Syukur, Kami Masih Bisa Nyanyi


Hampir empat tahun sudah, Kementerian Sosial yang saat itu dipimpin Khofifah, (mungkin) sudah jauh berprogres menyelesaikan misi moralitasnya: Indonesia mesti bebas dari prostitusi di tahun 2019. Ya, 2019 menjadi tahun habis-habisan lokalisasi ditutup. Pekerja seks, tukang laundry, pemilik angkringan sampai tukang becak atau tukang ojek kehilangan pendapatannya. Bagaimana tidak, lokalisasi adalah ladang bisnis menggiurkan. Di kota Semarang, ada sebuah tempat lokalisasi yang terkenal, Sunan Kuning (SK). Lokalisasi itu bisa meraup omset Rp 1 M per malam dari berbagai macam bisnis.

Lokalisasi yang usianya nyaris 55 tahun itu akhirnya benar-benar ditutup. Bisnis-bisnis yang bersemayam di sana terpaksa mencari tempat lain. Padahal sejak 1983, pemerintah sudah woro-woro ingin menutup, tapi tak pernah ada realisasi yang jelas—kalaupun ada, selalu gagal.

Drama-drama penutupan SK membawa saya kepada cerita menarik dari subjek yang paling terdampak dari penutupan, yakni pekerja seks. Saya ingin mengajak Anda menyelami kisah Farida (nama samaran), pekerja seks yang saya wawancarai ketika saya melakukan penelitian di Semarang. 

POV Pekerja Seks-nya

Aku meneguk ludah kala ditanya bagaimana perasaanku soal penutupan ini: gelisah, galau, terpukul. “Anak-anak, lokalisasi ini nantinya akan ditutup oleh pemerintah,” kata pengelola lokalisasi yang biasa kami sebut sebagai Bapak. Setengah nyawaku seakan terbang, aku harus cari uang kemana?
Kata pemerintah, tempat lokalisasi kami dirasa cukup mengganggu kebersihan kota Semarang. Tempat kami mencari nafkah berada di lokasi strategis, ada sekolah, dekat gedung-gedung pemerintahan, bahkan hanya perlu ngesot untuk sampai bandara milik Semarang. “Barangkali bagi sebagian orang, tak enak juga, mendarat di Semarang, lah, kok, tiba-tiba yang pertama ditemui tempat prostitusi?” pikirku
Profesi yang kutekuni sejak 2017 ini membuatku menghasilkan pundi-pundi rupiah. Anak-anakku tercukupi, tak ada kendala untuk biaya sekolah mereka. Anakku yang paling besar sebentar lagi juga akan menginjak perguruan tinggi
Aku teringat kegelisahanku lima tahun lalu, saat usiaku 32 tahun dan temanku mengajakku menjadi pekerja seks di SK. Kegelisahan yang dulu, bahkan tak ada apa-apanya dibanding kegelisahanku yang sekarang. Sebab biaya hidup semakin membengkak, tapi sumber penghasilan utamaku malah mau dihilangkan.
Tiba-tiba, Bapak datang dengan sedikit harapan. “Pemerintah akan memberi kalian pelatihan intensif. Mulai dari belajar memasak, tata rias, bisnis,” kata Bapak. Kami juga akan diberi pesangon, terserah mau dipakai untuk bekal hidup sementara atau dialokasikan untuk membangun usaha kecil-kecilan
Sejak dengar itu, mulanya aku sedikit bersemangat, tapi sekejap aku jadi pesimis. “Apakah pelatihan-pelatihan ini akan begitu berguna?” tanyaku dan bisik-bisik serupa dari teman seprofesiku. Apalagi waktu dengar jumlah duit pesangon, pendapatanku setiap bulan sebagai pekerja seks berkali-kali lipat lebih banyak dari pesangon Rp 5 juta itu. Dalam benakku, “buka bisnis apa dengan uang segitu?”
Bapak berusaha bernegosiasi dengan pemerintah. Hasilnya membuatku dan teman-teman seprofesiku bisa sedikit bernafas lega.
Meski kegiatan prostitusi ditutup total, pemerintah akhirnya bersedia mengizinkan karaoke beroperasi. Tapi kami mesti janji, tak ada lagi transaksi seksual yang terjadi
Hingga tiba akhirnya, tepat pada 18 Oktober 2019, pemerintah resmi menutup lokalisasi
Malam-malam harinya aktivitas kami berubah, aku tak bisa bilang ini perubahan drastis. Tapi yang jelas, kegiatan di SK benar-benar terasa berubah. Jam malam diperketat, para mantan pekerja seks tak boleh lagi menginap di wisma (sebutan untuk tempat sewa kamar). Akhirnya kami harus ngekos di luar wilayah SK
Tak ada lagi aku dan teman-temanku nangkring sambil merokok di depan wisma menunggu pelanggan.
Bapak dan beberapa pengelola lokalisasi membentuk paguyuban karaoke untuk memantau kami semua. Namanya PAKAR (Paguyuban Karaoke Argorejo).
Setiap malam, anggota PAKAR bergilir mengecek seluruh wisma karaoke untuk memastikan kami patuh aturan. Sebagian pekerja seks kini beralih menjadi pemandu karaoke, termasuk diriku
Paguyuban ini juga jadi pengayom kami. Misalnya, ada pemandu karaoke yang berebut pelanggan, PAKAR lah yang menengahi. Atau, bisa saja ada pelanggan usil atau memaksa bertransaksi seksual, PAKAR lah yang siap badan untuk menendang pelanggan-pelanggan bejat keluar dari wilayah SK
PAKAR juga memberi kami pelatihan, bagaimana memperlakukan tamu dengan sopan, SOP saat menemani tamu bernyanyi, dan bagaimana menolak ajakan-ajakan untuk transaksi seksual. Sebab, Bapak selalu wanti-wanti, jangan ada yang sampai melanggar aturan operasi karaoke kalau tak mau bisnis ini ikut dilibas pemerintah
Ya, kini aku dan beberapa kawanku memang sangat bergantung dengan karaoke ini. Pelanggan tetap ramai berdatangan, meski tak seramai dulu. Walau begitu, peralihan bisnis ini tetap merugikanku—pendapatanku sekarang bahkan tak menyentuh 50% pendapatan saat masih menjadi pekerja seks.
Sementara, kawan-kawan lainku yang tak jadi pemandu karaoke punya nasib beragam. Ada yang kawin dengan salah satu pelanggan karena memang sudah saling jatuh cinta, ada yang beralih jadi pekerja seks secara daring, ada yang pulang ke kampung halaman dan merintis bisnis. Berbagai nasib mereka lainnya yang tak semuanya kuingat.
Singkatnya, nasib dari kami berbeda-beda. Ada yang “tobat” (ledekan orang-orang untuk menasehati kami), ada yang hanya pindah tempat.
Bagiku, penutupan ini lebih banyak merugikanku secara materi, tapi aku tak menampik bahwa ada hal baik juga yang kurasa
Aku sempat mempertimbangkan opsi untuk jadi pekerja seks daring atau bahkan tetap menerima pelanggan, tapi bertransaksi di luar wilayah SK. Toh, banyak pula temanku yang begitu. Aku berpikir seribu kali. Namun akhirnya kuurungkan juga.
Aku menyadari, saat ini aku jauh lebih bahagia melakoni pekerjaanku sebagai pemandu karaoke. Berbeda dengan saat aku jadi pekerja seks, hari-hariku penat dan melelahkan. Setiap hari harus melakukan hal-hal yang tak kuinginkan dengan orang yang tak kuhendaki. Keterpaksaan adalah kata yang tepat untuk menyebutnya. Mesti bagaimana lagi? Aku butuh itu untuk sesuap nasi
Walau uang yang masuk kantongku tak sebanyak dulu, aku masih selalu mensyukuri pekerjaan baruku ini. Nasib anakku tak seburuk yang kubayangkan. Setidaknya, keuangan kami tak teroambing-ambing karena, syukurlah, aku masih bisa menyanyi.