Di Indonesia, pernah terjadi genosida politik G30S. Dalam karya John Rossa, Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, memberikan fakta dan penafsiran baru bahwa ini adalah operasi militer yang gagal dan penggunaan peristiwa pembunuhan perwira Angkatan Darat sebagai alasan menghabisi eksistensi PKI di atas panggung politik nasional.
G30S terjadi karena Letkol. Untung membunuh 6 Jenderal dan satu perwira. Setelah itu, Suharto naik melalui Supersemar menjadi pemimpin Indonesia dan menumpas kaum komunis dan nasional PNI.
Setelah G30S, terjadilah pembunuhan massal di Indonesia. Kurang lebih 500 ribu orang hingga 1 juta orang dibunuh pada masa 1965-1966.
Sekitar 299 dosen dan 3464 mahasiswa ditahan, hilang, dan tewas di Yogyakarta. Banyak yang menjadi tahanan politik dan KTPnya diberi tanda.
Beberapa penulis terkenal seperti Pramoedya Ananta Toer dibuang ke Pulau Buru. Partai Komunis Indonesia dan organisasi-organisasi bawahannya dihancurkan dan anggotanya ditahan ataupun dihilangkan.
Di Indonesia tahanan politik 1965/1966 mulai dibebaskan oleh pemerintah Orde Baru pada 1970-1980 karena desakan dunia internasional. Eks tahanan politik diwajibkan untuk tetap melapor ke kodim setempat dalam waktu yang sudah ditentukan. Pergerakan merekapun diawasi oleh pihak keamanan. KTPnya dicap “ET” yang artinya Eks Tapol.
Pemerintah Joko Widodo pada periode pertamanya mencoba untuk merekonsiliasikan sejarah G30S dan Genosida 1965-66. Walaupun begitu, jarang sekali G30S dibicarakan di ruang publik maupun sekolah. Jika adapun, biasanya dibicarakan menurut narasi Orde Baru dimana PKI lah yang bersalah dalam pembunuhan 6 jenderal dan 1 perwira.
Di masa ini, masyarakat makin bebas dalam mencari fakta-fakta sejarah G30S, tetapi setiap mendekati 30 September, ada saja diskusi anti-komunisme dan peringatan G30S yang sesuai dengan narasi Orde Baru.
Pada 15 Januari 1974, terjadi demonstrasi dan kerusuhan besar-besaran di zaman Orde Baru menentang kedatangan PM Jepang Kakuei Tanaka sebagai bentuk penolakan terhadap investasi asing dan kebijakan zaman Orba yang menjadikan Asisten Pribadi Presiden (Aspri) memiliki wewenang yang luas seperti Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani.
Pada 14 Januari 1974, para mahasiswa berdemonstrasi di depan Bandar Udara Halim Perdanakusuma untuk menyambut PM Jepang, namun Soeharto telah menyediakan helikopter untuk menghindari demonstrasi tersebut.
Oleh karena itu, para mahasiswa dan demonstran berkumpul di Monas untuk melanjutkan demonstrasi penolakan terhadap kebijakan Orba melalui Tritura, tiga tuntutan rakyat, yakni pembubaran Aspri, penurunan harga, dan pemberantasan korupsi.
Namun aksi protes tersebut disambut dengan penembakan oleh aparat dan membuat suasana ricuh sehingga pasar senen terbakar. Terjadi penjarahan di berbagai tempat dan kericuhan di M.H. Thamrin.
Sejarah Malari sebagai pelanggaran HAM berat masih jarang didiskusikan di Indonesia. Tidak ada catatan resmi di pelajaran sejarah Indonesia dan tragedi ini terbayangi oleh kekerasan yang lebih parah pada 1998.
Padahal sejarah Malari adalah bagian sejarah pergerakan mahasiswa di Indonesia yang menjadi titik penting dalam melihat perubahan sosial-politik dan strategi mahasiswa dalam menghadapi Orba.
Pasca-peristiwa Malari, aparat keamanan menganggap mahasiswa sebagai dalang kericuhan. Beberapa pejabat di aparat keamanan dicopot oleh Soeharto karena dianggap bertanggung jawab terhadap kegagalan keamanan negara.
Ketua Dewan Mahasiswa-Universitas Indonesia Hariman Siregar dipenjara karena dianggap telah menjadi dalang Malari. Aparat keamanan juga menjadi lebih aktif di lingkungan kampus dan memperketat keamanan dan intelijen negara.
Pada 1997, terjadi krisis moneter di Asia Tenggara yang dimulai dari Thailand dan merambat sampai ke Indonesia. Dalam krisis moneter 1997-1998, inflasi terjadi besar-besaran sehingga mayoritas penduduk tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup.
Soeharto yang telah menjadi presiden Indonesia selama 32 tahun lengser pada 21 Mei 1998 dimana terjadi kerusuhan dimana-mana di Indonesia.
Pada 1998, kerusuhan merembet di Jakarta, Surabaya, Medan, dan kota lainnya dimana warga keturunan Tionghoa mengalami diskriminasi dan terjadi pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa disebabkan oleh kesenjangan sosial dimana kaum Tionghoa dianggap menguasai sektor industri dan bisnis. Banyak sekali gedung dan kantor yang terbakar, terutama toko-toko milik warga Tionghoa. Kebencian rasial ini dipicu oleh hierarkis sosial yang dibuat oleh Belanda dan diteruskan oleh Orde Baru.
Pada akhirnya, Soeharto dan Orde Baru tumbang dan digantikan oleh B.J. Habibie selaku presiden Indonesia ketiga.
Kerusuhan dan krisis membuat Indonesia jatuh di mata dunia. Dimana memicu reformasi di berbagai bidang, dari pemerintahan sampai ekonomi. Kebijakan ekonomi Indonesia menjadi lebih konservatif dan didirikan beberapa institusi untuk menangani beban 1998, termasuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Komnas Perempuan.
Kerusuhan, pemerkosaan, penjarahan, dan pembunuhan membuat reformasi 1998 salah satu tragedi berdarah dalam sejarah Indonesia. Walaupun belum tercatat dalam sejarah resmi, 1998 menjadi trauma bagi kalangan Tionghoa dan diceritakan dalam sejarah oral Indonesia.
Presiden populer sosialis terpilih Salvador Allende dikudeta oleh Jenderal Augusto Pinochet dengan bantuan Amerika Serikat yang mengakhiri demokrasi dan mulainya kediktatoran di Chile.
Presiden Allende mencoba untuk menasionalisasikan perusahaan-perusahaan penting seperti tambang dan lainnya. Dia juga berupaya untuk menerapkan sosialisme secara demokratis di Chile.
Terjadi banyak penangkapan dan pemenjaraan tahanan politik. Sekitar 7000 tapol ditahan dan disiksa setelah kudeta 11 September 1973.
Berakhir dengan turunnya Pinochet di tahun 1990 setelah 17 tahun setelah menjabat dan secara radikal mentransformasi masyarakat Chile.
Ada 40175 korban yang dipresekusi, ditangkap, dibunuh, dan disiksa. Kurang lebih 3.200 korban dibunuh dan dihilangkan.
Pada dekade awal kediktatoran, tidak ada yang membicarakan peristiwa kudeta. Sejarah tidak diajarkan, sejarah berhenti di tahun 1970.
Pemerintah transisi awalnya mengikuti logika menutupi memori kekerasan Pinochet. Para guru sejarah tetap mengajarkan interpretasi yang menetralkan sejarah dan menjustifikasi kudeta.
Sampai hari ini, ada beberapa yang dari politik kanan yang mengagungkan kudeta Pinochet dan beberapa yang mencoba merevisi sejarah untuk membongkar kesadisan Pinochet.
Pada 16 Mei 1966, Republik Rakyat Tiongkok mengalami Revolusi Budaya yang membunuh kurang lebih 1,7 juta intelektual, politisi, dan warga dan menghancurkan beribu-ribu warisan sejarah dan artefak.
Pemerintah Mao Zedong membentuk “Red Guards” yang berisikan kaum muda. Mao menerbitkan poster “Hancurkan Pusat” dan mendukung “Red Guards” pada 18 Agustus 1966.
“Red Guards” mendeklarasikan perang terhadap “Empat Lama”, Tradisi lama, Budaya Lama, Kebiasaan lama, dan Ide Lama. Revolusi ini menghancurkan 6.800 artefak budaya dan menjarah rumah politisi, akademisi, penulis, dan artis. Mereka menghasilkan anarki dan perang saudara.
Pada 1968 Revolusi Budaya berhenti dengan Mao menyuruh semua pelajar untuk dikirim ke pedesaan.
Revolusi Budaya berjalan selama 10 tahun, berakhir ketika Mao Zedong meninggal dan penangkapan Geng empat di 1976. Setelah Mao meninggal, Deng Xiaoping naik menjadi pemimpin negara.
Warga Cina menganggap hal ini tidak boleh terjadi lagi. Mereka membuka sejarah setelah Mao meninggal di tahun 1977, dimana Revolusi Budaya dianggap sebagai “10 tahun bencana”.
Di buku sekolah, media, dan kelas, jarang sekali Revolusi Budaya didiskusikan. Tetapi efek dari Revolusi Budaya menghasilkan freethinkers yang berasal dari mereka yang tidak sekolah pada masa Revolusi Budaya atau membuat Revolusi di desa seperti Lio Xiaobo, Hu Ping, Si Xiaokang, Zheng Li yang melihat kemiskinan dan opresi di pedesaan.
Holocaust adalah pembunuhan massal 6 juta Yahudi di tangan Nazi Jerman pada masa Perang Dunia Kedua.
Ini terjadi setelah Adolf Hitler pada 1939 diangkat menjadi Kanselir Jerman. Dengan segera, dia memulai persekusi terhadap orang Yahudi, Homoseksual, Roma (Gipsi), dan lainnya yang dianggap inferior dan bukan bangsa Arya yang sebenarnya.
Holocaust adalah genosida yang terjadi karena Hitler memerintahkan ‘Final Solution’ untuk menghilangkan kaum Yahudi di Jerman dan daerah-daerah pendudukan lainnya. Mereka merusak sinagog, rumah, dan toko milik orang Yahudi.
Hal ini bermula di Kristallnacht dimana mereka mulai menjarah toko-toko kaum Yahudi dan berakhir pada pengumpulan massal kaum Yahudi di Auschwitz, Treblinka, dan Belzec.
Holocaust berakhir bersamaan dengan kekalahan Nazi Jerman pada 1945. Namun pada akhir Perang Dunia Kedua 6 juta Yahudi, 1,8 juta orang Polandia, 375 ribu orang Roma meninggal menjadi korban kekerasan Nazi Jerman.
Jerman memiliki kata yang pas untuk membicarakan masa lalunya, “Vergangenheitsbewältigung” yang artinya kurang lebih “berdamai dengan masa lalu”. Jerman mengkonsepsikan masa lalu yang gelap, Nazi Jerman, dengan mencoba untuk ‘menyadari’ dan ‘mengakui’ kesalahan masa lalu.
Sebelumnya di Jerman Barat orang-orang memilih untuk diam daripada membicarakan kesalahan masa lalu seperti Holocaust yang menjadi ‘dosa kolektif’ masyarakat Jerman.
Di Jerman Timur, anti-fasis menjadi identitas nasional. Tetapi di Jerman Timur ataupun di Jerman Barat mereka lebih memilih untuk berpikir bahwa mereka juga adalah korban dari Nazi Jerman.
Baru setelah 1961 dengan penghakiman Adolf Eichmann, seorang petinggi Nazi baru kata “Tidak Lagi” menjadi semboyan dalam mengingat Holocaust.
Di Jerman sekarang, banyak museum peringatan Holocaust dan pengajaran sejarah bahwa Holocaust benar-benar terjadi. Di Jerman, penyangkalan terhadap Holocaust adalah larangan berdasarkan hukum.
Konflik antara Pakistan Barat dan Timur (Sekarang bernama Bangladesh) bermula dari partisi British India menjadi dua negara, Pakistan yang mayoritas Muslim dan India yang mayoritas Hindu tahun 1947.
Permasalahannya kedua bagian negara mempunyai bahasa, budaya, dan keinginan politik yang berbeda sehingga terjadilah genosida Bangladesh di tahun 1971. Walaupun Pakistan Timur mempunyai populasi yang lebih banyak, kelas berkuasa di Pakistan Barat yang juga adalah ibukota dari Pakistan menyepelekan mereka. Pada 1970, Awami League yang dipimpin oleh Sheikh Mujibur Rahman memenangkan pemilu. Tetapi Pakistan Barat tidak mau melepaskan Pakistan Timur.
Terjadilah Perang Pembebasan Bangladesh yang memakan korban 3 juta orang. Terjadi kekerasan seksual dan kejahatan HAM disana. Media dilarang dan Tentara Pakistan memerintah Pakistan Timur dengan penaklukan dan kekerasan.
Setelah Pakistan Timur merdeka menjadi Bangladesh di 1971, Pakistan membuat narasi untuk meminimalkan diskusi genosida di Bangladesh dengan menjustifikasi serangan di Pakistan Timur sebagai bagian dari peperangan melawan agresi India dan separatisme.
Pakistan membela operasi militer di Pakistan Timur sebagai bagian wajib bela negara kesatuan, menghalaukan pembicaraan mengenai kejahatan perang di Bangladesh. Media milik negara mendistribusikan narasi ini, dan tidak mengakui kejahatan itu agar rakyat Pakistan tidak mengetahui seberapa jahatnya pembunuhan massal itu.
Apartheid adalah sistem segregasi sistemik yang memisahkan dan mendiskriminasi orang kulit hitam di Afrika Selatan.
Ini bermula dengan penjajahan Belanda dan Inggris di Afrika selatan. Pada 1949 dengan kemenangan Partai National yang berisikan kaum Boer, orang-orang Belanda yang menetap di Afrika Selatan, mereka mengimplementasikan Apartheid dimana warga kulit hitam tidak boleh tinggal di kota-kota besar dan tersegregasi ke township khusus untuk mereka.
Warga kulit hitam diharuskan kerja di tambang-tambang dan lahan pertanian milik orang kulit putih. Mereka dilarang untuk bekerja setara dengan warga kulit putih dan perlawanan mereka dihancurkan dengan penembakan massal seperti di Sharpeville 1960 dan kekerasan-kekerasan secara massif.
ANC (African National Congress) dan pemimpinnya, Nelson Mandela melawan Apartheid dengan cara non kekerasan pada awalnya. Tetapi karena mereka dianggap ilegal, mereka akhirnya menggunakan teknik sabotase dan perlawanan bersenjata dengan mendirikan Umkhonto We Sizwe sejak awal abad ke 20. Setelah mereka dilarang oleh pemerintah, South African Students’ Association didirikan pada 1960 untuk melanjutkan perlawanan terhadap Apartheid.
Apartheid akhirnya berakhir pada 1994 dengan pemilihan umum pertama yang memperbolehkan semua warga Afrika Selatan, kulit hitam dan putih, untuk memilih secara bebas dimana Nelson Mandela menjadi presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan.
Walaupun Apartheid sudah selesai, bukan berarti sistem ini hilang seketika. Masih banyak efek dari Apartheid yang dirasakan oleh warga Afrika Selatan dimana kesenjangan sosial sangatlah tinggi antara warga kulit hitam dan putih.
Secara hukum dan politik, setiap warga negara Afrika Selatan setara dan bebas di bawah hukum. Namun warga kulit hitam masih terjebak dalam kemiskinan struktural dan digaji lebih rendah daripada warga dari ras lainnya.
Akses terhadap pendidikan, lingkungan yang sehat, dan fasilitas publik juga masih tidak setara dimana diskriminasi terhadap warga kulit hitam masih terjadi secara sporadis dari hari kehari.
Banyak orang kulit hitam yang tinggal di ghetto karena zaman Apartheid, mereka tidak diperbolehkan untuk tinggal di kota secara legal dan terpaksa untuk mencari uang di pinggir kota. Hal ini memperlihatkan tidaketaraan secara fisik maupun sosioekonomi.
Pemerintah Afsel pasca Apartheid mencoba untuk merekonsiliasi semua warganya. Tetapi pengangguran kulit hitam dan berwarna lebih tinggi daripada kulit putih. Pemerintah ANC berencana untuk melakukan reformasi agraria untuk membantu menurunkan kesenjangan ekonomi. Selain itu, pemerintah Afsel memberikan bantuan sosial sebagai bentuk penyetaraan hak setiap warga.
Istilah Sixties Scoop dikemukakan oleh Patrick Johnston pada laporan 1983 mengenai sistem kesejahteraan anak. Di Kanada pada 1960 an anak-anak orang asli diambil secara paksa “scooped away” dari keluarganya dan komunitasnya. Mereka disekolahkan di sekolah asrama dan diadopsi oleh warga kulit putih, kelas menengah di Amerika Utara. Sixties scoop terjadi bukan karena pemerintah benar-benar peduli dengan kesejahteraan masyarakat Asli, namun karena kebijakan rasis terhadap masyarakat Asli untuk mengasimilasikan mereka ke dalam masyarakat Barat dan menghilangkan budaya dan komunitas mereka.
Proses ini dimulai pada 1951 dengan Indian Act yang memberikan otoritas anak-anak orang asli kepada pemerintah provinsi. Pada waktu itu, komunitas orang Asli mengalami kemiskinan yang tinggi dan halangan sosio ekonomi karena pengaruh dari sekolah asrama dan larangan untuk mengakses hak-haknya sebagai warga negara Kanada.
Dalam banyak kasus, pekerja kesejahteraan anak tidak ada kualifikasi yang sesuai. Mereka adalah orang tidak asli yang kurang peduli dengan pikiran dan struktur keluarga masyarakat Asli. Di samping itu, mereka tidak meminta persetujuan dari komunitas Asli yang anaknya diambil secara paksa sampai dengan 1980 an.
Sebelumnya pemerintah mengharuskan warga asli untuk bersekolah di asrama pemerintah yang juga menghasilkan efek samping yang kejam terhadap masyarakat asli. Setelah digantikan dengan sistem ini, di 1970 an, satu pertiga anak-anak yang ada di sistem kesejahteraan Kanada adalah orang Asli. 70 persen dari mereka diberikan ke keluarga Eropa. Pemerintah juga melarang akta kelahiran untuk diakses oleh anak-anak jika tidak ada persetujuan orang tua adopsi dan anak. Ada banyak sekali kekerasan fisik dan seksual di asrama maupun di rumah adopsi yang menghasilkan trauma berat bagi mereka yang mengalami.
Anak-anak yang besar dalam sistem ini meninggalkan identitasnya dan kekerasan yang dialami memberikan permasalahan psikologi dan emosional.
Pada 1972 National Indian Brotherhood menginspirasi orang Asli untuk mengambil kontrol dari social service di Kanada. Mereka menemukan banyak dari anak-anak orang Asli yang berada dalam naungan sistem kesejahteraan anak. Penahanan anak-anak adalah genosida budaya dalam Konvensi PBB untuk Genosida. Akhirnya pada 1990, Indian and Northern Affair Canada (INAC) membuat program Anak Bangsa Pertama dan Kegiatan Keluarga untuk membantu menyelesaikan permasalahan dari Sixties Scoop.
Sekarang ini, anak orang Asli masih banyak berada dalam sistem kesejahteraan anak. Contohnya, di Ontario anak-anak Asli mewakilkan kurang lebih 30% dari anak yatim, walaupun hanya 4.1% dari populasi Kanada.
Sixties Scoop di Kanada jarang sekali dibahas oleh publik Kanada. Ini membuatnya menjadi tabu untuk dibicarakan dan sekolah di Kanada tidak banyak membicarakan sejarah gelap ini karena dianggap sebagai isu pinggiran.
Troubles adalah konflik bersenjata di Irlandia Utara yang adalah bagian dari Inggris. Konflik ini berpusat di kota Belfast dimana terjadi pengeboman, teror, konflik bersenjata antara kaum katolik Irlandia yang ingin bersatu dengan Republik Irlandia dan kaum protestan yang ingin menetap dalam Persemakmuran Inggris di 1960-1990 an.
Kurang lebih 3.000 orang meninggal karena konflik Troubles. Konflik ini juga meluas ke Irlandia dan Inggris seperti di London. Karena konflik ini, kehidupan di Belfast tersegregasi antara kaum katolik dan protestan. Mereka bersekolah, berkegiatan, dan bekerja di tempat-tempat berbeda. Kaum protestan dikenal sebagai Unionist dan kaum katolik sebagai Republican.
Konflik ini bermula pada kemerdekaan Irlandia dari Inggris pada 1920an dimana Irlandia merdeka kecuali Irlandia utara yang mayoritasnya beragama protestan. Pada 1960 an, kaum katolik yang adalah minoritas merasa frustasi atas diskriminasi seperti susahnya mencari tempat tinggal dan pekerjaan. Kaum katolik melaksanakan pergerakan hak-hak sipil yang disurpresi oleh polisi protestan melalui kekerasan. Pada 1969, Inggris mengirim militernya untuk menenangkan konflik, tetapi malah hal ini membuat kaum katolik untuk ikut dalam pergerakan militer dengan mendirikan Irish Republican Army (IRA).
Konflik ini pecah menjadi terorisme terhadap Inggris. IRA melakukan pengeboman di tengah kota, bom mobil, dan penembakan marak terjadi.
Pada 1994 IRA mengumumkan gencatan senjata dan dimulailah diskusi perdamaian.
Setelah berdiskusi panjang, IRA mengambil jalan perjuangan non-violence dengan menggunakan Partai Sinn Fein sebagai kendaraan politiknya hingga saat ini.
Kedua kaum katolik dan protestan akhirnya mengakhiri the Troubles dengan Good Friday Agreement pada 10 April 1998. Dalam perjanjian ini, Irlandia Utara mendirikan pemerintahannya sendiri dengan otoritas terhadap isu-isu seperti kesehatan dan pendidikan.
Pemerintah harus memberikan kekuasaan bersama antara pro-Inggris dan Pro-Irlandia. Konflik selama lebih 30 tahun akhirnya berakhir.
Walaupun konflik sudah berakhir, masih banyak sisa-sisa konflik yang memisahkan setiap komunitas di Irlandia Utara. Katolik dan Protestan hidup dalam segregasi dan mereka dibatasi pagar.
Setelah Good Friday Agreement, paramiliter seperti IRA tidak hilang, mereka masih berjaga untuk komunitasnya masing-masing. Akhirnya marak terjadi vigilante dan premanisme.
Kekerasan dari konflik ini membuat Irlandia Utara menjadi salah satu daerah termiskin di Inggris dan pengibaran bendera Union Jack ataupun 3 warga Irlandia bisa memicu konflik lagi. Ada gerakan lagi yang ingin mempersatukan Irlandia Utara dengan Republik Irlandia. Pada pemilu 2022, Sinn Fein menjadi partai mayoritas karena Brexit.
Juga bermunculan artis-artis seperti Kneecap yang menyuarakan aspirasi kaum Irlandia dengan menggunakan bahasa lokal Gaelic dalam rapnya dan menggunakan identitas kebangsaan Irlandia.