Syd Barrett: Narkoba dan Mitos Skizofrenia

Syd Barrett: Narkoba dan Mitos Skizofrenia

Tiap mendengar band yang berniat reuni, saya langsung terkenang film D'Bijis, sebuah film drama komedi Indonesia yang dirilis pada 2007. Film tersebut merupakan drama musikal yang bercerita soal band lawas yang sudah lama bubar. Band itu bernama The Bandits. Berpuluh tahun kemudian, adik salah satu personel ini bernama Asti yang diperankan Rianti Cartwright mencoba menghidupkan kembali band ini. 

Banyak dialog dan scene seru dalam film tersebut. Namun yang begitu melekat di kepala dan menjadi scene ikonik: Asti menyambangi kediaman Soljah (Ruli Lubis), keyboardist The Bandits.

Dalam scene yang dibikin dramatis itu, Asti berulang memanggil nama orang yang ia cari setibanya di kediaman Soljah yang gelap. Yang dipanggil tak sedikit pun menoleh dan diam seribu bahasa. Alih-alih bereaksi, Soljah fokus mengganyang makanan sambil menatap layar televisi. 

Dalam posisi memunggungi, Asti nampak putus asa. Asty makin yakin kalau orang itu bukan Soljah yang ia cari. Dalam imajinasi Asti, Soljah bukanlah pemain kibor berbadan ideal yang diidolai banyak para penggemar melainkan seorang depresi yang kelebihan berat badan.

Entah mengapa adegan ini bertengger di kepala saya saban mendengar nama Syd Barrett.

Bagi penggemar Pink Floyd, Syd dipuja-puja bak nabi lantaran kontribusinya yang besar di awal kemunculan band ini. Musikus kelahiran 6 Januari 1946 ini bertanggung jawab menulis sebagian besar materi awal Pink Floyd. Berkat sentuhan tangannya, teknik gitar seperti feedback, disonansi, dan distorsi terdengar begitu menawan. Sound gitar yang aneh ini makin paripurna dengan lirik nyeleneh yang sanggup membikin mahasiswa sastra geleng-geleng. Kombinasi bikinan Syd itu menjadi cetak biru buat Pink Floyd sebagai pelopor band psikedelik.

Bersama Roger Waters, Nick Mason, Rick Wright, pria yang terlahir dengan nama Roger Keith Barrett ini sukses menjadi nahkoda dalam debut album pertama Pink Floyd bertajuk The Piper at the Gates of Dawn. Lewat pencapaian debut album yang dirilis pada Agustus 1967 ini, nama Pink Floyd dikenal. Album ini juga melahirkan konsekuensi baru: terkenal dan punya banyak penggemar. Di awal terbentuknya Pink Floyd, orang-orang mengenal Syd sebagai pribadi yang riang dan ekstrovert. Ia sama seperti anak band di usia muda yang lain: nyentrik dan gandrung musik.

Namun saat popularitas menghampirinya, Syd menunjukkan keanehan sikap. Keanehan tersebut mulai disadari konco satu bandnya di penghujung tahun 1967. Syd menjadi sukar ditebak. Ia pernah berlari-lari di atas panggung tanpa bernyanyi dan memainkan gitar. Suatu waktu saat tengah manggung di The Fillmore West, San Francisco, Syd awut-awutan di atas panggung. Sepanjang set, ia hanya mengulang-ulang satu kord bahkan dan melongo bak kambing congek di atas panggung.

Cerita lain yang menjadi dongeng paling populer di penggemar Pink Floyd adalah momen Syd meremukkan pil penenang bermerek Mandrax di atas panggung. Sejurus kemudian ia lantas mengoleskan serbuk Mandrax itu ke wajahnya. Di bawah sorot lampu panggung, Syd tampak seperti “lilin hancur” yang menatap penonton dengan wajah muram. 

Pelbagai keanehan dengan skala berbeda kerap berulang di panggung-panggung lain. Syd dan segala perangai anehnya menjadi ritual tak terhindarkan saat Pink Floyd manggung. Tak cuma di atas panggung, Syd membawa keanehan ini ke dalam kehidupan sehari-hari. Rekan band dan teman di luar musik acap mendapati Syd dengan tatapan kosong dan berbicara ngelantur. 

Melihat kekacauan Syd, band akhirnya mengambil keputusan: Syd dipecat pada 1968. Posisinya kemudian digantikan oleh teman masa kecilnya, David Gilmour. Keluarnya Syd menjadi sumber kesedihan bagi Gilmour. Menurut Gilmour, Syd yang ia kenal bukan Syd yang kacau seperti itu. 

“Dia seseorang yang dikagumi orang saat melihat dia berjalan. Dia memiliki karisma dan daya tarik itu. Dia lucu dan cerdas. Semua hal dia tahu. Saya bergaul dengannya, berkeliling di rumahnya, dan ketika saya pindah ke Cambridge Tech, kami sering berjumpa di sekolah seni pada jam makan siang,” tutur Gilmour yang sudah mengenal Syd di usia 15 tahun.

Keluarnya si anak muda potensial ini lantas membuat para penggemar dan media berspekulasi tentang apa sih penyulut membuat Syd sekacau itu. Yang paling santer dan banyak diyakini mulanya ialah narkoba. Di era itu, semua orang mafhum narkoba menjadi medium bagi para musisi muda untuk mengeksplorasi dunia kesenian mereka, tak terkecuali Syd. Lantaran konsumsi Acid dan LSD yang berlebihan itu, menurut keyakinan banyak orang dan teman dekatnya, Syd berubah liar dan tak karuan.

“Bocah malaikat ini menjadi pemurung. Tak mungkin (rasanya) bekerja sama dengan dia, pria yang kejam,” kenang teman kecil Syd, David Gale.

Bisa Jadi Syd Skizofrenia, Bisa Jadi Juga Enggak

Sejak keluar dari Pink Floyd, Syd tinggal di rumah ibunya di Cambridge. Di sana, Syd kembali menekuni seni lukis, cabang kesenian yang dipelajarinya sebelum menjadi musisi. Adik perempuan Syd, Rosemary, yang tinggal berdekatan dan merupakan satu-satunya kontak Barrett dengan dunia luar, menyebut kalau Syd senang berkebun. Syd si musisi berbakat itu kini kini menjadi anak rumahan. Sayangnya kondisi kesehatan Syd memprihatinkan sejak pulang ke rumah. Berat badannya naik. Puncaknya, ia dua penyakit parah: tukak lambung dan diabetes.

Kita tak tahu apakah ia seorang pesakitan yang merasa kalah. Atau ia malah merasa bahwa menjadi anak rumahan adalah sesuatu yang ia impikan. Namun yang jelas, di mata orang lain terutama penggemar, ia tetap menawan. Tawaran bermusik masih menghampirinya. Atas permintaan perusahaan EMI dan Harvest Records, Syd sempat merilis dua album solo, The Madcap Laughs dan Barrett pada 1970. Deretan lagu dari kedua album tersebut berasal dari masa-masa Syd masih produktif menulis lagu yakni akhir 1966 hingga pertengahan 1967.

Kelahiran dua album itu tak serta merta membikin Syd tertarik mengarungi hingar bingar industri musik kembali. Dua tahun berselang, ia memutuskan pensiun bermusik pada 1972. Syd seakan siap menempuh jalan sunyi di sepanjang hidupnya.

Ia hidup tanpa kabar. Menurut penuturan adiknya, Syd hidup menggelandang di London. Pada tahun 1978, ketika Syd kehabisan uang, ia pulang ke Cambridge untuk tinggal bersama ibunya. Dia kembali tinggal di London selama beberapa minggu pada tahun 1982, tetapi segera kembali ke Cambridge secara permanen dengan berjalan kaki sejauh 50 mil (80 km) dari London ke Cambridge.

Teman-teman terdekatnya juga tak tahu bagaimana kondisinya. Bisa dihitung dengan jari berapa kali ia menampakkan batang hidungnya. Yang paling legendaris tentu saja cerita ia menghampirinya rekan band lamanya yang tengah rekaman pada 5 Juni 1975. 

Ketika semua personel tengah sibuk merekam lagu "Shine On You Crazy Diamond" di Abbey Road Studios, seseorang pria gemuk, linglung, berambut botak, dan membawa kantong plastik masuk ke dalam studio. Semula tak ada yang tahu kalau pria tersebut adalah Syd Barrett. Para personel baru menyadari kalau pria itu adalah Syd Barrett setelah salah seorang karyawan EMI memberitahu mereka. Melihat perubahan teman lamanya, air mata Roger Waters jatuh. 

Usai bertemu Syd Barrett, Waters langsung menulis lagu "Wish You Were Here" yang lirik dan lagu tersebut di dedikasikan untuk sahabatnya, Syd Barrett. 

Saya membayangkan, ia tampaknya tak peduli lagu itu. Sama dengan ketidakpeduliannya dengan bagaimana orang membayangkan hidupnya setelah ditendang Pink Floyd. Syd boleh saja tak peduli. Tapi yang terang, para penggemarnya akan menghidupi imajinasi soal hidup Syd. Menghilangnya Syd memberi ruang untuk berimajinasi macam-macam tentang hidupnya, termasuk alasan dia menjauh dari dunia musik.

Selain narkoba, Syd juga diduga mengidap penyakit mental yakni skizofrenia. Sebagian orang lantas membesar-membesarkan dugaan penyakit ini dan menghidupkannya sebagai mitos. Namun tak ada yang berani menjamin apalagi keterangan tertulis yang menyebut Syd mengidap Skizofrenia. Bahkan mantan rekan sebandnya, Roger Waters hanya menyebut “mungkin” Syd mengidap skizofrenia. Dalam sebuah wawancara, Roger Waters menyebut jika di rentang awal Syd menunjukkan keanehan, ia dan personel Pink Floyd lain pernah mengajak Syd pergi ke psikater. Tapi setibanya di rumah sakit, Syd menolak untuk masuk.

“Kami di beberapa kesempatan mencoba membawanya ke psikiater, tapi ia tak mau. Kemudian situasinya makin aneh,” ujar Roger Waters dalam sebuah wawancara. 

Benar, gangguan dan perilaku yang parah memengaruhi caranya berpikir, merasakan, dan bertindak. Ia mungkin sulit membedakan antara kenyataan dan fantasi baik di atas panggung maupun di bawah panggung. Seperti orang skizofrenia lainnya, Syd bisa jadi tak mampu berpikir teratur. Atau dalam hidupnya yang sunyi, Syd mendengar suara-suara lain mengendalikan pikirannya atau menyuruh untuk bunuh diri. 

Membayangkan itu bulu kuduk saya merinding. Saya tak sampai hati membayangkan Syd menjalani hidup dari satu depresi ke depresi lain, menderita skizofrenia atau percobaan bunuh diri berkali-kali. 

Mengenang Syd seakan meyakinkan “bisa jadi” yang ada di kepala saya. Ada ruang kosong yang membuat “bisa jadi” itu terdengar masuk akal. Banyak informasi luput sepanjang Syd menghilang dari peredaran. Bisa jadi, ia tetap melakoni hidup ala psikedelik, mengkonsumsi LSD hingga maut memanggilnya pada 2006 di usia 60 tahun. Mungkin saya keliru. Bisa jadi tidak.