Tanpa Indonesia, Takkan Ada Godzilla
Yoga Cholandha
Tanpa Indonesia, Godzilla barangkali tidak akan pernah ada. Klaim ini, teman-teman sekalian, sama sekali tidak berlebihan apalagi mengada-ada karena sang pencipta Godzilla sendirilah yang menuturkan ceritanya empat dasawarsa silam.
Tomoyuki Tanaka. Itulah nama sang pencipta. Lahir di Kashiwara, Osaka, Jepang pada 26 April 1910, sejak belia Tanaka sudah tergila-gila pada film. Ia tumbuh besar dengan film bisu yang menceritakan aksi para ninja. Nyaris setiap hari dia berjalan berkilo-kilometer hanya untuk menonton film kesukaannya itu. Saking tergila-gilanya pada film, dalam buku biografi berjudul Japan's Favorite Mon-Star karya Steve Ryfle diceritakan bahwa Tanaka muda sempat tidak dianggap anak oleh kedua orang tuanya.
Meski demikian, tekad Tanaka untuk berkarya di dunia film tak pernah padam. Di usia 30 tahun, alumni fakultas ekonomi Kansai University itu akhirnya terjun ke industri perfilman dengan bergabung ke studio film Taiho Eiga. Belakangan, studio ini bergabung dengan studio besar bernama Toho yang kini menjadi raksasa hiburan Jepang.
Sebagai seorang produser, Tanaka dikenal memiliki visi cemerlang serta keberanian untuk bereksperimen. Tak heran jika sutradara legendaris Akira Kurosawa mau bekerja sama dengannya sampai enam kali. Pada 1980, film yang diproduseri Tanaka dan disutradarai Kurosawa, Kagemusha, bahkan menjadi nomine Oscar untuk kategori Film Berbahasa Asing Terbaik.
Meski demikian, warisan terbesar Tanaka adalah sosok monster yang hingga kini masih begitu ditakuti sekaligus dicintai. Monster itu, tak lain, adalah Godzilla.
Trauma dan Sentimen Anti-Amerika
Tanaka tumbuh besar pada era Taisho yang berlangsung dari 1912 sampai 1926. Ia bagian dari generasi yang tumbuh dibawah restorasi dan modernisasi besar-besaran kekaisaran Meiji (1868-1920). Perubahan ini menunjukkan bahwa Jepang tak lagi “katak dalam tempurung”—Jepang sekarang tak bisa diremehkan lagi oleh bangsa Eropa dan selayaknya dianggap sederajat dengan mereka. Bukti yang paling sahih, tentu saja, adalah kemenangan atas Kekaisaran Rusia pada perang 1905.
Pada era Taisho, Jepang semakin makmur dan jaya. Usai menjadi salah satu pemenang dalam Perang Dunia I, industri mereka semakin maju dan sempat menjadi satu dari lima negara terkuat di dunia. Sayangnya, masa keemasan ini tak berlangsung lama. Lambat laun situasi ekonomi-politik memburuk dan pada akhirnya Demokrasi Taisho pun runtuh.
Di tengah kekacauan kondisi ekonomi-politik, Tanaka kecil masih tetap berkutat pada hobi filmnya. Ia tak hanya menonton film ninja bisu, tapi juga film-film Barat “bergizi” seperti King Kong. Tapi siapa yang menyangka, negara-negara yang ia nikmati filmnya ternyata akan punya andil besar dalam meluluhlantakkan Jepang.
Di sini, tentunya, kita bicara soal bom atom. Pengeboman ini meninggalkan trauma yang begitu mendalam ke masyarakat Jepang. Fat Man dan Little Boy tak hanya membinasakan masyarakat dan rumahnya, tapi juga meratakan ekonomi mereka.
Pun hal ini tidak membuat Amerika Serikat (AS) berhenti melakukan aktivitas nuklirnya di wilayah Asia Timur. Salah satu tempat aktivitas pengebomannya adalah Kepulauan Marshall. Sepintas, jarak pulau itu dengan Jepang memang cukup jauh. Akan tetapi, tak jarang nelayan Jepang melaut sampai ke wilayah tersebut.
Nelayan malang tersebut adalah kru kapal Lucky Dragon yang melaut terlalu dengan Bikini Atoll, wilayah favorit AS untuk mengetes bom mereka. Ketika terlelap tidur setelah seharian lelah mencari ikan tuna, tim Proyek Manhattan meledakkan prototipe bom hidrogen hanya beberapa puluh mil dari kapal mereka. Hujan abu radiasi menyelimuti kapal, menghancurkan setiap sel dalam tubuh mereka.
Peristiwa-peristiwa itu terekam kuat dalam benak Tanaka. Sampai-sampai, saat melamun pun, itulah yang dipikirkannya. Termasuk saat dia sedang melamun sepulangnya dari Indonesia...
Gagal Dapat Proyek di Indonesia
Pada 1954, studio film Toho bermaksud untuk memproduksi sebuah film tentang masa pendudukan Jepang di Indonesia. Proses syuting pun, rencananya, bakal digelar di sini. Maka, berangkatlah Tanaka menuju Indonesia untuk bernegosiasi dengan pemangku kepentingan setempat.
Namun, rencana tinggal rencana. Saat itu relasi Jepang dengan Indonesia masih buruk. Kedua negara tidak punya hubungan diplomatik. Dilaporkan New York Times lewat obituarium Tomoyuki Tanaka tahun 1997, rencana Tanaka tersebut ditolak oleh Kementerian Luar Negeri. Mau tahu siapa Menteri Luar Negeri Indonesia saat itu? Kakek Dian Sastro, Soenario Sastrowardoyo.
Walhasil, Tanaka pun pulang ke Jepang dengan membawa kekecewaan. Di atas pesawat, Tanaka melamun sambil menatap keluar jendela. Tiba-tiba saja, ketika pesawat melintasi atol Bikini, ide brilian itu pun muncul. Tanaka ujug-ujug teringat pada cerita nelayan yang meninggal karena radiasi bom nuklir. Dia lalu berpikir, "Hmm... Bagaimana, ya, jika ada dinosaurus di dalam laut yang terkena radiasi itu?"
Et voila! Godzilla pun lahir meski baru dalam pikiran.
"Aku merasa ingin melakukan sesuatu yang besar. Itu motivasiku. Beberapa ide terlintas di pikiranku. Aku sendiri suka film monster seperti King Kong," tutur Tanaka dalam sebuah wawancara tahun 1984.
Sesampainya di Jepang, Tanaka bergerak cepat. Akan tetapi, prosesnya tidak semudah yang dibayangkan. Menurut Tanaka, yang paling sulit justru mencari nama yang pas untuk monster rekaannya tersebut. Sampai akhirnya, Tanaka pun menemukan nama “Gojira”. Nama “Gojira” berasal dari perpaduan gorila dan “kujira”. Dalam bahasa Jepang, “kujira” berarti paus. Perpaduan gorila dan paus ini masuk akal karena monster Tanaka ini memang muncul dari laut. Setelah nama ditetapkan, langkah selanjutnya adalah menentukan wujud dari monster tersebut.
Tanaka dan timnya mengumpulkan banyak sekali gambar dinosaurus. Mereka berupaya memadupadankan gambar-gambar itu. Namun, lagi-lagi, yang paling sulit justru hal yang tampaknya sederhana. Dalam wawancara yang sama, Tanaka mengaku, dia dan timnya kesulitan menentukan bentuk jidat sang monster. “Kami butuh waktu sepuluh hari untuk memutuskannya,” kenang Tanaka.
Sisanya, tentu saja, adalah sejarah. Film Gojira pertama dirilis pada 1954 dan lekas menjadi ikon budaya populer Jepang. Bahkan, film ini pun sangat populer di Amerika Serikat sehingga muncullah nama versi Inggrisnya, Godzilla. Kelahiran Gojira atau Godzilla itu pun berpengaruh pada lahirnya ikon budaya pop Jepang lain, yaitu Ultraman. Jika kalian perhatikan, monster-monster yang dihadapi Ultraman pada dasarnya adalah bentuk lain dari Gojira, yakni kadal bipedal raksasa yang bisa menyerang dengan kekuatan aneh.
Gojira sendiri tidak melulu sukses. Khususnya pada dekade 1970-an, banyak film Gojira yang terkesan dibuat sekenanya seperti Godzilla vs Hedorah (1971), Godzilla vs Mechagodzilla (1974), dan Terror of Mechagodzilla (1975). Sampai akhirnya, kendali dipegang lagi oleh Tanaka pada 1984 dan karakter monster ini pun kembali populer. Total, sampai sekarang, sudah ada 38 film Gojira/Godzilla yang diproduksi di Jepang maupun Amerika Serikat. Yang terbaru, Godzilla x Kong: The New Empire, mulai tayang di Indonesia pada 27 Maret 2024.