Stres Ini Membuatku Gendut

Pandemi membuat berat badan saya naik 12 kilogram. Ada beberapa faktor penyebab; pelaku utama jatuh ke obat bipolar (depakote) yang membuat nafsu makan naik drastis. Stres pandemi dan kerja pertama kali juga menjadi pemicu yang membuat saya stress eating saban hari. 

 

Sayangnya, saya bukan satu-satunya yang dibuat ‘gendut’ oleh pandemi; tren dunia menunjukkan semakin banyak orang yang bernasib sama. Penyebabnya bermacam-macam, tapi semua bermuara ke stres yang diakibatkan oleh pandemi. Ini tidak mengagetkan mengingat pandemi merombak gaya hidup kita, menaikkan tingkat stres yang kemudian semakin mengacak-ngacak kebiasaan tidur dan makan. 

 

Kata Sains Soal Stres

 

Kita tahu bahwa stres merupakan respons fisiologis tubuh terhadap situasi yang menegangkan. Ketika kita dihadapkan dengan situasi ini, amigdala (bagian otak yang mengatur emosi) bereaksi dengan mengirimkan sinyal ke hipotalamus (bagian otak yang mengatur reaksi otomatis tubuh). 

 

Hipotalamus kemudian mengirimkan sinyal ke kelenjar adrenal yang kemudian memproduksi adrenalin. Jantungmu pun berdebar cepat, mengalirkan darah ke otot dan organ-organ tubuh. Nafasmu juga lebih cepat dari biasanya dan kamu menjadi lebih sensitif. 

 

Lalu hipotalamus mengaktifkan jaringan HPA yang terdiri dari hipotalamus, kelenjar dibawah otak, dan kelenjar adrenal. Ketiganya kemudian mengalirkan hormon stres, kortisol, ke seluruh tubuh yang membuat tubuh terus waspada akan bahaya yang (mungkin) akan datang.

 

Sistem ini memang canggih, tapi bukan berarti 100% sempurna. Otak seringkali salah menginterpretasikan suatu keadaan sebagai keadaan yang mengancam keselamatan, padahal bisa jadi masalahnya hanya sekedar kehilangan kunci rumah. Otak juga bisa salah memprediksikan kapan situasi menegangkan ini berakhir, sehingga periode stres terus berjalan selama mungkin. Akibatnya, fungsi tubuh pun acak-acakan.  

 

Efek negatif dari stress jangka panjang bermacam-macam. Otot yang terus tegang bisa mengakibatkan sakit kepala tegang (tension headache), migrain, dan ngilu kronis. Paru-paru yang terus-terusan bekerja keras bisa menimbulkan serangan panik dan sesak nafas karena kesulitan mendapatkan oksigen. Jantung yang terus berdegup kencang bisa meningkatkan risiko serangan jantung, stroke, dan hipertensi. Efek samping lainnya adalah tingginya kolesterol dan peradangan di jaringan tubuh. 

 

Itu saja? Enggak dong. Stres berkepanjangan juga bisa meningkatkan risiko diabetes karena tubuh tidak bisa menyerap ekstra gula dari makanan. Kortisol dalam jumlah banyak dan lama bisa membuat masalah tiroid, yang kemudian mengganggu kemampuan untuk berpikir lurus. Otak juga kesulitan mengolah memori, kesulitan naik turun, dan membuat mood naik turun layaknya roller coaster.  

 

Tak hanya itu, stres juga membuat hormon reproduktif kita berantakan. Efeknya ke laki-laki menyebabkan produksi sperma dan testosterone menurun, yang kemudian bisa menyebabkan disfungsi ereksi, ejakulasi prematur, dan sederet permasalahan lainnya. Sedangkan untuk perempuan bisa menyebabkan PMS yang semakin parah, siklus menstruasi yang berantakan atau bahkan hilang sementara, kemandulan, kelahiran prematur/tertunda, dan masih banyak lagi. 

 

Stres? Makan Jawabannya

 

Penjelasan tadi hanyalah sebagian kecil dari masalah yang bisa ditimbulkan dari stres berkepanjangan. Tapi kita kan spesifik membahas tentang bagaimana stres bisa membuat pinggang kita melar. Jadi bagaimana bisa?

 

Setiap stres berat melanda, rasanya mulut ingin mengunyah makanan yang tinggi gula, karbohidrat, dan lemak. Ya ada sih yang kehilangan selera makan, tapi secara umum banyak orang ingin makan, makan, dan makan. Respon ini sebetulnya sudah ada sejak kecil. Sejak bayi kita mengasosiasikan makan sebagai cara untuk menenangkan diri. Bayi juga sangat suka makanan manis karena otak mereka membutuhkan banyak karbohidrat untuk berfungsi. Kebiasaan ini pun terbawa sampai kita dewasa. 

 

Makan makanan enak juga membuat otak kita merilis dopamin, hormon yang membuat kita senang dan secara tak langsung juga membuat kita menginginkan makan enak lagi. Makanan enak, dalam konteks ini, adalah makanan tinggi karbohidrat. Alasannya sederhana: karbohidrat merupakan sumber energi yang bisa diolah tubuh dengan cepat. 

 

Penelitian soal efek makanan kaya karbohidrat ke mood sudah berkali-kali diteliti. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Macht dan Dehmer (2004) menunjukkan coklat membuat subyek penelitian merasa lebih bahagia lebih lama dibanding mereka yang hanya makan apel. Makan coklat juga terbukti mengurangi stres. Ini menjelaskan kenapa banyak dari kita yang minum es kopi susu tiap dihantam kerja yang terus menggunung.  

 

Ketika pandemi, respons stres tubuh terus bekerja sampai overdrive. Otak merilis hormon stress, kortisol, yang kemudian membuat tubuh untuk menenangkan diri lewat makan makanan enak. Tingginya kortisol juga membuat tubuh lebih lambat memproses makanan dan mengurangi massa otot yang membuat kelebihan kalori terus menumpuk. Tubuh kemudian menyimpannya menjadi lemak di perut yang apabila dibiarkan akan meningkatkan risiko sakit jantung dan diabetes tipe 2.

 

Apalagi selama lockdown dan WFH banyak dari kita yang lebih memilih tidur atau duduk alih-alih olahraga. Walhasil, level kortisol dan penumpukan kalori dalam tubuh semakin menjadi-jadi. 

 

Ubah Gaya Hidup adalah Kunci

 

Satu-satunya cara untuk menurunkan level kortisol dalam tubuh adalah dengan mengubah gaya hidup. Diet dengan mengubah pola makan ke makanan yang lebih bergizi, tinggi serat dan protein serta melakukan olahraga adalah langkah awal yang perlu dilakukan. 

 

Kardio seperti bersepeda, lari, dan berenang atau latihan angkat beban bisa dilakukan tiap 3-5 kali seminggu. Latihan kardio bagus untuk membakar kelebihan kalori, sedangkan angkat beban bagus untuk meningkatkan persentase otot yang hilang selama pandemi. Makan makanan tinggi protein juga penting sebagai bahan bakar tubuh untuk meningkatkan massa otot–idealnya, setiap orang mengonsumsi 1,5-2 gram protein/kilo berat badan. Apabila berat badanmu 60 kilogram, maka kamu harus mengkonsumsi 90-120 gram protein/hari.   

 

Olahraga saja tidak cukup apabila kamu ingin mengurangi lingkar perut. Kamu juga perlu melakukan defisit kalori supaya tubuh menggunakan lemak cadangan tubuh. Nah pembakaran lemak dan kalori berlebih bisa dipercepat apabila ditunjang dengan persentase otot yang mumpuni. Efek positif lainnya adalah olahraga terbukti mengurangi level kortisol. Akibatnya kita merasa lebih rileks dan bahagia setelah berolahraga

 

Walaupun berat badan kamu cenderung sama atau malah turun selama pandemi, olahraga tetap penting untuk dilakukan. Ini karena berat badan saja bukanlah patokan yang tepat untuk mengukur kesehatan. Dalam hal ini, persentase lemak dan otot lebih representatif. 

 

Sayangnya metode pengukuran ini cukup mahal karena harus dilakukan di klinik atau gym. Tapi kamu juga bisa memprediksi risiko sakit jantung dan diabetesmu dengan mengukur pinggang: lingkar pinggang yang aman adalah dibawah 94cm untuk laki-laki dan dibawah 80cm untuk perempuan.

 

Jadi, jangan lupa olahraga ya!