Tak Semua Orang Bisa Sukses di Musik, Connie Converse Tahu Rasanya

Tak Semua Orang Bisa Sukses di Musik, Connie Converse Tahu Rasanya


Bob Dylan masih ingusan saat Connie Converse mulai rekaman

Connie Converse mungkin tak sepopuler Bob Dylan atau Joan Baez yang sampai hari ini masih dipuja-puji oleh pecinta musik dunia. Tapi sejak awal 1950an, ia sudah menaruh batu pijakan bagi musisi folk selanjutnya seperti Bob Dylan, Joan Baez dan Joni Mitchell untuk mencipta dan menyanyikan lagu-lagu yang lebih personal. Kelak orang mengenalnya sebagai musik folk.

Pada awal 1950an, Connie pindah ke New York dan menetap Greenwich Village. Di tempat itulah ia merajut mimpinya sebagai musisi New York City. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Connie bekerja sebagai editor di majalah American Institute for Pacific Relations, sebuah organisasi non-pemerintah. Mimpi Connie untuk menjadi musisi makin menggebu di Greenwich Village. Perlahan jalan sebagai musisi profesional mulai terbentang. 

Pada 1954, Connie merekam satu set lagu di dapur apartemen Gene Deitch, seorang ilustrator dan seniman muda. Kala itu, Gene Deitch terpukau dengan musikalitas Connie yang baginya berbeda dari musisi kebanyakan.

“Banyak penyanyi yang lebih bagus daripada Connie. Tetapi hanya sedikit penyanyi yang cerdas, terpelajar dan cantik,” puji Deitch dalam sebuah kesempatan.

Pada tahun yang sama, Connie berhasil tampil di acara televisi nasional bertajuk CBS Morning Show berkat bantuan Deitch. Penampilannya menjadi pertunjukkan pertama dan terakhir Connie di televisi. Ia juga mulai dilirik oleh salah satu label rekaman berkat penampilannya di acara televisi tersebut.

Kesuksesan sudah di depan mata, seharusnya.

Selama menjadi penghuni  Greenwich Village, ia menghabiskan waktu dengan merekam banyak lagu. Dengan bermodalkan gitar akustik dan suara merdu, Connie merekam lagu-lagu dengan tema variatif. Dia bernyanyi tentang kesepian, tentang pergaulan bebas, tentang sepasang kekasih yang bertengkar, atau pengalaman mengunjungi salon di sore hari. Pendeknya, lagu-lagu Connie adalah perpaduan rasa senang dan sedih.

Tampil di televisi, dilirik label rekaman dan dan punya banyak lagu, ternyata tak jadi jaminan sukses.

Meski sudah dikontrak oleh label rekaman, namun karya-karya Connie tak juga dirilis. Howard Fishman–musisi sekaligus penulis yang sudah lama meneliti soal Connie Converse–menyebut label rekaman saat itu menganggap lagu-lagu Connie memang indah, tapi tak komersil. 

Connie dinilai terlalu “mentah” untuk menjadi solois folk. Lagu-lagunya terlampau imajinatif. Pun, ia tak punya ketertarikan dengan tema-tema politis yang digandrungi anak muda di zaman itu. Ia terlalu visioner di tahun-tahun tersebut.

Perlahan mimpi Connie kandas. Ia menganggap kariernya sudah mentok. 

Ia mengalami depresi akut. Dalam kondisi itu, ia makin kecanduan alkohol.  Puncaknya ia memutuskan meninggalkan New York dan mengasingkan diri ke Michigan pada 1961. 

Di Michigan, Connie tinggal bersama dengan saudara laki-lakinya, Philip, seorang profesor ilmu politik di Universitas Michigan. Converse lalu diajak bekerja sebagai sekretaris, dan kemudian sebagai penulis dan redaktur pelaksana Journal of Conflict Resolution pada 1963.

Pada tahun Connie meninggalkan New York, muncul musisi muda bernama Bob Dylan. Bob Dylan bernasib baik. Dengan bermodalkan gitar, Bob Dylan berhasil menaklukkan dunia.

Sedangkan Connie menepi dari hingar bingar dunia keseniman Greenwich Village. Kita tak pernah tahu persis apa yang terjadi di hidup Connie setelah pindah ke Michigan. Mungkin ia bekerja sambil mengutuk nasib buruknya. Atau dia pasrah dan cukup puas menjadi karyawan. Entahlah.

Sampai di suatu hari yang nahas di tahun 1974, saat umurnya menginjak angka 50, Connie pergi meninggalkan rumah dengan mengendarai Volkswagen Beetle-nya. 

Setelah itu, tak ada yang tahu bagaimana nasib Connie. Ia menghilang selamanya membawa sekoper mimpinya yang kandas. Dunia tampaknya tak rela jika Connie Converse hilang. Persis 35 tahun setelah ia menghilang, 17 lagunya dirilis dalam album bertajuk How Sad, How Lovely (2009) di bawah label rekaman Squirrel Thing Recordings.

Disiram Bensin Kebebasan Greenwich Village

Andai masih hidup, Connie Converse berumur 90 tahun dan menyadari bahwa musiknya tak sepenuhnya gagal. Tapi, apalah guna pengandaian di dunia yang terlalu cepat bergulir ini. 

Saya juga punya pengandaian: Jangan-jangan Connie jadi depresi sekaligus radikal secara bersamaan karena Greenwich Village. Pengandaian saya mungkin mengada-ada. Tapi siapa pun yang mengenal Greenwich Village tahu betul jika tempat itu adalah “sekolah” dengan jebolan banyak seniman, bohemian, dan pemikir berjiwa bebas.

Greenwich Village, yang terletak di sisi barat kota di wilayah Manhattan, adalah salah satu daerah paling terkenal di New York. Pemandangannya indah. Pas betul bagi seniman dan bohemian untuk mengembangkan potensi.

Selain Connie Converse dan Bob Dylan, Salah dua jebolan Greenwich Village di dunia musik periode 1950an hingga 1970an adalah Jimi Hendrix dan James Taylor. Nama-nama seperti Andy Warhol, Walt Whitman dan Salvador Dali juga diketahui pernah menetap di tempat tersebut. Greenwich Village adalah surga bagi mereka yang punya ide-ide progresif.

Saking bebasnya, Greenwich Village menjadi tempat buat ide radikal berkembang. Bahkan tempat itu juga jadi tempat belajar merakit bom. Pada bulan Maret 1970, bom rakitan meledak di ruang bawah tanah sebuah townhouse di Greenwich Village, New York. Bom itu meledak dan membunuh 3 orang. 

Pelakunya adalah Diana Oughton dan Terry Robbins yang tergabung dalam organisasi Weather Underground. Mereka awalnya berniat memasang bom di perpustakaan Universitas Columbia atau gedung ballroom militer di Fort Dix.

Weather Underground tumbuh dari iklim politik Amerika yang bergejolak pada akhir 1960an. Dimulai dari segerombolan mahasiswa yang memprotes perang Vietnam, mereka berubah menjadi faksi kiri radikal yang bersedia menggunakan kekerasan dalam bentuk apapun sebagai sarana untuk mengakhiri perang, melawan rasisme kepada buruh, dan bahkan menggulingkan pemerintah AS.

Selain perang, kelahiran organisasi ini pada 1969  juga dipicu oleh pembunuhan Martin Luther King Jr, razia terhadap ormas Black Panthers, dan ketidakefektifan taktik gerakan-gerakan mahasiswa.  

Tapi tak ada yang abadi di dunia ini, termasuk Greenwich Village. Di ujung abad ke-20, Greenwich Village tak lagi menjadi tempat segala ide-ide liar lahir. Perkaranya sepele: ongkos sewa kemahalan untuk kantong seniman dan bohemian. Para seniman kemudian memilih tempat tinggal lain di kota New York City seperti SoHo, Tribeca, Dumbo, Williamsburg, dan Long Island City.

Meski demikian, Greenwich Village kekal dalam ingatan sebagai tempat berbagai gagasan bersemai. Connie Converse salah satu alumninya.