Menghadapi Bencana Alam, dan Melampauinya: Sebuah Dilema Antroposen
TL;DR
Fenomena alam seharusnya dianggap sebagai bagian alam, bukan 'bencana alam'. Antroposen menempatkan manusia sebagai pusat, menciptakan krisis iklim dan dampak lingkungan. Manusia perlu menyadari keterkaitan dengan alam dan meninggalkan pandangan antroposentris.
"Setiap zaman memiliki kiamat yang akan terjadi. Setiap wilayah/arena memiliki kiamatnya tersendiri. Setiap pemahaman masa kini memiliki gambaran kiamat yang akan segera menghampiri. Kita berada di sebuah dunia di mana dampak yang tak terduga dari sebab-sebab antroposentris, terutama industri—menunjukkan betapa sedikit yang kita ketahui, bahkan ketika kita mengira kita mengetahuinya."
– Patricia MacCormack
Pergantian tahun beberapa kali diikuti peristiwa gempa bumi, tak terkecuali Sumedang. Pemicu gempa terbaru ini disebabkan oleh aktivitas sesar di Jawa Barat, tepatnya di Cileunyi-Tanjungsari, dengan Magnitudo 4,8 dan kedalaman 5 km. Gempa ini merusak ratusan rumah warga di Sumedang. Menurut informasi dari BMKG, sesar atau patahan adalah zona batas antara dua lapisan kulit bumi yang mengalami pergerakan relatif.
Perlu diketahui bahwa di Jawa Barat terdapat enam sesar yang signifikan, yaitu Sesar Cimandiri, Sesar Baribis, Sesar Cipamingkis, Sesar Garsela, Sesar Citarik, dan Sesar Lembang. Keenam sesar ini memiliki peran dominan dalam memicu guncangan di Jawa Barat dan wilayah sekitarnya. Data gempa per Juni 2022 menunjukkan bahwa dari 28 gempa bumi yang terjadi di Indonesia pada periode tersebut, sebanyak 27 diantaranya disebabkan oleh aktivitas keenam sesar tersebut.
Beralih sejenak ke luar negeri, khususnya wilayah Noto, Prefektur Ishikawa di Jepang, pada tanggal 1 Januari 2024, terjadi gempa dahsyat dengan kekuatan mencapai 7,6 skala Richter. Guncangan hebat ini mengakibatkan terjadinya tsunami, kerusakan rumah, korban jiwa, dan kebakaran di Kota Wajima. Kejadian ini juga menyebabkan setengah lusin rumah warga hancur, sedangkan 36 ribu rumah lainnya menjadi gelap karena mati listrik. Dampaknya tidak hanya terbatas di Jepang, namun juga meluas ke Rusia dan Korea Selatan, di mana peringatan tsunami diberlakukan di kedua negara tersebut.
Peristiwa gempa bumi, tsunami, dan fenomena alam lainnya sering kali dianggap sebagai 'bencana alam'. Namun, respons manusia terhadap peristiwa alam ini seringkali terkesan memandang bahwa fenomena alam hanya terjadi pada periode tertentu, misalnya, di akhir atau awal tahun. Pernyataan semacam ini, menurut pandangan saya, mengisyaratkan bahwa apa yang seharusnya menjadi bagian dari siklus alam, fenomena yang seharusnya ada sebagai bagian alami dari kehidupan, kadang-kadang dianggap sebagai sesuatu yang seakan-akan tak perlu terjadi—selama manusia masih menghuni bumi.
Saya membayangkan setiap kali peristiwa alam terjadi dan alam bisa merespon setiap predikat buruk terhadapnya, maka kira-kira seperti ini responnya, “lahhh ngaturr, mau manusia ada atau ngga ada, kita tetap akan gini-gini kok: gempa bumi, longsor, tsunami, gunung meletus, dsb.”
Meskipun begitu, secara ontologis, kita dapat dengan cermat memperhatikan dua kutub pandangan yang berbeda: realisme dan anti-realisme, terutama ketika mengamati fenomena alam. Argumen pertama berasal dari realisme, yang mengklaim bahwa 'terdapat dunia yang independen dari pikiran, dan kita dapat mengakses dunia tersebut secara objektif. Dengan kata lain, secara ontologis, realisme menyatakan bahwa peristiwa seperti gempa bumi, 'bencana alam', dan perubahan cuaca eksis dan tetap ada bahkan tanpa kehadiran manusia di bumi. Mari kita bayangkan suatu kondisi di mana manusia belum berevolusi dengan temuan-temuan lain.
Sementara itu, argumen ontologis dari sudut pandang anti-realisme menjadi kebalikan dari realisme. Ini berarti tidak ada realitas objektif di luar manusia, seperti contohnya kepunahan dinosaurus, dan awal mula penciptaan bumi hanya memiliki relevansi dan makna bagi manusia. Bagi yang bukan manusia, konsep ini sama sekali tidak berlaku, dan penilaian manusia terhadap entitas non-manusia cenderung merendahkan keberartiannya, menjadikannya tidak penting kecuali dalam konteks kemanusiaan. Dari sini, muncul pertanyaan tentang asal-usul gagasan bahwa segala sesuatu harus berpusat pada manusia.
Sejarah Antroposentrisme Paling Singkat
Hampir seluruh diskusi mengenai krisis iklim, gempa bumi, tsunami, dan kerusakan lingkungan pada umumnya berasal dari kritik yang tajam terhadap peran manusia dan proyek modernisme yang menempatkan manusia sebagai pusat dari segala penilaian terhadap yang ada di luar dirinya – istilah ini dikenal sebagai antroposen. Untuk pemahaman lebih lanjut, artikel yang membahas Masyarakat Antroposen oleh Rangga memberikan wawasan yang mendalam. Artikel tersebut menggambarkan sejarah masyarakat antroposen sebagai titik balik dalam narasi tentang posisi sentral manusia yang memegang peran kunci dalam perubahan situasi keplanetan, yang tak dapat dilepaskan dari segala aktivitas antropogenik masa lalu.
Sementara Paul J Crutzen, peraih Nobel Kimia 1995 asal Belanda, pernah menyatakan bahwa manusia sedang membentuk skala geologis baru yang dikenal dengan istilah Antroposen--yang sebelumnya dikenal dengan masa Holosen dimulai kira-kira 11 ribu tahun setelah Zaman Es berakhir. Dengan kata lain saat ini kita tidak lagi berada pada skala waktu Holosen, melainkan Antroposen.
Apa yang membedakan kepunahan dinosaurus, makhluk hidup seperti pseudosuchians, crocodylamorphs, hingga organisme laut dengan kepunahan terkini yang sedang dicicil oleh manusia? Pembabakan baru dari Crutzen itulah bukan karena tanpa sebab, dalam buku The Great Acceleration: An Environmental History of the Anthropocene since 1945 menyebutkan hal yang melatarbelakanginya ialah perubahan komposisi karbon dioksida yang akan mengubah kehidupan di bumi ke babak yang sebelumnya tak pernah terbayangkan. Selain itu ia juga yang menyatakan bahwa antroposen awal terjadi di abad ke-18 dengan rezim yang bergantung pada fosil untuk energi bahan bakar.
Dari sederet peristiwa kepunahan yang pernah terjadi di bumi, perbedaan paling signifikan adalah adanya campur tangan manusia yang mengubah, membentuk dan mendikte ke arah mana bumi seharusnya--yang tentu saja tidak pernah berhasil sepenuhnya. Puncaknya pasca Percepatan Hebat tahun 1945, seperti meningkatnya kendaraan motor di bumi dari semula 40 juta ke 850 juta, populasi manusia meningkat tiga kali dari sebelumnya, jumlah penduduk kota meningkat dari 700 juta hingga 3,7 miliar, kemudian 1950 produksi plastik sebanyak 1 juta ton dan tahun 2015 menjadi 300 juta ton.
Peristiwa Percepatan Hebat ini tentunya merupakan periode yang ganjil dan tidak pernah ada relasi seperti ini--antara spesies kita dan biosfer--yang persis sama dalam sejarah 200,000 tahun sebelumnya. Bahkan kata Elizabeth Kolbert, di masa 2050, tepatnya 5 tahun setelah Indonesia Emas, keragaman ekologi sangat sulit ditemui, bumi menjadi sangat ringkih dan bon yang kita cicil dari sekarang (pemanasan global, pencemaran lingkungan, pembabatan hutan lindung) akan semakin terlihat--skenario ini disebut apocalyptic.
Sebagai gambaran bagaimana kehidupan di bumi ini didominasi oleh manusia ketimbang entitas lain. Dalam artikel Era Antroposen dan Sains Keberlanjutan, memberikan uraian menarik. Penulis artikel tersebut memberi contoh jika tumbuhan memiliki biomassa paling dominan di bumi (mencapai 450 gigaton karbon), namun nasib keberlangsungan di bumi ditentukan oleh manusia yang biomassanya hanya sekitar 0,06 gigaton. Hal serupa yang dialami oleh hewan liar dengan biomassanya 41 kali biomassa manusia, tapi keberlangsungan dan kebermanfaatan hidupnya bergantung pada manusia.
Mungkin benar pernyataan dalam artikel Antroposen dan Kepunahan Keenam yang menyatakan bahwa sejak manusia melepaskan diri dari meramu dan berburu, di situ embrio kepunahan manusia bermula. Meski begitu, saya pikir, destruksi paling parah dilakukan setelah Revolusi Industri, dan Percepatan Hebat, Pasca Industri, kolonialisme dan imperialisme, hingga memunculkan kapitalisme sebagai satu-satunya superioritas modus produksi untuk saat ini.
Zaman antroposen melahirkan serba keganjilan, mulai dari capaian teknologi, kesehatan, hingga melahirkan banyak pekerjaan ala David Graeber, hingga usaha untuk menjadi Ilah di bumi berusaha untuk direalisasi via teknologi. Namun, ternyata segala apa yang disebut pencapaian ini, di sisi yang lain, acapkali manusia hanya mengulang sejarah keserakahan, peperangan, destruksi yang lain dengan percaya diri secara terburu-buru menyatakan 'alam dan segala hukumnya dapat kita pahami!'. Di sinilah gerak ganda dari alam, bahwa alam itu sebenarnya tidaklah pasif, ia memiliki hukum keteraturannya sendiri, terlepas usaha-usaha dari manusia untuk mencoba menaklukkan secara total, penegasian atas entitas non-manusia.
Melampaui Antroposen
Sudah seharusnya manusia menyadari bahwa anggapan selama ini sebagai pusat alam semesta, tapi pada akhirnya kita bisa menulis deretan kesalahan yang pernah dibuat & dilakukan oleh manusia dari mulai relasi sesama manusia lain, relasi dengan alam dan relasi dengan spesies lain. Lebih jauh, harus diakui bahwa saat ini bumi tidak lagi stabil apalagi dapat diprediksi, dan manusia hanya jadi bagian dari agen geologi. Hal ini senada dengan jurnal Status Manusia Dalam Antroposen, ditulis oleh Rangga, yang menyoroti kerapuhan manusia dan anggapan sebagai satu-satunya spesies yang superior dari yang lain.
Dalam jurnal itu memberi contoh bagaimana sebenarnya manusia tidak bisa benar-benar memahami apa yang telah mereka sebabkan, misalnya perubahan iklim yang awalnya disebabkan oleh manusia, sekarang dampak dari perubahan iklim itu sulit diatasi oleh manusia. Alasannya karena alam memiliki peran secara instrumental sekaligus bermakna terhadap manusia sejauh ada nilai kegunaan. Dogma-dogma antroposentrisme juga memunculkan masalah lain, yaitu kecemasan eksistensial. Kecemasan eksistensial manusia berpangkal di rasa takut akan musnahnya ras manusia, tidak peduli dengan spesies lain non-manusia.
Sementara dalam artikel yang berjudul Misantroposen! menerangkan secara jernih, alih-alih mengamini tesis kemajuan yang telah dibuat di era antroposen, justru secara tegas menyatakan bentuk rasa malu terhadap laku manusia di masa lalu dengan sifat narsistik kemanusiaan, peperangan, pembunuhan satu sama lain demi kekuasaan, diskriminasi terhadap perempuan, serta anggapan adanya keterpisahan antara manusia dan bumi yang memungkinkan adanya akumulasi kekayaan di satu tempat sambil di tempat yang lain mengeruk dan menghancurkan bentangan alam, menggusur warga setempat dengan pukulan dan menodongkan senjata di depan mata, yang telah banyak terlibat menciptakan 'krisis di bumi' saat ini.
Pada akhirnya, aktivitas manusia atau kerja (labour), menurut Marx, tidak menciptakan alam namun hanya mengubah bentuknya. Artinya, setelah alam diubah bentuknya oleh kerja-kerja manusia dalam aktivitas ekonomi sistem kapitalisme, yang kita tahu selalu membutuhkan sumber daya alam yang eksis dan kemudian diekstraksi dan dieksploitasi untuk mendapatkan profit sebesar-besarnya, ujungnya membutuhkan pengetahuan lain atau pengetahuan baru dari manusia untuk memikirkan dampak sosial dan perubahan alam setelahnya. Dengan kata lain, manusia sudah harus meninggalkan sifat narsistik, dan serba tahu terhadap sesuatu di luar dirinya, karena kita bisa lihat dari banyaknya perubahan fenomena alam yang belum bisa ditangani oleh manusia menandakan bahwa alam dan spesies lain tidak sama dengan apa yang dibayangkan atau pengetahuan yang dimiliki oleh manusia.