Pada 22 Januari 2014, seorang perempuan naik bus Transjakarta jalur Pulogadung-Harmoni dari halte RS Islam Cempaka Putih. Di tengah perjalanan penyakit asmanya kambuh. Serangan asmanya cukup berat sampai membuatnya pingsan sebentar di halte Atrium Senen, tapi untungnya ia bisa segera tersadar. Perjalanan kembali berlanjut, dan ia pun turun di halte Harmoni pukul 16.00.
Petugas Transjakarta membawanya untuk bertemu ED, petugas lainnya yang mengaku bisa menyembuhkan penyakit menggunakan ilmu sakti. Pelaku membawa korban ke ruang genset, diikuti oleh AKI, IVE, dan DR. Awalnya ED yang mencoba mengurut punggung korban, tapi kemudian beralih ke meraba bagian tubuh lainnya. Aksinya diikuti oleh ketiga pelaku lainnya.
Setelah 15 menit berlalu, korban pun sadar dan berteriak meminta tolong. Untungnya, ada petugas kepolisian yang mendengar teriakannya dari luar. Dua pelaku langsung ditangkap, tapi dua lainnya berhasil kabur dari tempat kejadian.
Peristiwa ini sempat menggegerkan Jakarta. Bagaimana tidak, perkosaan terjadi di ruang publik, di jam-jam ramainya jalanan, dan dilakukan pula oleh petugas layanan publik yang seharusnya melayani dan melindungi pengguna.
Kasus ini menunjukkan betapa tidak amannya perempuan di ruang publik. Para pelaku yang melakukan kejahatan hanya dihukum 1 tahun 6 bulan dipotong masa tahanan. Tak hanya itu, pemerintah terhitung sangat lambat dalam membuat infrastruktur transportasi publik dan tata kota yang lebih aman untuk perempuan.
Buktinya? Setahun kemudian seorang perempuan dirampok, dicekik, dan diperkosa di siang bolong ketika menggunakan jembatan penyeberangan (JPO) Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Seberapa (Tidak) Aman Perempuan di Ruang Publik?
Minimnya perbincangan mengenai pengaruh infrastruktur kota ke keamanan perempuan diakibatkan oleh sedikitnya data tentang hal ini. Data terawal soal topik ini baru ada pada 2016 dari The Thomson Reuters Foundation dan YouGov. Keduanya melakukan survei kota dengan sistem transportasi paling berbahaya untuk perempuan. Survei ini mengukur lima aspek: 1) seberapa aman perempuan bisa bepergian sendirian di malam hari; 2) resiko perempuan dilecehkan, baik secara fisik maupun verbal; 3) kemungkinan penumpang lain membantunya; 4) tingkat kepercayaan ke pihak kepolisian untuk menginvestigasi laporan pelecehan atau kekerasan; 5) ketersediaan transportasi publik yang aman.
Survei yang melibatkan 6.550 responden dari 16 kota terbesar dunia menunjukkan Jakarta sebagai kota dengan sistem transportasi paling tidak aman nomor 5, di bawah New Delhi dan di atas Buenos Aires. Ini menunjukkan kebijakan pengenalan gerbong khusus perempuan pada 2012 dan pemasangan CCTV pada 2013 kurang berhasil dalam menekan angka pelecehan.
Tiga tahun setelah survei Reuters keluar, Koalisi Ruang Publik Aman mengeluarkan hasil survei pelecehan seksual di transportasi umum. Survei yang melibatkan 62.224 responden ini menunjukkan 46,80% responden pernah mengalami pelecehan seksual di transportasi umum dengan breakdown bus (35,80%), angkot (29,49%), KRL (18,14%), ojek online (4,79%), dan ojek konvensional (4,27%). Para responden juga melaporkan jalanan umum (28,2%) dan transportasi umum (15,77%) sebagai tempat paling tidak aman.
Survei soal keamanan perempuan di ruang publik kembali dilakukan pada 2021 oleh KRPA. Hasilnya menunjukkan 4 dari 5 perempuan mengalami pelecehan seksual di ruang publik. Pelecehan juga dialami 3 dari 10 laki-laki serta 4 dari 5 non-biner atau transgender. Jenis pelecehan bisa berupa siulan, komentar atas tubuh, komentar bernada seksual, hingga sentuhan. Pelecehan juga terjadi di ruang maya yang meliputi pengiriman video atau foto intim, komentar seksis, komentar tentang tubuh, ancaman mengirimkan video atau foto intim pribadi, sampai cyberstalking.
Kendati sudah disuguhi data keras, pemerintah terhitung lambat dalam merespons masalah. PT KAI Commuter (KCI) baru menerbitkan SOP penanganan tindak pelecehan seksual pada 2019, tiga tahun setelah hasil survei Reuters dan YouGov keluar. Pun penanganannya masih buruk—pada 2021 KAI malah merongrong korban karena melaporkan pelecehan seksual yang dialaminya. Memang pada akhirnya KAI berjanji untuk memperbaiki SOP penanganan pelecehan seksual—itupun setelah korban ingin melapor ke polisi dan setelah sikap KAI dikritik balik oleh warganet.
Banyak pihak menilai tingginya angka pelecehan di ruang publik disebabkan oleh kurangnya edukasi atau permasalahan psikologis dan sosio-ekonomi. Namun, ada faktor lain yang kurang sering disinggung: betapa tidak ramahnya tata kota dan infrastrukturnya untuk perempuan.
Memperbaiki Infrastruktur
Untuk membuat transportasi yang lebih aman dan nyaman untuk perempuan, kita perlu tahu bagaimana perempuan melihat kota dan menjalani kesehariannya di kota. Walau sama-sama menghuni kota, kebiasaan transportasi laki-laki dan perempuan sangat berbeda. Laki-laki memandang perjalanan sebagai satu titik ke titik lain. Ketika ia ngantor, ia hanya pergi ke kantor dan tidak ke tempat lain. Kebiasaan ini pula yang membuat laki-laki lebih sering menggunakan transportasi pribadi.
Sedangkan perempuan kebalikannya; jarak perjalanan perempuan lebih pendek dari laki-laki, tapi sekali pergi ia bisa mengunjungi beberapa tempat sekaligus. Dari rumah ia akan menjemput anak dari sekolah, lalu pergi ke supermarket atau pasar untuk belanja, lalu baru pulang atau ke justru ke tempat lain dulu (trip chaining). Selain itu, laki-laki lebih diutamakan dalam menggunakan kendaraan pribadi, sehingga perempuan cenderung bepergian dengan jalan kaki atau transportasi umum.
Penelitian yang dilakukan oleh Turner (2011) menunjukkan keberadaan KRL membantu banyak perempuan untuk bekerja dan beraktivitas di sekitar kota. Para responden perempuan tak hanya menganggap KRL sebagai moda transportasi yang cepat, tapi juga murah dan bisa diandalkan. Ini berbeda dengan responden laki-laki yang lebih memprioritaskan harga lalu ketepatan waktu datang dan tiba.
Walau penting, moda transportasi publik masih dipegang dan dilihat dari lensa laki-laki. Ini terlihat dari infrastruktur serta cara kerjanya; harga tiket mahal lebih berdampak ke komuter perempuan dibanding laki-laki, rute yang kurang menjangkau daerah pinggiran kota, jam operasional yang kurang panjang, layanan khusus untuk ibu, anak, difabel, dan orangtua seperti tempat duduk yang banyak, ruang mengganti popok dan menyusui, dan kursi roda, serta minimnya perhatian ke keamanan perempuan.
Isu keamanan terutama masih menjadi permasalahan besar. Untuk aspek ini, setidaknya Jakarta sudah memasang 510 kamera CCTV di berbagai stasiun dan menambah jumlah CCTV di halte dan dalam busway Transjakarta. MRT juga melakukan hal yang sama. Namun pengadaan ini masih dikritik karena video CCTV beresolusi rendah dan belum mencakup titik-titik rentan. .
Kedua adalah keberadaan jembatan penyeberangan orang atau JPO. Keberadaannya dikritik sejak 2018 karena merepotkan para pejalan kaki, terutama pejalan perempuan, anak-anak, difabel, dan lansia. Tangganya terjal, rutenya panjang dan berputar, tidak aman pula karena bentuknya tertutup, minim pencahayaan, dan seringkali tak terurus. Kalaupun ada lift, seringkali tidak fungsional. JPO juga dinilai memanjakan kendaraan bermotor, alih-alih memprioritaskan pejalan kaki.
Lalu Apa Solusinya?
Solusi pertama tentunya lebih banyak melibatkan perempuan dalam perencanaan tata kota. Turner (2012) mengomentari ahli tata kota yang ia wawancarai adalah laki-laki, sehingga tak mengherankan apabila perencanaan tata kota dan transportasi Indonesia masih terhitung maskulin dan belum mempertimbangkan kebutuhan perempuan.
ITDP Indonesia pada 2017 telah memberikan beberapa saran perihal persoalan ini, beberapa diantaranya 1) sistem pelaporan yang komprehensif; 2) proses penerimaan tenaga kerja yang ketat; 3) pengadaan aplikasi khusus pelaporan kasus; 4) memperbanyak public service announcement dalam berbagai bentuk materi; dan 5) pelatihan mawas gender untuk pengelola transportasi publik.
Namun aturan ini masih terbatas ke penyelesaian solusi jangka pendek dan memiliki efek kecil ke keseluruhan tingkat keamanan komuter perempuan. Untuk membuat perempuan merasa lebih aman di kota, kita perlu kebijakan yang lebih ekstensif, yaitu merekonstruksi ulang apa itu kota. Untuk hal ini pemerintah bisa menengok proyek gender mainstreaming kota Wina, Austria.
Upaya pemerintah Wina untuk membuat kotanya lebih ramah perempuan bisa dibilang barang baru, yaitu awal 1990an. Saat itu pemerintah ingin mengetahui bagaimana para penduduk bepergian; responden laki-laki menyelesaikan kuesioner tersebut kurang dari lima menit, sedangkan responden perempuan terus dan terus menulis. Dari sinilah hasil survei (yang ternyata universal!) yang menyatakan laki-laki lebih sering menggunakan kendaraan pribadi versus perempuan yang menggunakan transportasi publik muncul.
Namun ide gender mainstreaming ini tidak ujug-ujug muncul di kepala para staf pemerintahan Wina. Adalah Eva Kail dan Jutta Kleedorfer yang mencetuskan ide kota ramah perempuan dan anak lewat eksibisi “Who Owns Public Spaces?”. Eksibisi ini sempat dianggap konyol (beberapa orang bertanya apa berarti harus mengecat jalan menjadi pink), tapi berhasil memantik diskusi yang panjang tentang permasalahan sosio-ekonomi dan gender dalam perkotaan.
Untuk mewujudkan kota ramah gender, Kail mengajak arsitek-arsitek perempuan—yang hanya berjumlah 6% dari keseluruhan arsitek Wina—untuk membuat desain kota. Hasilnya adalah Frauen-Werk-Stadt (Kota Perempuan Kerja) yang terdiri dari kompleks apartemen yang dikelilingi oleh taman luas yang bisa digunakan untuk tempat bermain anak-anak. Komplek ini juga dilengkapi oleh TK, apotek, serta dokter sehingga para ibu tidak perlu pergi jauh-jauh untuk mengurus keperluan anak. Halte dekat apartemen pun memudahkan proses komuting ke sekolah, tempat kerja, dan belanja.
Meskipun di permukaan ide Kail diterima dengan tangan terbuka, ketika diimplementasikan justru mendapat banyak oposisi. Beberapa perempuan yang terlibat di proyek ini ternyata tidak memiliki perspektif gender, staf-staf pemerintahan menolak ide-ide Kail dan tim, dan masih banyak lagi. Namun diplomasi Kail dalam menggandeng para ahli tata kota dan staf pemerintahan laki-laki membuat proyek ini gol.
Sekarang Wina menjadi model kota ramah perempuan dan anak. Jakarta—dan kota-kota besar Indonesia lainnya—tentunya bisa belajar dari sana. Tapi kalau opsi itu masih terlalu jauh, mungkin pemerintah bisa meniru komplek apartemen Kalibata City. Percaya tidak percaya, komplek apartemen ini punya fasilitas yang hampir mirip dengan konsep Frauen-Werk-Stadt rancangan Kail.