Baru, tepatnya sejak 1966. Dalam Proses Industrialisasi di Indonesia dalam Perspektif Ekonomi Politik, Retno Damayanthi mencatat bahwa sebelum 1966, Indonesia mengalami krisis ekonomi yang ditandai dengan inflasi tinggi dan pertumbuhan yang melambat akibat kebijakan ekonomi di era Presiden Sukarno. Baru pada dekade 1970-an, sektor industri mulai berkembang kembali, dengan industri pertambangan menjadi sektor unggulan. Namun, hasil eksploitasi sumber daya alam serta keuntungannya lebih banyak mengalir ke luar negeri, menunjukkan lemahnya kendali negara dalam mengoptimalkan manfaat industri bagi perekonomian nasional.

 

Pada era Orde Baru, Indonesia menerapkan strategi substitusi impor sebagai langkah utama dalam pembangunan industri. Melalui strategi ini, negara berperan aktif dalam mengintervensi sektor industri guna mengurangi ketergantungan pada produk impor. Pendekatan ini merupakan strategi umum yang diadopsi oleh banyak negara berkembang pada abad ke-20 untuk mempercepat industrialisasi. Dengan tujuan memenuhi kebutuhan domestik secara mandiri, pemerintah juga melakukan liberalisasi ekonomi, termasuk penghapusan sistem kontrol devisa dan pembukaan kran investasi asing.

 

Namun, sejak dahulu hingga sekarang, strategi industrialisasi Indonesia lebih menyerupai pendulum yang berayun mengikuti dinamika politik domestik, tanpa konsistensi ideologis yang kuat. Satu hal yang tetap bertahan dalam kebijakan industrialisasi dan ekonomi Indonesia adalah pragmatisme—di mana kebijakan diambil berdasarkan potensi pertumbuhan ekonomi dan sosial yang dapat diterima oleh elite politik. Di era tersebut, pertumbuhan sektor industri tercatat mencapai setidaknya 9 persen per tahun, menjadikannya salah satu pilar utama pembangunan ekonomi nasional.

 

Indonesia sempat menikmati lonjakan pendapatan dari minyak yang kemudian dimanfaatkan sebagai modal untuk diversifikasi ekonomi dan pengembangan industri padat karya. Periode 1970-1980-an menjadi era industrialisasi besar-besaran, di mana pemerintah Orde Baru mengarahkan surplus pendapatan minyak untuk memperkuat sektor manufaktur dan ekspor. Salah satu penerima manfaat dari diversifikasi ini adalah industri tekstil, termasuk Sritex, yang berkembang pesat sebagai bagian dari upaya menjadikan Indonesia sebagai basis produksi barang ekspor. Pemerintah juga aktif mendorong industrialisasi dengan membangun industri-industri besar yang berorientasi pada modal dan teknologi.

 

Investasi asing, terutama dari Jepang, memainkan peran penting dalam mendorong industrialisasi Indonesia pada era 1970-an. Salah satu dampak signifikan dari kebijakan ini adalah munculnya cikal bakal industri otomotif nasional, setelah pemerintah membuka pintu bagi investasi asing. Namun, kebijakan ini tidak lepas dari resistensi. Peristiwa Malari pada 1974 menjadi titik balik ketika gelombang protes menentang dominasi investasi asing, khususnya dari Jepang. Akibatnya, kebijakan perdagangan Indonesia setelah insiden tersebut cenderung lebih proteksionis, dengan upaya memperkuat industri dalam negeri di tengah tekanan globalisasi.


Kebijakan proteksionisme yang diterapkan pemerintah menciptakan iklim industri domestik yang kondusif bagi ekspansi perusahaan-perusahaan lokal. Proteksi serta investasi negara secara besar-besaran mendorong pertumbuhan pesat industri berat pada pertengahan 1980-an. Dalam kajian Aswicahyono et al. (2017), disebutkan bahwa kebijakan proteksionisme menjadi faktor utama di balik pesatnya pertumbuhan industri otomotif, meskipun sektor ini mengalami kemunduran drastis akibat krisis moneter 1998-1999.

 

Namun, setelah harga minyak anjlok, kebijakan industri di Indonesia mengalami perubahan besar-besaran. Pendulum kebijakan ekonomi bergerak ke arah liberalisasi, dengan pengurangan proteksionisme, peningkatan keterbukaan terhadap pasar dan investasi asing, serta penyederhanaan regulasi ekspor. Langkah-langkah ini bertujuan untuk mendorong daya saing industri nasional di pasar global dan mengurangi ketergantungan pada pendapatan minyak.

 

Salah satu dampak dari perubahan ini adalah meningkatnya kontribusi produk industri padat karya dalam total ekspor manufaktur. Jika pada pertengahan 1980-an produk padat karya menyumbang sekitar 45 persen dari ekspor manufaktur, angka tersebut meningkat signifikan menjadi 61 persen pada 1996. Transformasi ini menunjukkan pergeseran struktur industri Indonesia dari ekonomi yang bergantung pada sumber daya alam menuju sektor manufaktur yang lebih berorientasi ekspor.

 

Namun, pertumbuhan ekonomi berbasis industrialisasi di Indonesia tidak bertahan lama. Memasuki dekade 1990-an, pertumbuhan ekonomi mulai melambat akibat meningkatnya persaingan di pasar ekspor, lambatnya respons kebijakan pemerintah, turunnya produktivitas, serta apresiasi nilai tukar rupiah yang mengurangi daya saing industri nasional. Situasi ini semakin diperburuk oleh krisis moneter 1998, yang menyebabkan banyak perusahaan besar bangkrut dan membuat investor asing enggan menanamkan modalnya di Indonesia.

 

Setelah 2001, peran sektor industri dalam perekonomian terus menurun. Para ekonom menilai bahwa Indonesia mengalami Dutch disease atau “penyakit Belanda,” di mana kenaikan harga komoditas global membuat negara lebih mengandalkan ekspor bahan mentah seperti kelapa sawit dan kayu daripada membangun industri manufaktur yang berkelanjutan. Akibatnya, sektor industri tertinggal karena dianggap kurang menguntungkan dibandingkan sektor komoditas yang bersifat ekstraktif dan membutuhkan modal lebih kecil dibandingkan industri padat modal.

 

Faisal Basri, dalam presentasinya Gejala Dini Industrialisasi, menyoroti bahwa Indonesia telah meninggalkan status sebagai negara agraris, namun belum sepenuhnya berkembang menjadi negara industri. Sebaliknya, dalam lebih dari satu dekade terakhir, Indonesia telah bertransformasi menjadi negara berbasis sektor jasa. Data menunjukkan bahwa kontribusi sektor jasa terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus meningkat, mencapai 57 persen pada tahun 2022. Tren serupa juga terlihat di pasar keuangan, di mana kapitalisasi saham di Bursa Efek Indonesia pada 2023 didominasi oleh perusahaan-perusahaan sektor jasa, dengan porsi sekitar 60 persen. Menurut Faisal Basri, sektor penghasil barang—terutama industri manufaktur—mengalami kemunduran yang signifikan, menandakan semakin lemahnya struktur industri di Indonesia. 

 

Indonesia kini menghadapi fenomena deindustrialisasi yang semakin nyata. Persaingan global, terutama dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang telah menjadi pusat manufaktur dunia, semakin menekan industri nasional. Di dalam negeri, regulasi ketenagakerjaan yang dianggap tidak kompetitif, buruknya infrastruktur, serta ketidakpastian iklim bisnis memperparah kondisi ini. Selain itu, strategi pengembangan industri saat ini dinilai tidak terarah, karena tidak berfokus pada pendalaman struktur industri atau peningkatan nilai tambah ke tahap yang lebih tinggi. Akibatnya, kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus menurun, dari 32 persen pada 2002 menjadi hanya 19 persen pada 2023.

 

Pada awal 2000-an, Indonesia sempat bercita-cita membangun industri berteknologi tinggi, sebagaimana yang dibayangkan oleh Presiden B.J. Habibie melalui PT Dirgantara Indonesia yang memproduksi pesawat. Namun, ambisi ini kandas di tengah derasnya arus deindustrialisasi. Bahkan, industri yang berbasis teknologi sederhana pun kesulitan bertahan, apalagi untuk berkembang ke tingkat lebih tinggi. Minimnya dukungan pemerintah serta ketiadaan kebijakan industrial yang jelas membuat sektor manufaktur kehilangan arah dan tidak mampu bersaing di pasar global.

 

Lonjakan harga komoditas seperti kelapa sawit, batu bara, dan nikel pasca-reformasi semakin mendorong Indonesia ke arah ekonomi berbasis eksploitasi sumber daya alam, sementara sektor manufaktur tertinggal. Ironisnya, pada era Orde Baru, pemerintah justru berupaya melakukan diversifikasi agar lonjakan harga minyak tidak berujung pada Dutch disease dan sebaliknya, menjadi pendorong bagi pertumbuhan industri. Kini, ketergantungan pada ekspor bahan mentah membuat perekonomian nasional rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global.

 

Berbeda dengan era Orde Baru yang memiliki strategi industrialisasi yang lebih sistematis, Indonesia saat ini tampak kehilangan pakem dalam merumuskan kebijakan industri. Elit politik lebih mengutamakan visi yang bombastis dibandingkan strategi pembangunan yang realistis. Kebijakan industri kerap menyerupai model bisnis startup—menarik di atas kertas, tetapi belum tentu berdaya guna di lapangan. Hal ini terlihat dari proyek ambisius seperti Bukit Algoritma, yang digadang-gadang sebagai Silicon Valley versi Indonesia, serta wacana menciptakan pesaing Artificial Intelligence global seperti Deepseek, yang hingga kini belum menunjukkan hasil nyata.

 

Mantan aktivis PRD sekaligus kader PDIP, Budiman Sudjatmiko, mencetuskan proyek Bukit Algoritma sebagai upaya membangun industri berteknologi tinggi di Indonesia. Dengan modal awal sebesar Rp18 triliun, proyek ini dirancang sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang berfokus pada pengembangan teknologi dan industri 4.0. Namun, realisasinya jauh dari harapan. Kini, proyek yang semula digadang-gadang sebagai pusat inovasi teknologi nasional tersebut justru mangkrak, tanpa kejelasan arah dan hasil nyata.

 

Setelah gagasan membangun pusat inovasi teknologi 4.0 meredup, muncul wacana baru dari Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Luhut Binsar Pandjaitan. Kali ini, Indonesia berambisi menciptakan sistem kecerdasan buatan (AI) yang dapat menyaingi teknologi global seperti ChatGPT dan Deepseek. Namun, seperti proyek-proyek ambisius sebelumnya, pertanyaan besar yang muncul adalah sejauh mana rencana ini dapat direalisasikan, mengingat ekosistem riset dan pengembangan teknologi di Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara maju.

 

Kebijakan industrialisasi di Indonesia kerap mengikuti tren global tanpa membangun fondasi yang kokoh. Wacana pengembangan industri berteknologi tinggi selalu digulirkan oleh para elit, namun produktivitas industri yang sudah ada justru terus menurun. Bukannya memperkuat sektor manufaktur agar naik ke tingkat yang lebih tinggi dengan menghasilkan produk bernilai tambah, kebijakan industri lebih sering menjadi retorika tanpa strategi yang jelas. Akibatnya, ambisi menjadikan Indonesia sebagai negara maju justru tidak diiringi dengan langkah konkret untuk membangun basis industri yang berkelanjutan.

 

Dampaknya, Indonesia semakin terjebak dalam deindustrialisasi. Ketika negara-negara seperti Tiongkok, Vietnam, Bangladesh, dan Malaysia memperkuat daya saingnya di sektor manufaktur, Indonesia justru tertinggal dalam memproduksi barang ekspor, termasuk di sektor tekstil. Tanpa kebijakan industri yang berpihak pada penguatan daya saing domestik, perusahaan-perusahaan besar seperti Sritex pun harus gulung tikar, meninggalkan ribuan pekerja tanpa kepastian.

 

Ironisnya, gagasan besar tentang industrialisasi yang kerap didengungkan pemerintah justru berbanding terbalik dengan realitas di lapangan. Alih-alih membangun ekosistem industri yang kuat, kebijakan yang ada lebih banyak berkutat pada proyek ambisius yang tak jelas arahnya. Akibatnya, generasi muda yang kehilangan harapan terhadap masa depan industri nasional memilih untuk #kabursajadulu, meninggalkan Indonesia yang semakin kehilangan daya saingnya di sektor manufaktur global.