Hampir 10 Juta Penduduk Indonesia Setengah Menganggur
Kita sudah tahu bahwa pandemi meningkatkan angka pengangguran. BPS mencatat angka pengangguran Indonesia berada di 7,05 juta orang pada 2019. Kemudian pada 2021 angka ini naik menjadi 9,10 juta orang. Itu pun sudah turun 0,67 juta dari tahun 2020.
Gawat? Jelas. Tapi hal lainnya yang jarang dibicarakan adalah underemployment atau dalam bahasa BPS, setengah pengangguran. Kedua istilah ini mengacu pada (1) orang-orang yang bekerja paruh waktu (kurang dari 35 jam/minggu) tapi ingin mendapatkan pekerjaan penuh waktu; (2) ingin bekerja lebih panjang; dan (3) ingin pindah ke pekerjaan sesuai dengan posisi sesuai dengan kemampuan atau taraf pendidikan mereka.
Setengah pengangguran merupakan masalah yang serius tapi sering diabaikan dalam diskursus ketenagakerjaan. Padahal data dari World Bank menunjukkan tingkat setengah pengangguran naik di tahun 2020. Indonesia bukan satu-satunya negara yang mengalami hal ini; setengah pengangguran merupakan fenomena global.
Fenomena ini penting untuk dibahas karena ia berefek ke banyak orang. Memang orang-orang ini setidaknya punya pekerjaan dan pendapatan yang stabil, tapi di sisi lain mereka tidak bahagia. Faktor-faktornya antara lain gaji yang sedikit, merasa tidak bisa mengaktualisasikan diri karena pekerjaan tak sesuai dengan minat/taraf pendidikan, dan jaminan kerja rendah.
Bagaimana Underemployment Mempengaruhi Kita
Dalam kasus Amerika Serikat, dimana fenomena setengah pengangguran telah diteliti beberapa kali, orang-orang underemployed biasanya merupakan memiliki pendidikan sarjana atau lebih. Terbatasnya lapangan kerja berketerampilan tinggi membuat mereka beralih ke pekerjaan jasa, seperti barista, pelayan, tukang bersih-bersih, dan admin. Tidak ada yang salah dengan pekerjaan-pekerjaan ini. Masalahnya, mereka yang mengisi pekerjaan tersebut terlalu overqualified dan overeducated.
Penelitian yang dilakukan Dooley dan Prause (1997a dan 1997b) menunjukkan mereka yang underemployed memiliki kepercayaan diri yang lebih rendah dan lebih mungkin menjadi alkoholik dibanding populasi lain. Penelitian Dooley dan Prause lainnya (2000) juga menunjukkan status pekerjaan berkorelasi dengan kesehatan mental. Artinya, mereka yang depresi memiliki kecenderungan kehilangan pekerjaan lebih tinggi atau terpaksa bekerja di pekerjaan di bawah kualifikasi alias underemployed.
Tak hanya itu, underemployment juga berakibat buruk bagi masa depan karir. Penelitian yang dilakukan Strada Institute dan Burning Glass menunjukkan mereka yang underemployed dari pekerjaan pertama mereka sulit untuk keluar dari lingkaran setan ini.
Profesi yang rentan underemployed dari berbagai penelitian:
Sumber: https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0149206311398134?journalCode=joma
Suramnya realita lapangan kerja lulusan universitas juga membuat orang-orang (1) menyesali kuliah; (2) menolak untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas karena biaya yang dikeluarkan tak setimpal dengan hasilnya; (3) menurunnya jumlah penduduk dengan tingkat pendidikan tinggi, yang berpengaruh pada kualitas hidup masyarakat pada umumnya. Sarjana mendapatkan gaji yang lebih tinggi dari lulusan SMA, sehingga bisa berkontribusi lebih besar dalam pajak. Tak hanya itu lulusan universitas juga cenderung lebih bahagia dan lebih sehat.
Banyaknya sarjana yang mengisi pekerjaan yang tak butuh pendidikan tinggi tak hanya berefek ke para sarjana, tapi juga ke masyarakat lulusan SMA atau lebih rendah. Kolam pekerjaan mereka yang sudah sempit, semakin sempit lagi. Jika dibiarkan berlarut-larut bukan tidak mungkin jurang kesenjangan semakin melebar.
Lebih dari itu, underemployment merupakan isu struktural. Tingginya angka underemployment menunjukkan bahwa negara gagal menciptakan lapangan kerja yang cukup. Apalagi penelitian-penelitian sebelumnya tentang underemployment menunjukkan para pekerja yang kehilangan pekerjaannya cenderung mendapatkan pekerjaan yang berkualitas lebih rendah dibandingkan pekerjaan awal mereka. Artinya, semakin banyak orang berisiko terkena underemployment apabila krisis ekonomi kembali menghantam.
Solusinya tentu saja bukan menghapuskan jurusan-jurusan kuliah yang dianggap “tidak menguntungkan” seperti mayoritas jurusan rumpun soshum dan semakin menggalakkan jurusan yang “menguntungkan” seperti jurusan rumpun sains dan teknologi. Karena masalahnya Indonesia juga tidak punya banyak lapangan kerja yang bisa memfasilitasi lulusan rumpun saintek. Pertumbuhan industri manufaktur kita lambat–kalau tidak mau dibilang mandek–setelah dihantam oleh krisis ekonomi 1997-1998.