Surat untuk Zaim, Pencipta Mesin Waktu
oleh Rania Alyaghina
Bungkam mulutku, maka sempurnalah hidupku.
Tapi sempurnakah yang aku mau?
Jangan tanya bagaimana aku bisa merangkai kata sebebas ini. Jangan tanya bagaimana aku bisa bercerita. Karena kalau mereka dengar, usai sudah hidupku. Aku lantas mati, dikubur hidup-hidup bersama tumpukan kata-kata. Jadi, kita diam-diam saja dulu.
Kami diizinkan untuk berkomunikasi lewat bahasa isyarat, bahasa yang mulanya bahkan tidak memakan seperempat layar TV. Tentu saja kami masih diperbolehkan menulis sebagai alternatif komunikasi, dengan secarik kertas polos dan alat tulis seadanya. Tapi, ucapan kami selalu dapat dibaca mereka. Ucapan kami akan selalu dipantau mereka. Satu salah tulis atau isyarat saja, kau mati detik itu juga.
Sesungguhnya, aku bingung mengapa kami masih dikaruniai mulut, karena di tahun 2034, mulut tak ayal organ sisa evolusi. Atau mengapa tak mereka potong atau jahit saja mulut kami saat kami terlahir. Mengapa tak mereka putus saja pita suara kami sesaat kami menangis tanda bernapas. Atau tak perlulah bernapas, mengapa tak mereka putuskan saja saluran napas kami?
Mulanya sempat dirancang peraturan untuk memotong mulut ketika seseorang menginjak usia 13 tahun. Nyatanya peraturan tersebut merepotkan merepotkan mereka sendiri. Mereka mesti mengimpor alat untuk mencerna makanan hingga mudah dicerna tubuh, karena jika kita tidak makan, tidak ada lagi penduduk di negeri ini. Jadi sekeras apa pun usaha mereka untuk memusnahkan mulut kami, organ itu masih tertempel di wajah kami.
Sabar. Sabar. Sabar. Demikian mantra yang selalu diisyaratkan kedua orang tuaku, sebelum aku nekat menulis kegundahanku pada mereka. Kalau saja mantra itu tidak datang dari kedua orang tua, melainkan dari para penguasa, tak akan ada kata ‘sabar’. Tak akan ada artinya di kamus bahasa mana pun. Kalau mereka ingin menghilangkan seluruh kata, akan kuajukan kata ‘sabar’ yang patut dan utama dibinasakan! Dan aku akan sabar, walau berjuta-juta kata lainnya membusuk di dalam diriku, tak pernah dikenal, dipakai, apalagi didengar. Seperti pikiran bocah ingusan yang tak pernah disuapi bacaan.
Zaim adalah satu dari sekian bocah ingusan yang tak pernah kenal buku cerita. Komik. Apa pun yang kuisyaratkan tak pernah sampai di pikirannya. K-o-m-i-k, ia bilang hanya guratan huruf itu yang memenuhi otaknya. Tak kuasa pikirannya mewujudkan bagaimana bentuk buku koleksiku, yang kini sudah jadi abu. Yang ia tahu hanya mandi, makan, sekolah, belajar dengan teknologi kecerdasan buatan, pulang, istirahat, dan demikian seterusnya. Ia minim kontak dengan orang-orang yang pernah merasakan hidup di zaman dulu. Demikian juga kami, orang-orang dulu, yang hanya bicara sebatas pekerjaan, meski banyak yang ingin kami bicarakan.
Tepat pada tahun tangis Zaim mulai terdengar di dunia, suara manusia diputuskan dilarang terdengar. Di media sosial. Di jalan-jalan. Tidak boleh ada pekikan yang menyulut amarah mereka, maka kami hanya boleh memilih berkomunikasi dengan menulis di kertas sesuai standar nasional atau dengan bahasa isyarat. Interaksi dengan teman sekelas pun sebatas pekerjaan rumah atau ujian sekolah. Tidak ada yang berani ngomong macam-macam, karena kami tak punya perlindungan. Kini, kesunyian jadi teman baikku sekaligus pelindung sejati. Hanya suara gesekan dahan atau binatang yang memenuhi telinga, karena siapa pun tahu tak ada yang mampu melarang binatang bicara. Kau mau selamat? Jaga mulut dan suaramu.
Jangankan bersuara, memberi suara pun kami tidak kuasa. Karena terlampau lama tidak bicara, kami semua diam sedemikian rupa. Zaim pernah bercerita, ia dengar teman sekelasnya berucap, “Aku bersuara,” dengan patah-patah. Ia terpana, baru sekali itu ia mendengar kata dilantunkan secara utuh. Teman yang lain bertanya dengan bahasa isyarat, bagaimana ia belajar mengeluarkan suara? Belum sempat ia menjawab, ia keburu koit. Si penanya mendapat layangan surat peringatan sesaat sampai di rumah, untuk tidak menanyakan hal-hal semacam itu lagi. Karena tak akan masuk ujian. Zaim pun juga demikian, setelah setelah ceritanya tuntas, amplop persegi panjang mengetuk pintu rumah kami.
Pemungutan suara, sebagaimana yang pernah kuikuti dan terakhir kuikuti saat itu, juga tidak lagi diberlakukan. Semua harus tunduk pada siapa pun pemimpin negeri ini, terlepas bukan kami yang memilih. Pemimpin, penguasa, Tuhan, apa pun sebutannya. Maka namanya tidak lagi pemungutan suara pemilihan umum, tapi pemilihan khusus. Khusus untuk orang-orang yang mampu memilih.
Layaknya memakan buah simalakama, pemberlakuan tulisan tangan dan bahasa isyarat sebagai alat komunikasi justru termasuk yang lambat terdeteksi mereka. Tidak semua dari mereka, sayangnya, memahami bahasa isyarat. Kebanyakan dari mereka tak ada yang mau repot-repot belajar bahasa itu, karena mereka bisa bersuara. Hanya mereka yang bisa dan boleh bersuara. Pun tulisan yang kami tuliskan kadang tak mampu dipahami mereka, baik lantaran tulisan tangan setiap orang yang berbeda-beda, atau otak mereka sendiri yang tak mampu menginterpretasinya. Maka, kalau kau ingin ambil risiko untuk menyuarakan sesuatu yang penting untuk lawan bicara namun berbahaya bagi mereka, kau perlu berbahasa dengan menyulitkan mereka namun memudahkan lawan bicaramu lewat kedua bahasa tersebut. Kemudian harus cepat-cepat membinasakan tulisannya sebelum ia mendatangi rumahmu, atau mendapat surat peringatan kalau kau baru melanggar sekali. Dua kali surat peringatan bukanlah masalah. Tapi tidak dengan tiga kali. Jangan coba-coba sampai tiga kali.
Rencana masa depan selalu memuat ide-ide terburuk manusia. Karena ide tersebut tidak secara langsung menimpamu, melainkan anak-cucumu. Kejujuran bak seonggok daging mentah di zaman ini—tidak bernilai jika belum diolah. Aku iba padamu, sungsang-sumbal menciptakan mesin waktu, apa daya kau dibohongi pemimpinmu sendiri. Karena di sini, waktu telah mati, bersamaan dengan pemikiran kami.
Mematuhi aturan bukan berarti kau akan dapat penghargaan. Itu kewajiban. Sebagaimana yang dibekalkan kepada kami dahulu, hak dan kewajiban dimiliki setiap orang. Dengan pemimpin pilihanmu yang sekarang, kau cuma punya kewajiban, yang diinjak habis oleh hak mereka yang tingginya 496 triliun. Aku patut berterima kasih kepada masa lalu. Tanpanya, aku hanya terombang-ambing pilu. Tanpa masa lalu, aku hanya cengo, meratapi masa kini, karena aku tak tahu mengapa kita bisa padam segampang ini.
“Kalian ini ya, apa-apa diprotes,” ucap si pemimpin lewat layar TV. “Makan kami sediakan, tempat tinggal, pendidikan, jenjang karir, semua kami penuhi. Cuma tidak boleh ngomong saja kok ribet.”
Nyatanya tidak sesederhana itu. Tidak semua orang dapat makan. Tidak semua orang dapat tempat tinggal layak. Tidak semua orang mampu menembus dinding sekolah, universitas, apalagi perkantoran, karena terhambat pendapatan. Tapi beberapa orang diangkat jadi pahlawan, terlepas sudah membusuk di kuburan. Beberapa orang disebut pahlawan, karena menolong sesama rekan. Berpuluh-puluh halaman PDF berisi visi dan misi kini terwujud layaknya basa dan basi. Nyatanya perang dibiarkan terjadi di sana-sini. Dibilang kita perlu memerangi kemiskinan bangsa sendiri. Yang nyatanya, sudah sepuluh tahun, hanya teronggok basi.
Mereka memang tidak punya niatan untuk memberantas kemiskinan. Mereka justru ingin memberantas orang-orangnya. Karena seindah apa pun rencana pemimpin, mereka punya pilihan. Mereka selalu punya pilihan: membinasakan kesengsaraan atau menyengsarakan yang sengsara.
Tuhan, penguasa dunia dan seisinya, pencipta mesin waktu yang penasaran dengan nasibnya nanti, atau mungkin kau sendiri, Zaim, jika kau menemukan tulisan ini, maka aku telah mati. Mungkin sedetik, atau dua detik yang lalu, ketika mereka menemukan apa yang kutulis di dalam lemari bajumu ini. Jadi, jangan merasa spesial; kau pembaca kedua. Kata demi kata kujahit di selimut yang pertama kali membalutmu ketika lahir. Dengan dalih selimutmu bolong dimakan rayap, kujahit hari demi hari. Berusaha tidak menimbulkan kecurigaan nyatanya sesulit menggaungkan kebebasan.
Bagaimana rasanya berduaan dengan tulisan terlarang? Bukankah memacu adrenalin? Rasa takut tertangkap basah, rasa takut dianggap pengkhianat, rasa takut dicap membenci penguasa, semuanya tentu campur aduk menjadi satu. Tapi, tenang saja, rasa takut semacam itu tidak ada apa-apanya ketimbang rasa takut mencari kebenaran. Rasa takut meraih kebebasan. Terlepas dari jeratan penguasa. Rasa takut itu wajar, dan sebanding dengan tujuan. Tujuanku membuatmu tahu kebenaran, Zaim. Tahu masa lalu. Dan bertindak atas hal itu. Mengapa meraih kebebasan sebegini menakutkannya? Pertanyaan yang lebih tepat sebetulnya; mengapa kita dibuat takut untuk menjadi bebas? Bebas membaca apa yang dilarang? Bebas menyuarakan, mengisyaratkan, menuliskan, tanpa takut dipenjarakan apalagi dibinasakan? Bebas menjadi pengkhianat kedurjanaan?
Masih banyak pertanyaan yang bisa kujahitkan di sini, tapi lama-lama tanganku pegal juga. Aku pun tak akan menyia-nyiakan percobaanku yang ketiga kali. Dan sebelum mereka sampai ke rumah ini, melihat gelagatmu yang serius menatap selimut lusuh, sebelum mereka hancurkan selimut ini, bawa tulisan ini bersamamu. Bawa tulisan ini ke masa lalu, ke masamu. Masa saat peristiwa ini jadi ketakutan yang menunggumu.
@ designer:
1. Nyeritain kehidupan di masa depan di mana suara manusia dilarang, komunikasi cuma via bahasa isyarat/ tulisan yang dipantau.
2. Ketidakadilan + represi dari pemerintah yang otoriter
3. "Surat" ini berisi pesan soal kebebasan, kebenaran, dan perlawanan ngelawan tirani yang dibuat supaya Zaim si pemilik mesin waktu untuk balik ke masa lalu, untuk ngingetin manusia tuh hidupnya bagaimana di masa depan
@ penulis
kak, ini aku ngasih note buat design grafis buat bikinin cover artikelnya, tapi kalo note ku di atas barusan ada yg salah, tolong infokan yaa makasii