Teluh Darah dan Berbagai Film Horor Lainnya Bikin Banyuwangi Capek Dibilang Kota Santet

Beberapa waktu terakhir, saya menonton serial “Teluh Darah”. Serial horor berlatar belakang Banyuwangi ini disebut-sebut menjadi serial Indonesia pertama yang debut di program "On Screen" Busan International Film Festival (BIFF). Bermodalkan langganan Disney Hotstar satu bulan, serial itu akhirnya bisa saya libas dalam sehari. Hasilnya adalah artikel ini. 

Awal serial ini menyuguhkan tayangan yang bikin iri hati: keluarga kaya raya layaknya keluarga Cendana ditambah keharmonisan keluarga serupa keluarga Cemara. Tapi kebahagiaan ini mulai bubar jalan kala orang-orang rumah mendengar suara ledakan keras di tengah malam. Aksi-aksi mistis terus bermunculan, seperti ayahnya (Lukman Sardi) yang tiba-tiba muntah darah, muntah tawon, muntah paku dan berupa-rupa muntahan menjijikkan lainnya. Dokter pun angkat tangan menyerah—tidak ada petunjuk jelas soal penyakit yang diderita sang ayah. 

Akhirnya keluarga sampai ke kesimpulan kalau sang ayah terkena teluh alias santet dari orang yang dendam. Usut punya usut, penyantetnya berasa dari Banyuwangi. Dan kejadian ini ada hubungannya dengan pembantaian 1998 di Banyuwangi.  

Saya tidak akan bawel membocorkan soal jalan ceritanya supaya tidak spoiler. Yang saya mau lakukan sekarang adalah memverifikasi soal sejarah santet di Banyuwangi.  Apalagi, serial garapan Kimo Stamboel ini juga melibatkan konsultan spiritual.

Santet, Buah Balas Dendam Terhadap Penjajahan

Film dan serial horor Indonesia sering menampilkan tanda-tanda santet sebagai muntahan aneh—dari muntah mulut, muntah darah, muntah serangga, atau kadang gigi rontok. Kok bisa ya? 

Nah, penggambaran ini memang tidak bisa dilepaskan dari kepercayaan nenek moyang kita, yaitu animisme. Dalam pemahaman animisme, seseorang meyakini bahwa roh halus bisa masuk ke dalam berbagai objek atau bahkan dapat masuk ke dalam tubuh seseorang yang masih hidup. Albertus Christiaan Kruyt, teolog Hindia Belanda meneliti kepercayaan ini. Muncullah gagasan baru, yaitu zielestof yang membahas soal animisme. Dalam kepercayaan ini, manusia dan makhluk hidup lainnya dianggap memiliki zat halus atau sukma yang memberi kekuatan untuk hidup dan bergerak—hal inilah yang disebut sebagai zielestof. Zat halus pada manusia sering diasosiasikan dengan rambut, gigi, keringat, jeroan perut, dan sebagainya. Sehingga, santet yang ditujukan untuk mengganggu sukma manusia mengacaukan tatanan harmonis tersebut. Jadilah hal-hal yang tak seharusnya ada—seperti muntah paku, muntah rambut—bisa terjadi padahal korbannya tak mungkin makan paku sebelumnya.

Bagaimana Banyuwangi bisa dikenal sebagai kota santet bisa ditarik ke sejarahnya. Dulu, di tanah Banyuwangi berdiri sebuah kerajaan Blambangan yang merupakan bagian dari kerajaan Majapahit. Prajurit-prajurit Blambangan terkenal sakti karena tidak pernah tumbang, walau jantungnya ditusuk sekalipun. Namun sesakti-saktinya prajurit Blambangan, tetap saja kalah digempur oleh tentara Belanda, tentara kerajaan Mataram, dan kerajaan tentara Bali. 

Penduduk Blambangan yang saat itu hanya tersisa 5000 akhirnya menyingkir dan membentuk perkampungan sendiri di dekat hutan. Perkampungan inilah yang kemudian dikenal sebagai masyarakat Using. Dendam tujuh turunan ini yang membuat mereka tidak mau bercampur darah dengan orang asing. Jadilah mereka hanya boleh kawin dengan sesama orang Using. 

Mereka biasanya melakukan perjodohan antar kerabat melalui tradisi Warung Bathokan atau Maulid. Kalau pucuk dicinta ulam pun tak tiba alias perjodohannya gagal, mereka akan menggunakan santet sebagai ilmu pemikat. Pernah dengar Jaran Goyang? Itu salah satu jenis santet pemikat asal Banyuwangi. Tarian berunsur magis ini menceritakan tentang seorang gadis yang tiba-tiba jadi jatuh cinta karena diguna-guna oleh seorang lelaki. 

Berasal dari itu, pemahaman santet pun akhirnya beragam. Ia tak lagi sekadar bisa membuat orang jatuh cinta, tapi juga bisa mencelakai orang. Sebab, ilmu santet yang sudah mendarah daging bagi masyarakat Using, pada akhirnya banyak dari mereka yang belajar ilmu sihir dengan motif kebencian atau dendam, sehingga muncul penyalahgunaan ilmu sihir itu. Bahkan, para antropolog membagi tingkat ilmu sihir di Banyuwangi dalam empat kategori: sihir hitam untuk mencelakai dan dapat menimbulkan kematian, sihir kuning untuk memikat hati, sihir merah untuk membuat orang jadi sakit, dan sihir putih untuk menepis dampak ilmu santet yang lain.

“Kukutuk Kau Dengan Santet!”

Media daring kerap merujuk suara ledakan di rumah pada tengah malam sebagai tanda awal seseorang telah terkena santet. Tentunya saya tidak bisa hanya modal berita media daring saja. Saya pun mencari narasumber yang keluarganya nyaris kena santet. 

Pencarian saya mempertemukan saya dengan Said (nama samaran), anak seorang pejabat di suatu institusi pemerintahan di Jakarta. Pada 2019 silam, Said yang baru saja pulang kuliah sekitar jam 11 malam tiba-tiba mendengar suara “duaarrrr”. Dentuman keras tersebut terdengar dari tembok pembatas rumah Said dan tetangganya. Said menghampiri tembok itu dan menemukan bagian atas tembok—yang dipasang tiang dan plastik pembatas untuk menghalau musang dan kucing—berlubang. Dari lubang itu, ia melihat suatu bola berwarna merah mirip gumpalan api. Namun dalam sekejap bola terbang itu menghilang. 

Tiga hari setelahnya, Said merasa tidak enak badan dan kesulitan untuk buang air besar. “Padahal, gue hampir tiap hari makan pepaya dan nggak pernah ada masalah sama pencernaan gue,” tutur Said. “Akhirnya gue dateng ke “orang pinter”, setelah “diobatin” itu , badan gue baru sembuh dan gue baru bisa buang air besar.” Sambil mengingat-ingat, Said menerangkan cerita dari “orang pinter” tadi. 

Bola api atau yang biasa dikenal dengan Banaspati itu adalah “kiriman” dari orang yang iri dengan karir ayahnya. Yah, Said sendiri bilang ia tak sepenuhnya percaya akan peristiwa dan cerita yang ia dengar dari “orang pinter” itu. Tapi mau tidak percaya pun, dia sendiri yang langsung mengalaminya.

Santet dan Teror Banyuwangi 1998 

Terakhir, soal Banyuwangi yang dikaitkan terus dengan santet. Serial “Teluh Darah” mengangkat peristiwa historis yang menyayat hati: pembantaian dukun santet Banyuwangi tahun 1998. Apabila dirunut, kisah kelam ini bermula dari pembunuhan Soemarno Adi tanggal 4 Februari 1998. Ia dibunuh karena ada anggota keluarganya yang menuduh Soemarno menyantetnya. Perburuan terus berlanjut dua hari kemudian; dari Barri, penduduk Selorejo, lalu Asmaki, Sahroni, dan Marjani. Untungnya Sahroni dan Marjani berhasil kabur. Polisi Banyuwangi memperketat pengawasan dan rentetan pembunuhan dukun pun berhenti untuk sementara. 

Gelombang kedua perburuan dukun kembali berlangsung di Juli 1998, dua bulan setelah Reformasi. Pembunuhan pertama terjadi di Jember dengan korban perempuan 45 tahun bernama Nuryatin. Korban dibunuh di tengah malam oleh gerombolan dari desa sebelah. Sanafi (60 tahun), penduduk Rambipuji, Jember karena dituduh sebagai dukun. Aksi keji ini merembet ke Banyuwangi pada 11 Juli dengan korban bernama Suhaimi (65), diikuti Jamirah dan Paiman. Pembunuhan atas tuduhan santet baru berhenti di akhir 1998.  

Pembunuhan tak hanya memakan korban (yang dituduh) dukun, tapi juga kyai dan santri. Kejadian selalu terjadi di malam hari dan ditandai dengan sekelompok orang berpakaian hitam dan bersenjata. Ada yang mengatakan mereka bergerak layaknya ninja Jepang yang bisa bergerak dalam senyap dan lincah. Ini diikuti dengan matinya listrik secara tiba-tiba, diikuti dengan korban yang sudah menjadi mayat.

Pembantaian berlangsung dari Februari sampai September 1998 dengan total korban di Banyuwangi dan kota-kota sekitarnya mencapai 253. Sejak saat itu, Banyuwangi dapat julukan sebagai kota santet. Yang jadi pertanyaan saya, sebelum pembantaian itu terjadi, kenapa gejolak pembantaian terhadap dukun bisa muncul secara tiba-tiba? Terlebih sekarang pemerintah juga belum berhasil mengusut siapa dalang dan apa motifnya. Ada yang bilang ini isu pengalihan dari reformasi, tapi belum bisa menjawab kenapa Banyuwangi menjadi lokasinya. Padahal santet juga subur di wilayah lainnya, Sumatera, Kalimantan, Maluku misalnya.

Berkat itu, stigma santet seolah lengket pada Banyuwangi. Padahal, masyarakat Banyuwangi juga eneg terus-terusan dikaitkan dengan santet. Pemerintah Banyuwangi berusaha menampilkan Banyuwangi sebagai kota wisata, tapi pamor wisata itu masih kalah dengan film-film horor yang menyuguhkan Banyuwangi bak kota penuh dukun.

Hmm… Bagi saya, termasuk serial Teluh Darah juga berkontribusi menajamkan stigma itu. Gimana tidak? Wong pelaku santet di serial itu digambarkan pulang ke Banyuwangi dan “ngelmu hitam” di sana. Ditambah, pelaku santet lainnya yang tadinya pengen jadi kiai, tiba-tiba banting setir untuk belajar ilmu hitam di Banyuwangi dan jadi tukang santet.

Di akhir kata, meski memang santet seakan lahir di Banyuwangi, tapi bisa nggak, ya, film-film horor berhenti menstigma Bumi Blambangan itu sebagai kota santet? Biarkanlah Banyuwangi berbahagia dengan julukan The Sunrise of Java.