Stranger Things

Stranger Things Season 3: Mesin Waktu Untuk Melihat Kondisi Jurnalis Perempuan Di 1980an

Tulisan ini mengandung spoiler Stranger Things. 

Nancy Wheeler (Natalia Dyer) bangun dengan panik. Ia melihat ke jam di nakas di samping ranjangnya, lalu terperanjat. Ia sudah terlambat datang ke kantor media tempatnya magang selama liburan musim panas. Di sampingnya, Jonathan Byers (Charlie Heaton) baru bangun. Keduanya sama-sama panik dan buru-buru memakai baju. Sepasang kekasih itu segera tancap gas untuk pergi ke kantor media yang sama.

Di jalan, sambil berdandan, Nancy meminta Jonathan untuk mengendarai mobil lebih cepat. Berbeda dari Jonathan, Nancy bilang ia nggak boleh telat datang ke kantor. Sebab, Jonathan disukai sama semua orang di kantor, tapi Nancy nggak. 

Adegan tersebut merupakan adegan pembuka scene Jonathan-Nancy dalam Stranger Things season ketiga. Kita akan tahu kemudian bahwa Jonathan jauh lebih diterima di The Hawkins Post hanya karena dia laki-laki. Jonathan diberi kepercayaan untuk mencetak foto dan melakukan kegiatan-kegiatan jurnalistik lainnya. Sementara Nancy lebih banyak diberi pekerjaan yang nggak berhubungan sama sekali dengan dunia jurnalistik.

Setiap pagi, ia memberi sarapan para jurnalis yang semuanya laki-laki. Sementara mereka melahap sarapannya, Nancy harus memakan candaan seksis nggak lucu yang mereka lontarkan. Padahal di season sebelumnya, Nancy dan Jonathan, dibantu oleh Murray Bauman (Brett Gelman),  berhasil membuat karya jurnalistik yang menuntut Laboratorium Hawkins bertanggung jawab atas kematian sahabat Nancy, Barbara Holland (Shannon Purser). 
 
Tidak hanya dijadikan sasaran jokes nggak lucu, opini Nancy juga nggak didengarkan. Setiap ia punya satu isu yang bisa jadi menarik dan besar, jurnalis laki-laki senior malah meremehkan dan mencemoohnya. Sampai akhirnya Nancy memutuskan untuk melakukan investigasi sendiri. 

Agaknya kondisi itu sengaja dibuat untuk menggambarkan bagaimana jurnalis perempuan diperlakukan di kantor media lokal di Amerika Serikat pada 1980-an, yang merupakan latar waktu serial Stranger Things. Namun Kelly McBride, peneliti Poynter Institute menyatakan kondisi jurnalis perempuan dan media lokal di AS justru nggak sesuram itu. 

Hasil penelitian LSM jurnalisme itu menunjukkan pada tahun 1980an, surat kabar kecipratan rezeki dari penguatan ekonomi AS setelah perang dingin mulai memudar. Partisipasi perempuan di pasar tenaga kerja profesional AS sampai mencatat rekor. Dan ini termasuk jumlah jurnalis perempuan di berbagai media massa. 

Namun alih-alih memanfaatkan zeitgeist atau jiwa zaman itu, Stranger Things malah merepresentasikan pemimpin media lokal tahun 1980-an sebagai orang-orang yang sombong, tidak tertarik pada penderitaan masyarakat biasa, dan lebih banyak berinvestasi untuk melestarikan status quo daripada meminta pertanggungjawaban pada penguasa.

“Sudah umum di Hollywood, sutradara bersandar pada kiasan bahwa jurnalis adalah orang jahat. Sayang sekali Duffer bersaudara (sutradara Stranger Things) mempercayainya,” kata Kelly.

Omongan Kelly ada benarnya. Di film-film AS, jurnalis memang kerap ditampilkan sebagai tokoh antagonis. Dalam film The Greatest Showman (2017) dan Malcom & Marie (2021) misalnya, jurnalis sempat direpresentasikan sebagai tukang kritik yang nggak bisa bikin karya sendiri. Mereka pun nggak disukai oleh seniman. 

Tapi diskriminasi kepada jurnalis perempuan di Amerika Serikat bukannya nggak ada sama sekali. Nieman Reports mencatat para perempuan yang bekerja di Newsweek menjadi pelapor pertama kasus ketimpangan kerja perempuan ke Equal Employment Opportunity Commission (EEOC), organisasi yang mengurus kesempatan kerja yang setara di AS pada tahun 1970. Tindakan yang melibatkan gugatan hukum ini pun memaksa banyak pimpinan laki-laki di surat kabar untuk menangani masalah keragaman dengan lebih serius.

Bagaimana nasib jurnalis perempuan di Indonesia?

Sayangnya, jurnalis perempuan di Indonesia masih mengalami nasib serupa dengan Nancy. Di tengah masyarakat yang patriarkis, cerita jurnalis perempuan yang mengalami pelecehan seksual dari rekan kerja ataupun narasumber mereka kerap terdengar. Ada pula kasus dimana jurnalis perempuan yang dinilai “cantik” ditempatkan di pos liputan yang didominasi narasumber laki-laki karena mereka dianggap lebih mudah mendekati para narasumber. Di sisi lain, jurnalis perempuan yang bekerja di televisi juga kerap diminta untuk berpenampilan menarik. 

Pada 2022, PR2Media dan AJI Indonesia melakukan survei terhadap 852 jurnalis perempuan dari 34 provinsi di Indonesia. Hasilnya, hingga 82,6 persen dari total responden atau 704 jurnalis perempuan mengatakan pernah mengalami kekerasan seksual sepanjang karir jurnalistik mereka.

Dari 10 jenis kekerasan yang ditanyakan, jenis yang paling banyak dialami jurnalis perempuan adalah body shaming secara luring (58,9% dari total responden pernah menjadi korban kekerasan jenis ini), catcalling secara luring (51,4%), dan body shaming secara daring (48,6%). 

Selain itu, sebanyak 27,2% responden jurnalis perempuan mengatakan pernah diperlihatkan pesan teks maupun audio visual yang bersifat seksual secara langsung hingga dipaksa menyentuh atau melayani keinginan seksual pelaku secara luring (4,8%) dan dipaksa melakukan hubungan seksual secara luring (2,6%). 

Suramnya, sebanyak 134 jurnalis perempuan atau setara 15,7% dari total responden survei menjadi sasaran kekerasan seksual yang dilakukan oleh rekan kerja mereka. 109 jurnalis perempuan lainnya atau 12,8% pernah menjadi korban narasumber berita mereka. Selain itu, 222 jurnalis atau 26% dari responden pernah jadi korban dari orang lain, yang terdiri dari orang kantor seperti supir dan cleaning service serta orang yang mereka temui di lapangan–seperti jurnalis dari media lain, ajudan narasumber,  dan anggota polisi. 

Jurnalis perempuan juga masih mengalami diskriminasi. Di survei lainnya yang melibatkan 405 jurnalis perempuan seluruh Indonesia menunjukkan sebanyak 16,8 persen responden menerima remunerasi yang timpang. Survei ini juga mengungkapkan 58% responden tidak mendapatkan tunjangan asuransi kesehatan untuk seluruh anggota keluarga mereka. Padahal, banyak jurnalis perempuan yang memerlukan tunjangan asuransi kesehatan bagi anggota keluarga karena mereka merupakan kepala keluarga atau karena suami mereka bekerja di sektor informal. 

Berkaca dari fenomena ini, kondisi yang dialami Nancy Wheeler sebetulnya relevan dengan kondisi jurnalis perempuan di Indonesia sekarang.***