Sudahkah Media Kita Berpihak Pada Buruh?

1 Mei 2024, peringatan Hari Buruh Sedunia (May Day) akan memasuki tahun ke-138. Satu abad lebih sejarah panjang perjuangan gerakan buruh telah mengubah lanskap kehidupan sosial, politik dan ekonomi peradaban manusia.

Di Indonesia, perjuangan gerakan buruh telah dimulai sejak masa kolonialisme. Dalam perjalanannya, perjuangan gerakan buruh kemudian tercatat dan terdokumentasikan dalam banyak literatur. Lalu bagaimana media memberitakan buruh?

Jika Anda menelusuri situs pencari Google dengan kata kunci 'buruh' atau 'serikat buruh', Anda akan disajikan dengan berita yang sebagian besar pemberitaannya adalah seputar Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), Tunjangan Hari Raya (THR), demonstrasi, dan hal-hal serupa. Bahkan, hasil gambar menampilkan puluhan hingga ratusan foto buruh yang sedang melakukan aksi unjuk rasa dari berbagai sudut pandang. Hampir semua foto di Google Image adalah gambar demonstrasi buruh.

Di situs yang sama, pemberitaan media terkait buruh baru dapat ditelusuri secara intensif pada medio 2004 hingga sekarang. Sebelumnya, masih sangat jarang kita dapat menemukan pemberitaan terkait perburuhan mengingat medio tersebut masih dalam masa ‘sisa-sisa’ transisi pasca reformasi 1998. Maklum, eksistensi buruh pada masa orde baru dikontrol lewat SPSI, serikat pekerja bentukan pemerintah yang menjadi alat bagi rezim saat itu.

Kembali ke Google, Pada 2004, salah satu pemberitaan buruh baru dapat ditemukan di portal Detik.com pada 12 November dengan judul "Serikat Buruh DKI Tetap Tuntut UMP 2005 Rp 759.953". Di tahun selanjutnya berita serupa juga dirilis oleh Detik.com pada 14 Mei 2005 dengan judul "Tuntut Kenaikan Upah, Ribuan Buruh Katexindo Cakung Mogok". 

Intensitas pemberitaan buruh kemudian meningkat pada 2006. Antara News melaporkan "Massa Buruh Robohkan Gerbang Gedung DPR" pada 3 Mei 2006, sementara Detik.com merilis berita pada 6 Mei 2006 yang menyebut Jusuf Kalla sebagai biang rusuh demo buruh. Berita tersebut mengambil point of view buruh terkait kerusuhan dalam aksi 3 Mei 2006.

Sejak saat itu hingga kini, tidak banyak perubahan signifikan dalam pemberitaan media terkait perburuhan. Buruh umumnya diberitakan dalam bingkai yang sempit dengan pemberitaan "tuntutan", "demonstrasi" dan "kerusuhan" tanpa menggali lebih dalam alasan-alasan di baliknya. Hal ini menunjukkan adanya pembingkaian buruh secara tidak proposional oleh media. Pola pemberitaan dengan bingkai sempit tersebut yang cenderung menyudutkan buruh, mencerminkan ideologi dominan yang dianut oleh sebagian besar media mainstream yang cenderung pro-kapital dan anti-serikat buruh (Kumar, 2007).

Media juga kerap membingkai isu buruh dengan narasi miring yang mengaburkan isu utama. Sebagai contoh, vandalisme dalam aksi tolak Omnibus Law di depan DPR tampak lebih seksi untuk dipublikasikan, alih-alih fokus pada substansi penolakan. Tak jauh berbeda, media juga mencoba membenturkan buruh yang berunjuk rasa dengan pengguna jalan yang juga merupakan buruh. Narasi-narasi semacam ini, dalam istilah  Gamson, et.al. (1992) disebut sebagai bagian dari pembingkaian simbolik yang berfungsi untuk melanggengkan dominasi kelas tertentu.

Pembingkaian seperti ini kemudian memengaruhi pandangan dan menciptakan stereotip negatif tentang buruh sebagai "tukang demo", "biang kerusuhan", "tidak bersyukur", dan sebagainya. Di media sosial, buruh juga kerap mendapat cibiran dari warganet hanya karena menggunakan motor gede dan sejenisnya saat berdemonstrasi, seolah buruh tidak layak hidup sejahtera. Seolah memiliki sesuatu yang dianggap prestise adalah hal yang musykil untuk diperoleh oleh buruh. Stereotip ini merupakan konsekuensi dari adanya pembingkaian media yang memarjinalkan dan merendahkan buruh (Terkildsen & Schnell, 1997).

Media dan Serikat Buruh

Framing dan narasi miring pemberitaan media yang menciptakan stereotip negatif terhadap buruh juga mengakibatkan stagnasi, penurunan, bahkan juga keengganan buruh-buruh untuk menghimpun diri atau tergabung dalam serikat buruh. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa buruh yang gabung dalam serikat buruh/union density rate (UDR) mengalami penurunan pada 2022. Pada 2021, buruh yang berserikat menyentuh angka 7,53 juta buruh, dengan UDR sebesar 12,04% dari total 62,5 juta buruh yang bekerja di beberapa sektor usaha. Angka tersebut mengalami penurunan pada 2022 menjadi 11,76% atau 7,50 juta buruh yang terdaftar berserikat.

Media memiliki peranan sentral dalam membentuk persepsi publik terhadap isu-isu sosial, termasuk isu perburuhan. Media seringkali menggambarkan buruh sebagai pihak yang selalu berkonflik dengan pengusaha. Pemberitaan tentang mogok kerja, demonstrasi, atau tuntutan kenaikan upah yang menonjolkan ketegangan selalu menjadi bingkai "seksi" untuk diterbitkan. Hal ini sejalan dengan konsep pembingkaian konflik yang digunakan media dalam pemberitaan untuk menarik perhatian publik (Neuman, et al., 1992). Apalagi jika dibumbui dengan clickbait yang bombastis.

Sangat jarang kita menemukan pemberitaan media yang mengupas akar konflik antara buruh dan pengusaha secara utuh dan objektif. Banyak pelanggaran ketenagakerjaan oleh pengusaha yang luput dari pemberitaan media. Pada 2019,  misalnya, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat ada sekitar 35.000 kasus pelanggaran norma  ketenagakerjaan di hampir 21.000 perusahaan di Indonesia. Angka pelanggaran yang fantastis dan mestinya cukup "seksi" untuk ditelusuri lebih lanjut. Minimnya pemberitaan tentang akar permasalahan ini menunjukkan adanya ketidakberimbangan pemberitaan media dalam isu perburuhan.

Seringkali isu perburuhan tidak mendapat porsi pemberitaan yang proporsional di media. Pemberitaan lebih banyak berfokus pada aksi-aksi buruh, tetapi minim analisis mendalam tentang substansi tuntutan dan permasalahan yang mendasarinya. Hal ini juga disebabkan oleh orang-orang di balik meja redaksi yang masih memandang isu-isu perburuhan sebagai isu marjinal yang kurang seksi.

Oligarki Media

Mengabaikan akar persoalan ini serta menyajikan buruh dalam bingkai sempit yang memengaruhi pandangan masyarakat menegaskan apa yang disebut Noam Chomsky dalam "Media Control: The Spectacullar Achievements of Propaganda", di mana media dapat menjadi alat paling ampuh dalam perebutan makna. 

Menurut Chomsky, struktur kepemilikan media yang berkelindan antara pengusaha dan penguasa sejak awal memang memiliki tujuan yang kontraproduktif dengan keinginan publik. Informasi di media hanyalah rekonstruksi atas realitas di masyarakat yang bergantung pada kerja-kerja orang di baliknya.

Sebuah penelitian berjudul "Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia" menemukan bahwa hampir semua perusahaan media di Indonesia hanya dikuasai oleh dua belas kelompok besar, seperti MNC Group, Kompas Gramedia, Elang Mahkota Teknologi, Visi Media Asia, dan lainnya. Beberapa dimiliki pengusaha yang terafiliasi dengan dunia dan partai politik, seperti Hary Tanoesoedibjo (Perindo), Aburizal Bakrie (Golkar), dan Surya Paloh (Nasdem).

Kondisi konsentrasi kepemilikan media seperti ini berpotensi mengarahkan konten sesuai dengan kepentingan ekonomi dan politik para pemilik modal. Sebagaimana diungkapkan Herman dan Chomsky dalam konsep Propaganda Model, konglomerasi media berperan dalam membentuk isu-isu yang dimuat dan yang diabaikan dalam pemberitaan (Herman & Chomsky, 2002).

Buruh, Media dan Voicing The Voiceless

Sejak kemunculannya, berbagai platform media sosial seperti Facebook, Instagram, X (Twitter) dan juga Tiktok sedikit membawa angin segar bagi buruh. Di tengah kejenuhan framing pemberitaan media arus utama, buruh melalui serikat-serikatnya kemudian memanfaatkan berbagai platform media sosial tersebut untuk melakukan publikasi, kampanye, pengorganisiran dan berbagai kegiatan perburuhan lainnya. 

Melalui workshop yang diadakan oleh serikat buruh, buruh-buruh diberikan pelatihan dasar-dasar jurnalistik, fotografi, videografi, desain grafis, dsb. Pendidikan dan pelatihan semacam ini, selain untuk memberdayakan buruh agar lebih mudah dalam berkomunikasi, berbagi informasi, menggalang dukungan dari sesama buruh, menyampaikan pesan, dan memperjuangkan hak-hak mereka, juga sebagai upaya mengimbangi hegemoni media arus utama. 

Penggunaan media sosial ini nyatanya cukup efektif untuk beberapa organisasi serikat buruh. Di Instagram, misalnya, beberapa serikat buruh memiliki cukup banyak pengikut, yang tentu saja akan mempengaruhi dan berdampak pada penyebaran dan perputaran arus informasi.

Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), misalnya, memiliki lebih dari 35 ribu pengikut. Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) memiliki lebih dari 29 ribu pengikut. Kemudian ada Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) yang memiliki lebih dari 22 ribu pengikut. Dan yang terakhir ada Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) yang memiliki lebih dari 12 ribu pengikut. 

Fenomena kemunculan buruh dengan berbagai platform medianya semakin menegaskan bahwa media arus utama telah gagal mengadopsi konsep jurnalisme modern dengan “menyuarakan kaum tak bersuara” atau yang dikenal sebagai Voicing The Voiceless. Hal ini sejalan dengan survei Indeks Kebebesan Pers yang disusun Dewan Pers pada 2017 yang dalam hasil surveinya memberikan catatan pada ketidakmampuan pers dalam menyuarakan kaum yang tidak bisa bersuara. 

Tentu dalam konteks relasi kuasa antara buruh dan pengusaha, buruh selalu berada dalam posisi yang lemah. Kerentanan posisi buruh tidak hanya dalam kerangka hubungan industrial semata, tapi juga dalam banyak hal. Salah satunya dalam bingkai pemberitaan media.

Untuk itu, dalam momentum menuju Hari Buruh Sedunia nampaknya kita perlu mendekonstruksi media dari dominasi kepentingan modal dan framing yang ada di baliknya, agar publik tidak terjebak dalam cara pandang dominan dan dapat memahami realitas secara utuh serta menempatkan Voicing The Voiceless menjadi nilai utama sebagai bentuk tanggung jawab media kepada publik untuk memperoleh informasi yang lebih berimbang.