Tentang Timnas Indonesia U-23: Catatan dari Jakarta, Garut, Bandung, dan Yogyakarta


Tentang Timnas Indonesia U-23: Catatan dari Jakarta, Garut, Bandung, dan Yogyakarta
Dalam kemenangan Timnas Indonesia U-23 di babak Perempat final AFC Cup U-23, aku merasa ada yang ganjil. Bagai kapsul waktu, aku melewati empat daerah sekaligus hanya dalam kurun waktu kurang dari 48 jam. Yang membuat makin ganjil, semua obrolan di daerah-daerah itu sama: laga Indonesia kontra Korea Selatan, STY, dan harapan-harapan. 
Jakarta, 25 April, Pagi Hari: Pundit Haus Duit 
Aku naik ojol dari area Setiabudi ke Lebak Bulus hanya untuk mengejar bus Primajasa jurusan Bandung - Garut. Bodoh memang, “Padahal, di Cilincing juga bisa, mas. Di sana ada pool Primajasa. Mau ubah lokasi?” kata abang ojol nyeletuk sambil nahan ketawa, padahal perjalanan kami sudah sampai Fatmawati. Yang artinya tinggal sak nyuuk lagi sudah sampai Lebak Bulus. 
Abang Ojol itu bagiku unik sekali. Ia tak suka membicarakan hal pribadi layaknya beberapa ojol yang sering aku temui di Jakarta. Biasanya, dalam sekali duduk, melalui cerita-cerita mereka, aku akan tahu bahwa Abang Ojol ini statusnya apa, punya hutang ke mana saja, dan asal-usul leluhurnya bagaimana. Abang Ojol kali ini berbeda. 
“Saya lewat daerah ini ada mungkin seribu kali,” katanya. Daerah yang ia maksud adalah salah satu sudut di Cipete. Aku diam. Bukan karena enggak peduli, namun karena mencerna arah pembicaraan beliau ke mana. “Eh, adalah dua ribu kali mah,” katanya sambil merevisi.
Setelah aku tanya apakah tempat tersebut adalah tempat nongkrong beliau dengan ojol-ojol lainnya, ia mulai melantur tanpa perlu aku sertai kalimat tanya berekor. Hingga akhirnya, omongan itu bermuara kepada sepak bola. “Nah, nanti malam nobar (Timnas sepak bola U-23) Indonesia di sini. Mas nonton?”
Aku hanya menjawab iya, padahal belum tahu bagaimana nanti di Bandung dan Garut. “Rame (seru), mas. Lawan negara STY. Saya mah suka sama STY.”
Aku yakin, tak hanya Abang Ojol asal Cikarang itu saja yang suka, melainkan ratusan orang yang tengah terjebak macet dari Fatmawati sampai Lebak Bulus di sekitarku juga suka sama STY.
“Saya baca di Facebook, orang yang enggak suka sama STY karena enggak bisa masukin pemain titipan. Udah, yang penting mah (timnas sepak bola) Indonesia maju!” katanya, tangan kirinya melambai-lambai seperti tengah ngibing bersama biduan. 
“Kalo kalah, enggak sesuai target, nanti ada yang nyuruh STY dipecat, bang,” kataku sambil melepas helm, mencari uang. 
Abang Ojol itu tertawa. “Jangankan kalah, ntar malem aja nih, kalo menang, bakal dicari dah tuh kesalahannya, mas. Biar STY dipecat. Biar pelatih lemah iman masuk. Biar mafia kotor pemain titipan bisa beli amer lagi. Mereka mah bodo amat, mas, sama prestasi. Yang penting nasi.”
“Pandit butuh duit, ya?” kataku. Abang Ojol itu tersenyum, menundukkan kepala, ia melaju sampai motornya hilang ke jalan arah Kebayoran Lama.
Bandung, 25 April, Siang Hari: Adakah Tanah Air untuk Para Pemain Diaspora?
Bus Primajasa itu berkelok mengikuti jalan tol yang membawa sampai exit-tol Cileunyi. Tulisannya besar dan jelas, Rancaekek. Kabupaten Bandung sudah di depan mata, namun bus itu lagi-lagi berhenti. Pinggiran Bandung nampak riuh dengan para penjual tahu dan bolu susu asli Lembang. 
Saya keluar bus untuk kencing. Sayup-sayup dari kamar mandi terdengar dua bapak-bapak berdebat dalam bahasa Indonesia dengan campuran bahasa Sunda yang lucu sekali. Inti perdebatan itu adalah naturalisasi. 
Si Bapak Suara Berat berkata bahwa naturalisasi merusak pemain asli. Sedang Bapak Suara Cempreng punya jawaban yang bagus sampai-sampai kencing saya ikut bergoyang-goyang kanan-kiri. Katanya, “Mun tos di lapangan, namina urang Indonesia, mang!” atau kalau diartikan “jika sudah di lapangan, namanya semua (yang membela timnas) orang Indonesia, kang."
Percakapan lanjutan mereka tak bisa aku terka. Semua berebut berbicara dan bahasa Sunda tak pernah melekat di kepala saya walau punya Ibu asli Subang. Namun, membahas naturalisasi, memang renyah sekali. Apalagi belakangan ini.
Seorang pundit mengatakan, “Jangan sebut mereka naturalisasi, tapi diaspora.” Itu tak sepenuhnya salah, namun tentu saja tak sepenuhnya benar. Lantaran dalam undang-undang, pemberian kewarganegaraan hanya memiliki satu terma, yakni naturalisasi. Yang membedakan hanya dua; naturalisasi biasa dan istimewa.
Diaspora adalah orang berdarah Indonesia yang tersebar di seluruh dunia. Istilahnya, mereka adalah imigran dengan berbagai alasan pergi dari Indonesia. Tentu saja, pergi bukan berarti buruk. Ada yang beralasan mencari suaka, mencari pekerjaan, atau bahkan mereka yang terpukul oleh rezim busuk bernama Orde Baru (tonton saja film Eksil) beberapa dekade silam
Membedakan antara naturalisasi dengan lokal ketika mereka sudah satu lapangan dan membela panji negara, itu menyakitkan sekali. Bukan hanya menyakiti pemain diaspora, namun juga lokal. Dalam timnas, harusnya mereka memiliki satu sebutan saja: pemain Indonesia.
Ketika mau masuk ke bus lagi, aku bisa melihat dua suara yang sedang berdebat tadi. Wajah mereka berseri, sibuk dengan obrolannya yang sekarang entah membahas apa. Yang jelas, saya yakin sekali, mereka mengharapkan kemenangan malam nanti.
Garut, 25 April, Malam Hari: “Kakek Suka Timnas Indonesia”
Saya sampai ke tujuan sekitar pukul 5 sore. Perjalanan yang harusnya hanya 24 menit melar menjadi dua jam yang habis untuk ngetem. Pantat saya kebas, tapi jantung saya memompa darah lebih cepat dari biasanya. Bagaimana tidak, tujuan akhir saya adalah rumah kakek kekasih saya. Dengan langkah penuh ketegangan, entah mau ngobrolin apa, segalanya menjadi tenang kala aku melihat kakek kekasih saya itu tengah asik menonton laga Jepang kontra tuan rumah Qatar.
Wajah kakek tampak segar, merah merekah, dan tangannya hangat. Begitu kontras dengan udara Cikajang yang dingin betul dan kabut yang tengah mengamuk. Kami menonton bola sebentar. Saat itu pula kakek bilang, “Kalau mau nonton, sini bareng sama kakek.” Tiada yang lebih menyenangkan ketimbang kata-kata itu. Percayalah.
Dalam obrolan tadi, saya jadi tahu beberapa hal tentang kakek. “Kakek suka Timnas Indonesia,” begitu katanya. Saya hampir menangis dibuatnya. Di saat PSSI penuh ketidakjelasan, mafia makin merajalela, anak-anak terlantar dengan kinerja Asprov yang angin-anginan, misalnya konflik internal Asprov DKI yang bahkan meminta “bantuan” langsung dari Ketum PSSI. 
Kakek masih duduk di sofa rumahnya, menonton sepak bola. Kakek kurang mengikuti suka sepak bola lokal baik itu Persib Bandung atau Persigar Garut. “Nonton mah nonton, tapi enggak mengikuti. Kalo sepak bola Eropa, suka,” katanya. Aku mengangguk-anggukan kepala.
Barangkali masih ada jutaan orang seperti kakek. Orang yang menaruh harap kepada Timnas Indonesia setidaknya bisa terbang dengan jaya. Di lereng pegunungan, pesisir pantai, kota-kota sibuk, pedesaan yang khusyuk, semua berharap kepada Timnas Indonesia.
“Malam ini Timnas main, kek. Lawan Korea Selatan,” kataku. Ia tersenyum, menyuruhku untuk menyeruput kopi panas yang asapnya mengepul. Kuteguk pelan-pelan. Bahkan kopi ini kalah hangat ketimbang senyum Kakek di tengah hujan yang sedang mengguyur lereng pegunungan Papandayan.
Yogyakarta, 26 April, Malam Hari: Kemenangan Timnas, Apakah Ada Keberlanjutan?
Perjalanan panjang dan melelahkan itu aku tutup dengan tiduran di teras rumah di Bantul dengan kondisi hujan dan angin yang seakan menyambut kedatanganku. Ingin sekali rasanya tertidur, namun aku tak ingin melepaskan momen di mana seluruh rakyat Indonesia berpesta atas kemenangan Timnas Indonesia U-23 atas Korsel U-23.
Aku menggulirkan berbagai media sosial mulai dari Twitter sampai Facebook, isinya adalah lonjakan bahagia. Sesekali diisi pula dengan gelak sedih yang bahkan aku terbawa karenanya. Lainnya ada pula hal lucu dan juga menggelitik. Bangsa ini memang acapkali lupa akan tragedi, namun mereka tak pernah lupa bagaimana caranya berkomedi.
Harapan benar-benar membuat bangsa ini menembus suatu hal yang rasanya tak mungkin. Beberapa hal yang tak mungkin itu pernah bangsa ini kalahkan. Suatu hal yang rasanya absolut, bisa juga digulingkan. Penguasa yang menggerogoti kekayaan negeri ini selama 32 tahun, misalnya.
Dari Jakarta, Bandung, sampai Garut, obrolan tak pernah usai tentang sepak bola. Ada yang mengatakan, bangsa ini bukan gila sepak bola, namun gila menonton sepak bola. Tak salah, sih. Namun tak sepenuhnya benar juga. Dari bawah gedung pengkoyak langit sampai lereng pegunungan yang dipeluk kabut, bangsa ini memainkan sepak bola. Semua, ya, kita sama-sama tahu, benturannya adalah federasi yang tak tahu malu dan mafia yang ingin cuan.
Naskah ini ditulis ketika Timnas Indonesia U-23 dinyatakan kalah dan tak bisa melangkahkan kaki lebih jauh. Gagal, kata orang-orang. Namun, keberhasilan bagi sebagian yang lainnya. Menang-kalah sesungguhnya adalah perihal keberlanjutan timnas mau bagaimana. bukan hanya itu, tentu saja keberlanjutan kualitas liga dan akar rumput sepak bola Indonesia.
Kini, semua ada di tangan federasi. Bisakah mereka menciptakan sistem kompetisi yang baik untuk menunjang taktikal dan misi besar STY untuk membawa Timnas Indonesia keluar dari ‘gua Plato’? Beranikah mereka menggasak mafia sepak bola? Bisakah mereka memanusiakan manusia-manusia di akar rumput sepak bola Indonesia?
Jika hanya mengunggah video di media sosial dengan mata berkaca-kaca saja Iwan Bule juga bisa. Apakah akan ada keberlanjutan pestanya? Jika Piala Dunia terlalu muluk, bagaimana jika dibangunnya liga usia muda dan kompetisi sepak bola perempuan terlebih dahulu? Perihal pesta, bangsa ini rela mencicil sedikit-sedikit. Pesta kecil-kecilan dulu tak apa.