Tatkala Uni Soviet Melarang Vodka

Tatkala Uni Soviet Melarang Vodka

 

Bagi mereka yang tumbuh besar di masa-masa jaya “Dunia Dalam Berita” nama “Mikhail Sergeyevich Gorbachev” menggelorakan kesan-kesan dan kenangan akan sebuah negara adikuasa yang pernah ada: Perestroika. Afghanistan. Glasnost. Detente Nuklirnya dengan Reagan. Runtuhnya Tembok Berlin. Detik-detik yang menentukan di Bulan Agustus 1991. 

 

 

Tapi bagi warga Rusia (dan eks-Soviet), salah dua memori yang terpatri di benak mereka akan mantan Sekjen KPSS itu tergolong kurang mengenakkan. Almarhum adalah sosok yang paling bertanggung jawab atas tumbangnya Uni Soviet, yang langsung disusul oleh transisi ke kapitalisme yang bergelimang darah. Lucunya lagi, upaya Gorbachev untuk menggelar comeback ke panggung politik di pertengahan ‘90an ditanggapi cemooh dan ditutup oleh iklan Pizza Hut yang—mohon maaf—cringe.  

 

Alkohol: Enak tapi Jahat?

Tapi kita harus bersikap adil pada Gorbachev. Ia hanya memiliki tujuh tahun untuk menyelesaikan cacat-cacat struktural Uni Soviet yang diwariskan para pendahulunya. 

 

Masalah pertama yang Gorbachev hadapi adalah melandainya pertumbuhan ekonomi Uni Soviet, yang pada 1985, keberlangsungannya ditopang oleh harga minyak dunia dan pinjaman lunak dari negara-negara blok Barat. Biang kerok dari fenomena ini adalah produktivitas pekerja Uni Soviet yang masih tertatih-tatih mengejar ketertinggalan dari Amerika dan Eropa Barat.


 

 

Sumber: Soviet and Russian Statistics on Alcohol Consumption and Abuse - Premature Death in the New Independent States - NCBI Bookshelf (nih.gov)

 

Gorbachev, seorang straight edge Rusia yang puasa alkohol, menyalahkan kebiasaan pekerja Soviet yang doyan mabuk. Tapi dalam hal ini dia disodorkan buah simalakama: sejak zaman Tsar masih bertahta negara telah memegang monopoli atas produksi dan distribusi alkohol. Artinya, industri ini merupakan sumber pemasukan negara yang signifikan. Melarang alkohol berarti menggencet kas negara yang sudah seret; tapi membiarkannya beredar pun hanya akan memperburuk produktivitas kerja (yang sudah buruk). 

 

Sang Sekjen tak bergeming. Dari 1986 ke 1988 pemerintah Uni Soviet dan Partai Komunis yang berkuasa meluncurkan tujuh paket kebijakan dengan tujuan mengurangi konsumsi alkohol di negeri itu. Bukan hanya penjualan alkohol yang dibatasi, tapi pekerja yang ketahuan mabuk di jam kerja, atau mencoba mengoplos vodka mereka sendiri di rumah dikenakan denda, bahkan hukuman penjara. Sebagai insentif, Gorbachev juga memerintahkan pembangunan fasilitas-fasilitas rekreasi baru agar waktu luang warga Soviet tidak dihabiskan dengan mabuk-mabukan. 

 

Menjauhi Khamr dan Konsekuensinya

Langkah besar Gorbachev ini terlalu terlambat untuk menyelamatkan ekonomi Soviet. Kondisi ekonomi yang tidak kunjung membaik harus ditambah lagi dengan liberalisasi politik ala Glasnost yang berimbas pada berlipatgandanya suara-suara anti-Soviet. Lagipula, Gorbachev sendiri terpaksa membatalkan paket kebijakannya selang dua tahun setelah warga Soviet balik mengerahkan segenap bakat dan kreativitas mereka untuk mengoplos Somogon dan menjualnya ke pasar gelap. 

 

 

Sumber: mortality.org


 

Tapi capaian dari Kampanye Anti-Alkohol Gorbachev ini di bidang kesehatan masyarakat tidak dapat dipungkiri. Konsumsi alkohol berkurang, disertai turunnya tingkat kematian yang berkaitan dengan alkohol, baik secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya, frekuensi kasus Sirosis dan keracunan alkohol turun secara signifikan, sebagaimana pula stroke dan sakit jantung. 

 

Kampanye Anti-Alkohol ini juga sukses memutarbalikkan tren usia harapan hidup Soviet yang telah merosot dari pertengahan 1960an. Fenomena ini tidak lazim. Di negara-negara Barat dan Asia Timur yang sedang lepas landas, industrialisasi dibarengi dengan meningkatnya usia harapan hidup, yang terutama disebabkan oleh tersedianya akses yang lebih luas terhadap layanan kesehatan. Tragedi Uni Soviet secara khusus dan Blok Timur secara umum adalah konsumsi alkohol dan ketertinggalan teknologi medis yang menghapus capaian-capaian positif “layanan kesehatan universal” yang dijanjikan komunisme di negeri-negeri tersebut. 

 

Tapi Gorbachev, pria yang paling bertanggung jawab atas runtuhnya Komunisme di Eropa Timur, malah memperkuat mitos “kesaktian” ideologi tersebut. Tidak lama setelah keberhasilan Kampanye Anti-Alkohol mulai dirasakan khalayak Soviet, imperium itu pecah berkeping-keping. Rakyat Rusia diterpa gejolak demi gejolak dalam periode transisi kapitalisme. Konsumsi alkohol di paruh awal dekade 1990an meningkat secara signifikan; akibatnya, usia harapan hidup pria khususnya menurun, bahkan bila kita berasumsi bahwa kaum perempuan Rusia juga sama terpukulnya oleh krisis ekonomi. 

 

Tidak ada yang memungkiri niatan mulia Gorbachev untuk menyelamatkan rakyatnya dari cairan jahat itu. Mungkin upayanya untuk melarang konsumsi alkohol adalah sebuah usaha yang sia-sia; sebuah intervensi terbatas dengan keberlanjutan yang minim. Toh, pada akhirnya bukan privatisasi, mafia, atau kapitalis asing yang menjadi jagal warga Soviet, melainkan minuman keras yang begitu mereka gandrungi.